Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia menetang permintaan fleksibilitas jam kerja dengan prinsip tidak bekerja tidak dibayar (no work no pay). Usulan tersebut diajukan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) kepada Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah.
Presiden DPP Aspek Indonesia, Mirah Sumirat, menilai, permintaan Apindo kepada pemerintah tersebut membuktikan pengusaha hari ini kian rakus dan hanya mementingkan keuntungan sendiri. Padahal, telah sukses menggolkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
"Pengusaha rakus belum juga puas walaupun sudah berhasil 'melahirkan' omnibus law Undang Undang Cipta Kerja, namun masih saja terus menekan kehidupan pekerja/buruh," katanya dalam keterangan tertulis, Sabtu (12/11).
Aspek Indonesia pun mendesak Menaker menolak permintaan fleksibilitas jam kerja itu lantaran tak manusiawi. Penolakan juga untuk membuktikan keberpihakan pemerintah kepada para pekerja.
"Jangan sampai pekerja/buruh mengalami eksplotasi dari pengusaha karena pekerja/buruh adalah 'urat nadinya' perekonomian Indonesia. Pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh, baik perlindungan kepastian kerja, kepastian upah layak, dan kepastian jaminan sosial," tuturnya.
Lebih jauh, Mirah berpendapat, dalih Apindo mengajukan fleksibilitas kerja demi mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai omong kosong. Pun dianggap tidak lebih dari upaya lepas tanggung jawab membayar hak-hak pekerja.
"Sebetulnya mereka tidak mau bertanggung jawab untuk mensejahterakan pekerja/buruhnya sendiri," tegasnya.
Di sisi lain, Aspek Indonesia mendesak pemerintah dan pengusaha memaksimalkan peran serikat pekerja di setiap perusahaan, termasuk dalam menghadapi tantangan dunia usaha saat ini.
"Masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk efisiensi perusahaan tanpa harus menghilangkan hak-hak normatif pekerja/buruh dan tanpa melakukan PHK," tandas Mirah.