Aset perusahaan tambang milik negara yang tergabung dalam PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) diperkirakan melebihi utang luar negeri Indonesia. BUMN tambang di bawah Inalum, yakni PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Antam Tbk (ANTM), dan PT Timah Tbk (TINS).
Direktur Utama PT Inalum Budi Gunadi Sadikin mengatakan sebagai induk (holding) perusahaan tambang, Inalum mencatat total aset milik tiga perusahaan tersebut mencapai US$ 469,7 miliar atau Rp 6.566 triliun.
“Ini seluruhnya merupakan cadangan hasil tambang milik masing-masing perusahaan kami,” kata Budi, di Jakarta, belum lama ini.
Nilai aset dihitung dari dua sumber yaitu dalam bentuk cadangan (resource) dan sumber daya (reserve). Adapun cadangan merupakan aset yang sudah siap untuk ditambang. Sedangkan sumber daya belum pasti akan menjadi cadangan.
Holding tambang BUMN mempunyai cadangan batu bara sebanyak 3,3 miliar ton atau senilai US$ 231 miliar, cadangan nikel 3 juta ton atau senilai US$ 33 miliar, cadangan bauksit sebanyak 7,3 juta ton atau senilai US$ 13 miliar, dan cadangan timah 377.000 ton atau senilai US$ 7,6 miliar.
Selanjutnya, cadangan tembaga 19,4 juta ton senilai US$ 129,5 miliar, cadangan emas 1.187 ton atau senilai US$ 50,5 miliar, dan cadangan perak 6.181 ton atau senilai US$ 3,2 miliar.
Dengan demikian, total cadangan aset Holding Tambang BUMN mencapai US$ 469,7 miliar. Sementara itu, total aset sumber dayanya bisa mencapai US$ 1,07 triliun. Nilai aset tersebut bisa berubah tergantung pergerakan harga komoditas tambang.
Cadangan tidak dihitung sebagai kepemilikan aset. Sebab menurut Kementerian Keuangan, aset adalah tanah dan bangunan. Dengan demikian, aset holding BUMN ini tidak bisa dimasukkan dalam neraca aset negara.
“Kami sudah sampaikan ke Menteri Keuangan, aset kita sangat besar. Sementara utang negara kan besar sekali. Sayang sekali kalau aset BUMN yang bisa dicatat hanya tanah dan bangunan,” tuturnya.