Aroma kongkalikong di balik anjloknya harga ayam
Mislah, salah seorang penjual ayam di Pasar Lenteng Agung, Jakarta Selatan mengaku tak menerima keuntungan banyak, meski harga jual di tingkat peternak anjlok. Ia menjual ayam dengan harga Rp28.000 per kilogram.
“Paling juga untung sekitar Rp1.000 sampai Rp2.000 per kilogram,” kata Mislah saat ditemui reporter Alinea.id di Pasar Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Selasa (2/7).
Menurut Mislah, ada broker yang memainkan harga, sehingga penjual pun tak bisa menikmati keuntungan berlipat. Sayangnya, para pedagang juga tak bisa lepas dari permainan broker ini.
Pedagang ayam lainnya di pasar yang sama, Agus, mengatakan untuk mendapatkan ayam, ia terpaksa mengambil langsung ke distributor. Penjual skala kecil seperti dirinya, kata Agus, tak memungkinkan mengambil langsung dari peternak mandiri.
“Biayanya akan lebih mahal dibanding mengambil dari distributor,” kata Agus.
Di samping itu, Agus menuturkan, penjual akan berisiko bila mengambil langsung dari peternak mandiri. Sebab, ketika terjadi kelangkaan ayam di peternak mandiri, penjual kesulitan untuk mengakses distributor.
“Kalau ayam langka, kita langganan dari peternak mandiri, untuk pindah ke distributor itu enggak bisa. Jadi enggak bisa jualan,” ujar Agus.
Di daerah mulai naik
Sudah beberapa bulan ini harga ayam anjlok. Harga ayam sempat jatuh di kisaran Rp8.000 hingga Rp9.000 per kilogram. Pada 25 Juni 2019, berdasarkan laporan Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar Indonesia) harga ayam ras potong di level peternak harganya Rp12.826 per kilogram.
Padahal, di dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2018 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen disebutkan, harga ayam antara Rp18.000 hingga Rp20.000 per kilogram.
Anjloknya harga ayam ini, sempat membuat pedagang dan peternak di Yogyakarta, Solo, dan Semarang berang. Pada 26 Juni 2019, mereka menggelar aksi membagikan ribuan ayam hidup gratis di berbagai daerah sebagai bentuk protes.
Akan tetapi, kini peternak di beberapa daerah mulai bisa sedikit bernapas lega. Harga ayam kini mulai naik. Di Jawa Timur misalnya, harga ayam yang sempat menyentuh Rp7.000 per kilogram, kini naik menjadi Rp13.000. Namun, Kepala Dinas Perdagangan Pemprov Jawa Timur Drajat Irawan mengatakan, harga ayam di tingkat peternak normalnya Rp18.000 hingga Rp21.000 per kilogram.
“Meski ada sedikit kenaikan, harga Rp13.000 ini masih belum normal,” ujar Drajat saat ditemui di Kantor DPRD Jawa Timur, Surabaya, Selasa (2/7).
Pihaknya, kata Drajat, melakukan beberapa upaya untuk menstabilkan harga kembali. Namun, Drajat mengaku, pihaknya masih menyelidiki mengapa harga ayam di sektor peternak turun drastis. Ia menduga, salah satu penyebabnya adalah kelebihan pasokan (over supply).
"Diperkirakan Ramadan dan Idulfitri ada permintaan yang banyak dan besar, ternyata permintaan itu jauh di bawah perkiraan. Sehingga terjadinya satu proses di mana over supply," katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah Muhammad Arif Sambodo juga mengatakan, harga di tingkat peternak mulai membaik. Harganya mengalami kenaikan tipis, dari Rp7.000 per kilogram menjadi Rp12.000 per kilogram. Harga di pasar pun sudah agak stabil.
“Harga ayam di pasar sudah menjadi Rp 29.200. Jadi sudah membaiklah,” kata Arif ketika ditemui di Kementerian Perekonomian, Jakarta Pusat, Selasa (1/7).
Menertibkan aturan
Di sisi lain, pemerintah tengah mencari cara mengatasi disparitas harga ayam di tingkat produsen dengan konsumen. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita mengaku, akan menyiapkan langkah yang berkelanjutan untuk menyelesaikan anjloknya harga ayam di tingkat peternak.
Ia mengatakan, selama ini solusi yang ditempuh selalu bersifat sementara. Ketut menegaskan, semua broker yang bergerak di dalam industri ayam agar tercatat secara resmi.
"Jadi ketika terjadi gejolak, gampang menelurusinya," kata I Ketut Diarmita di Kementerian Perekonomian, Jakarta Pusat, Selasa (1/7).
Selain itu, Ketut juga akan mengetatkan aturan bagi integrator yang melakukan impor. Menurut dia, ke depan seharusnya ada analisis menyeluruh terkait kuota impor.
“Jangan sampai perusahaan meminta kuota impor melebihi dari kebutuhannya,” ujarnya.
Ia menilai, selama ini kajian kuota bagi integrator selalu tak terkontrol. Seharusnya, kata Ketut, kuota disesuikan, sehingga tidak terjadi kelebihan suplai yang akan berpengaruh terhadap harga ayam.
"Sebelum adanya impor ini, integrator mengajukan analisa kebutuhan perusahanaanya terkait impor. Selama ini yang selalu disalahkan pemerintah. Artinya, kenapa tidak dianalisis? Kalau memang butuhnya 10 kenapa 80? Enggak dikasih lalu marah-marah, kan di situ turbulensinya," kata dia.
Dalam waktu dekat, pihaknya akan mengirim surat kepada integrator mengenai kuota tersebut. Menurutnya, hal ini untuk mengingatkan integrator guna menghitung dengan cermat kebutuhannya, sehingga ada keseimbangan harga, terutama di peternak mandiri.
Mengendalikan suplai
Menurut I Ketut Diarmita, sejauh ini penyebabnya anjloknya harga karena kelebihan suplai. Namun begitu, anjloknya harga di tingkat peternak tidak diikuti harga di pasar. Ia menduga ada yang mengatur, sehingga harga jual peternak menjadi tertekan.
“Yang aneh ini harga di peternak Rp 8.000, kok di pasar tinggi? Apa itu penyebab itu? Berarti ada yang ngatur itu,” katanya.
Muhammad Arif Sambodo sepakat bila penyebab anjloknya harga ayam lantaran stok yang berlebihan. Pemerintah memang sudah membuat perhitungan berapa kebutuhannya, tetapi kata Arif, prediksi tersebut meleset. Dampaknya, peternak harus menanggung kerugian lantaran harga jualnya semakin turun.
“Kemarin apa yang diramalkan diserap pada saat Lebaran, misalnya itu tidak sesuai dengan perhitungan. Karena itu lah ayam yang digemukkan semakin gemuk, terus harga semakin jatuh,” kata dia.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan) Soegeng Wahyudi mengapresiasi langkah Kementan yang akan memastikan pendataan permintaan dan penawaran ayam. Menurut dia, data tersebut sangat penting agar tidak terjadi kesalahan, yang membuat harga di peternak menjadi anjlok.
Pemerintah, kata Soegeng, memang sudah mulai melihat hal tersebut. Namun, estimasi yang tidak akurat membuat ayam yang beredar semakin banyak, dan berdampak bagi harga jual ayam di tingkat peternak.
“Dari sisi hulunya perlu pasti beredar indukannya berapa? Kemudian day old chicken-nya berapa? Itu harus dipastikan bahwa itu benar. Saya tahu Kementan arahnya sudah ke sana, tapi belum pas juga,” kata Soegeng saat dihubungi, Selasa (2/7).
Selain itu, Soegeng berharap perusahaan besar memiliki rumah potong ayam dan cold storage. Bila perusahaan punya cold storage untuk menampung ayam, maka suplai ayam bisa dikendalikan.
Selama ini, kata dia, tidak ada penyangga ayam dalam bentuk cold storage kecuali hanya di kandang. Sebab, jika penyangga hanya bersandar pada kandang, harga akan leluasa dimainkan oleh broker.
“Yang menikmati hasil dari anjloknya ini kan pedagang perantara (broker),” kata Soegeng.
Soegeng pun meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) turun tangan untuk menyelesaikan anjloknya harga ayam di tingkat produsen. Ia menjelaskan, anomali harga ini bisa menjadi pintu masuk bagi KPPU untuk menginvestigasi adanya indikasi persaingan usaha.
“Mereka mesti mencari akar masalahnya,” tutur Soegeng.
Praktik persaingan usaha?
Sementara itu, Ketua Fraksi Demokrat DPRD Jawa Timur Agus Dono Wibawanto menilai, anjloknya harga ayam di peternak karena pemerintah lepas tangan terhadap perniagaan, mulai tingkat bawah.
Agus menegaskan, pemerintah tidak boleh serta merta menyalahkan peternaknya, jika terjadi kelebihan pasokan. Pemerintah, kata dia, sebenarnya bisa menghitung kebutuhan ayam setiap tahun, terutama menjelang Lebaran. Kebutuhan riil masyarakat, menurutnya, bisa dihitung dari tingkat inflasi.
"Pasar disediakan oleh sistem, jangan dibuat alasan setelah hari raya terus sepi. Input dan output sudah diproses oleh sistem," ujar Agus di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (2/7).
Ia meminta, dalam perniagaan ayam ada peran pemerintah. Untuk menstabilkan harga, menurut dia, pemerintah harus melakukan langkah-langkah konkret dengan membuat regulasi, seperti mengatur harga pakan ternak, harga anakan, dan mobilisasi anakan ketika akan menjadi besar.
Jika pemerintah tidak intervensi dan terus dibiarkan, ia memastikan peternak kelas menengah ke bawah akan gulur tikar.
"Indonesia itu lucu, mendekati hari tertentu pasti naik. Kalau tidak hari tertentu, harga anjlok. Ini harus diantisipasi. Jangan sampai peternak enggan beternak lagi," ucapnya.
Sementara itu, komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kodrat Wibowo mencium adanya praktik persaingan usaha. Pihaknya akan melakukan pengumpulan data dan informasi untuk menyelesaikan masalah disparitas harga ayam tersebut.
Namun begitu, Kodrat menegaskan, kerja KPPU tidak reaktif. Sebab, ada banyak variabel terkait dengan penentuan harga ayam. Intinya, kata dia, KPPU akan mematangkan data terkait anjloknya harga, sehingga saat masuk ke penegakan, KPPU dapat membuktikan di persidangan.
Kodrat mengakui, industri ayam memiliki rantai distribusi yang cukup panjang. Menurut dia, persoalan harga anjlok bukan di hulu pada tingkat peternak, bukan pula harga di tingkat eceran, melainkan ada di tengah, yakni broker.
“Justru ada indikasi persaingan usaha dalam kasus ini. Makanya mesti komprehensif, mulai dari hulu sampai ke hilir. Kami mencium itu,” kata Kodrat saat dihubungi, Selasa (2/7).
Kodrat belum bisa memastikan berapa lama waktu KPPU untuk melengkapi data tersebut. Setiap kasus, kata Kodrat, memiliki kesulitan sendiri.