Asa genjot konsumsi demi bangkit dari resesi
Oki Setiawan (25) terpaksa menganggur setelah bimbingan belajar tempatnya mengajar ditutup. Ia tak bekerja seperti biasa sejak Covid-19 menyebar di Tanah Air. Guru privat siswa SD-SMP ini akhirnya mencoba peruntungan dengan menjual masker medis dan penyanitasi tangan.
Sambil menekuni usahanya, Oki juga mengikuti kursus digital melalui program pelatihan kartu Prakerja. Pascalebaran, ayah satu anak ini menemukan ide bisnis baru. Ia banting setir menjual saffron (Crocus sativa), sejenis rempah-rempah asal Asia Tengah dan Persia. Oki mengaku terinspirasi dari Taqy Malik, seorang hafiz Quran dan selebgram yang meraup cuan miliaran rupiah dari bisnis saffron.
“Orang butuh meningkatkan imunitas, meningkatkan kekebalan tubuh dan sebagainya untuk menangkal Corona ini. Saya cek saffron yang dulu pernah saya minum, oleh-oleh teman saya dari Turki. Wah, ternyata saffron bisa ningkatin imunitas juga karena salah satu manfaatnya punya zat aktif ningkatin kekebalan tubuh. Terus setelah itu ngalir aja,” ungkapnya ketika berbincang kepada pewarta Alinea.id, Minggu (22/11).
Demi mendapat pasokan putik saffron, ia rela mendatangkan stok saffron dengan kelas “Extra Super Negin Grade” dari Afghanistan. Lalu, Oki menjual produk-produknya dengan label “Relax Saffron”. Satu gram putik saffron dijualnya senilai Rp175.000.
Oki juga berinovasi dengan meluncurkan produk minuman saffron dengan tiga varian yaitu Lemon Saffron, Jeruk Kasturi Saffron, dan Susu Kurma Saffron seharga Rp12-15 ribu per botol. Selain itu, ia baru saja meluncurkan produk facemist (pelembab wajah) dari saffron seharga Rp35-50 ribu per botol.
Untuk menjual produk-produknya, Sarjana Perikanan ini merekrut keluarga dan teman-teman terdekatnya sebagai reseller. Kini, ia telah memiliki dua puluh reseller yang tersebar dari Lampung hingga Jawa Tengah. Beberapa orang yang direkrutnya merupakan korban pemutusan hubungan kerja (PHK) saat pandemi. Beberapa lainnya bahkan belum pernah bekerja sebelumnya.
“Kebanyakan (konsumen) dari orang terdekat atau kalau reseller punya saudara, dijual ke saudaranya. Karena memang kita bangun kepercayaan dari orang terdekat dulu, enggak mungkin dari orang lain yang kita enggak kenal. Setelah mendapat testimoni para kerabat, maka saya bangun Instagram, Facebook, dan Whatsapp. Kalau kita membangun kepercayaan konsumen, kita bisa puaskan pasar,” kata warga Bogor, Jawa Barat tersebut.
Oki mampu meraih omzet Rp7,5 juta-12 juta per bulan dari berjualan putik saffron. Untuk minuman saffron, ia mendapat omzet hingga Rp800.000 tiap harinya. Selain menggandeng reseller, pria kelahiran Serang, Banten ini juga menjual produknya melalui sistem konsinyasi.
“Ketika pandemi, di satu sisi orang jatuh karena karirnya, di sisi lain orang bisa bangkit karena usahanya,” ujarnya.
Beli dari teman, kerabat, dan tetangga
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki mengatakan pertumbuhan ekonomi bertumpu pada ekonomi domestik, yakni konsumsi rumah tangga. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga berkontribusi sebesar 57,31% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal-III 2020.
Sayangnya, pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia telah melemahkan daya beli masyarakat. Hal ini tergambar dari anjloknya pertumbuhan konsumsi rumah tangga hingga -4,04% bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, sehingga mendorong terjadinya resesi ekonomi.
"Sekarang tinggal masyarakat beli produk UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), produk tetangga, beli produk teman, sehingga game of trade berputar di sektor UMKM," katanya melalui keterangan tertulis, Kamis (10/9).
Annisa (28) merupakan salah satu orang yang melaksanakan himbauan tersebut. Ia kerap membeli produk fesyen, makanan, dan minuman dari teman-temannya. Wanita berhijab ini beralasan teman-temannya banyak yang terdampak secara ekonomi akibat pandemi.
“Pertama, kasihan sih terdampak pandemi. Kedua, karena tertarik juga dengan makanan dan minuman kayak kopi,” ujar karyawan swasta tersebut melalui sambungan telepon, Minggu (22/11).
Selain itu, Annisa kerap membeli jajanan dari warung-warung sekitar indekos tempatnya tinggal di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Menurut pengamatannya, semakin banyak orang yang membuka kios-kios baru di lingkungan tempat tinggalnya seiring kebijakan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
“Ya, gimana ya. Aku memang kalau untuk uang perhitungan banget buat apa, ini lebih ke diriku sih. Aku ke diriku sendiri perhitungan. Kalau enggak butuh-butuh banget, enggak beli. Misalnya temen ada yang nawarin jualannya, niatnya kan memang membantu ya. Memang sebenernya sih jadi pengeluarannya tambah besar. Cuma aku enggak tahu ya, tiba-tiba pemasukannya ada saja,” bebernya.
Hal serupa dilakukan oleh Saifan (24). Dia lebih suka membeli jajanan makanan dan minuman dari pelaku UMKM karena harganya yang lebih murah, baik dari warung sekitar rumahnya maupun memesannya melalui aplikasi ojek daring.
“Harga jadi pertimbangan lah, sama sesuai dengan kebutuhan kita. Kebutuhan orang kan beda-beda. Gua enggak mau hambur-hamburin duit, kan sekarang pandemi,” ujar warga Joglo, Jakarta Barat ini beberapa waktu lalu.
Saifan sebenarnya tertarik terjun ke dunia usaha untuk menambah penghasilannya. Namun kesibukannya sebagai jurnalis membuat ia mengurungkan niatnya. Pria kelahiran Jakarta ini lebih memilih berkontribusi sebagai konsumen demi menggerakan perekonomian nasional.
“Perputaran uang kan dari UMKM. Dia pasti beli lagi dari atasannya juga kan, jadinya ekonomi berputar. UMKM kan jadi tulang punggung di masa-masa krisis. Belajar dari pengalaman sebelumnya saja,” katanya.
Gerakan peduli UMKM
Pelaku UMKM menjadi salah satu pihak yang terdampak akibat pandemi. Hasil kajian Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dirilis pada Mei 2020 menunjukkan sebanyak 94,69% pelaku usaha mengalami penurunan penjualan.
Berdasarkan skala usahanya, penurunan penjualan lebih dari 75% dialami oleh 49,01% usaha ultra-mikro, 43,3% usaha mikro, 40% usaha kecil, dan 45,83% usaha menengah. Penurunan omzet tersebut erat kaitannya dengan pelemahan daya beli masyarakat.
Beberapa kelompok masyarakat berinisiatif untuk menolong nasib pelaku UMKM. Salah satunya adalah gerakan #BangkitUsahaRakyat yang digagas oleh Koperasi Benih Kita Indonesia (Kobeta), yang bekerja sama dengan Yayasan Benih Baik Indonesia (Benihbaik.com) dan Desa Mandiri Tanpa Korupsi (DMTK).
Ketua Dewan Pengurus Kobeta Romi Abrori mengungkapkan gerakan ini berawal dari kepedulian pihaknya terhadap para pengusaha warung yang terimbas oleh menurunnya daya beli masyarakat. Para pemilik warung ini terpaksa mengonsumsi barang dagangannya sendiri hingga mencapai titik dimana mereka sudah kehabisan modal untuk berjualan.
Abrori mengatakan upaya penggalangan dana baru saja dibuka dan diperuntukkan untuk membeli minyak goreng, gula pasir, tepung terigu, kecap, pangan siap konsumsi, dan lainnya dari para pelaku UMKM yang akan disalurkan ke warung-warung sasaran di wilayah Jabodetabek sebagai modal usaha.
Menurutnya, hal ini dapat membantu UMKM produsen dan distributor sekaligus.
Pengurus Kobeta menargetkan dapat menghimpun dana sebesar Rp350 juta untuk kebutuhan 1.000 warung. Masyarakat juga bisa turut berpartisipasi melalui tautan ini.
“Kira-kira satu warung antara Rp300-500 ribu berupa barang yang dijual lagi ke warung itu. Angka Rp 300-500 ribu adalah angka rata-rata belanja warung per bulan,” katanya kepada Alinea.id, Senin (23/11).
Ketua Dewan Pengawas Kobeta Dewi Hutabarat mengatakan tidak menutup kemungkinan warung-warung penerima bantuan akan didaftarkan pada jaringan warung unit usaha PasarBeta. Warung-warung tersebut akan mendapat suplai produk dari Kobeta dengan fasilitas kredit tunda bayar 10 hari dan bunga nol persen. Sebelumnya, Kobeta juga telah melakukan pembagian sembako kepada masyarakat terdampak pandemi di luar pelaku UMKM.
“Di lapangan itu, banyak warung-warung kecil Senin-Kamis lah karena bertahan selama pandemi berat bagi mereka. Modal barang banyak yang berkurang karena kita melihat seperti itu di lapangan, kita jadi buka program donasi ini. Sedikit-sedikit tapi nambah-nambahin lah modal warungnya,” ungkapnya.
Sejumlah influencer media sosial pun telah menyediakan wadah promosi bagi para pelaku UMKM seperti food vlogger Magdalena Fridawati (@mgdalenaf), desainer pakaian Didiet Maulana yang mempromosikan kain tenun nusantara karya perajin UMKM di akun instagram pribadinya, pemodel Ayu Dewi yang mempromosikan UMKM secara gratis melalui #DiRumahAjaKeren dan akun instagram dengan nama yang sama, dan sebagainya.
Pemulihan masih panjang
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti berpendapat kegotongroyongan masyarakat dapat mengangkat nasib UMKM yang kini terpuruk akibat pandemi. Hal ini lantaran para wirausahawan tersebut tidak dapat bergantung sepenuhnya kepada pemerintah.
“Di sisi lain, memang daya beli konsumen itu masih rendah karena sebagian masyarakat mereka turun pendapatannya, sebagian besar kehilangan pekerjaan. Menurut saya kalau tumbuh wirausaha-wirausaha baru, UMKM, mereka biasanya bergerak di bidang kuliner dan perdagangan. Itu bagus,” tuturnya melalui sambungan telepon, Senin (23/11).
Meskipun demikian, gerakan-gerakan sosial yang ada masih belum mampu menolong pelaku UMKM sepenuhnya lantaran masih belum dibukanya aktivitas belajar di sekolah dan kampus serta masih ada pembatasan terhadap aktivitas-aktivitas lainnya. Belum lagi, sebagian masyarakat masih abai terhadap protokol kesehatan, sehingga menghambat upaya penanggulangan pandemi.
“Gimana ya, perekonomian sudah pasti tumbuh, tapi enggak sama seperti biasa. Masih negatif ya. Saya yakin bakal berangsur-angsur pulih ya, tapi tidak dalam waktu dekat,” ujar wanita yang akrab disapa Esa ini.
Menurutnya, para pelaku UMKM perlu memperluas pasar ke platform digital lantaran preferensi konsumen telah bergeser dari yang tadinya berbelanja di pasar tradisional, mal, atau supermarket bergeser ke platform digital.
Hasil survei yang dilakukan oleh DBS Indonesia menunjukkan responden yang menggunakan aplikasi digital untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari meningkat dari 3% pada sebelum pandemi menjadi 21% saat pandemi. Sementara itu, Statista memperkirakan nilai pasar e-commerce Indonesia akan meningkat dari US$18,76 miliar pada 2019 menjadi US$26,92 miliar pada 2020.
Oleh sebab itu, Esa menyarankan platform-platform digital menyediakan lebih banyak ruang bagi UMKM untuk berpartisipasi dalam pasar digital melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) atau pemotongan biaya adminsitrasi kepada merchant UMKM yang bisa saja disubsidi oleh pemerintah melalui dana pemulihan ekonomi nasional (PEN).
“Untuk meningkatkan ekonomi digital kan tidak hanya sekedar ngomong, tapi harus ada infrastruktur yang dibangun. Misalnya masyarakat desa di gunung-gunung apakah mampu mengakses internet? Jadi menurut saya harus ada infrastruktur yang dibangun dan program-progranya itu memang bisa men-develop mereka,” tegasnya.
Butuh peran pemerintah
Sementara itu, Ketua Asosiasi UMKM Indonesia Muhammad Ikhsan Ingratubun berpendapat gerakan-gerakan sosial untuk membeli produk-produk UMKM maupun orang-orang sekitar hanyalah bersifat temporer. Menurut pengalamannya, masyarakat akan kembali melihat tren seiring dengan berjalannya waktu.
Di sisi lain, ia melihat persaingan semakin ketat karena banyaknya wirausahawan baru yang terjun lantaran terdesak oleh keadaan, baik diberhentikan dari pekerjaannya, dirumahkan, maupun mengalami pemotongan gaji.
Ikhsan berharap pemerintah memainkan peranan lebih besar dalam membantu pelaku UMKM karena masih memiliki dana yang cukup besar. Caranya adalah dengan mendorong daya beli masyarakat melalui pemberian bantuan sosial maupun bantuan permodalan yang dikoordinasikan dengan pihak perbankan.
Selain itu, iklim yang kondusif bagi kegiatan usaha juga perlu disiapkan oleh pemerintah.
“Sekarang orang masih takut spend, takut belanja, masih nahan duit. Jadi masih begitu keadaan secara umum. Kalau memang seperti itu, pemerintah perlu memberikan insentif bantuan langsung tunai agar bisa belanja,” jelasnya kepada Alinea.id, Senin (23/11).
Senada dengan Esa, Ikhsan berpendapat para pelaku UMKM perlu memperluas saluran penjualan ke platform digital, namun hal ini perlu dikombinasikan dengan platform luring (offline) lantaran adanya keinginan masyarakat untuk berkumpul dan berpergian setelah mobilitasnya telah lama dibatasi oleh kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
“Kalau Go Digital, ada proses yang ditambahkan seperti membuka gadget. Itulah kenapa orang tidak signifikan masuk ke digital karena setelah umur 40 tahun, orang enggak mau repot, sedangkan banyak pemain-pemain tradisional UMKM yang berumur di atas 40 tahun. Harus diakui kemahiran dan tingkat sumber daya manusia yang mengoperasikan digital kan sangat terbatas. Itulah tantangannya,” tutupnya.