Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2024 tentang asuransi kesehatan bagi mantan menteri dan keluarganya yang ditangggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Beleid diketok Jokowi menjelang akhir masa jabatannya.
Asuransi kesehatan diberilkan bagi mantan menteri periode 2019-2024 dan tidak berlaku jika berurusan dengan pidana. Untuk menteri yang berusia di bawah 60 tahun ketika selesai menjabat, jaminan pemeliharaan kesehatan diberikan selama dua kali masa jabatan.
Namun, bagi menteri yang berusia 60 tahun ke atas saat selesai menjabat, jaminan diberikan seumur hidup. Pelayanan dilakukan di fasilitas kesehatan milik pemerintah dan/atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Mantan menteri tak perlu menanggung biaya asuransi tersebut.
Telan biaya triliunan
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Galau D. Muhammad menilai, kebijakan ini sangat sarat pada kepentingan istana. Pasalnya, momentum keluarnya perpres berada di masa-masa akhir pemerintahan Jokowi sekaligus berkaitan langsung dengan menteri, sekretariat negara, dan jajaran pembantunya.
Pemberian jaminan pemeliharaan kesehatan dinilai tak memiliki produktivitas apapun terhadap kepentingan umum dan sektor strategis nasional. Melainkan, kian memperlebar fasilitas eksklusif pejabat publik.
“Sementara masyarakat saja menghemat pengeluarannya untuk membayar asuransi mandiri,” katanya kepada Alinea.id, Selasa (22/10).
Galau melanjutkan, poin dalam perpres yang mengatur klasifikasi asuransi berdasarkan umur tanpa menghitung masa kerja sebagai menteri ataupun sekretariat negara justru berpotensi menimbulkan diskriminasi. Misalnya, katanya, ketika ada menteri berusia di atas 60 tahun berkinerja buruk dan hanya menjabat dalam hitungan bulan, justru mendapatkan jaminan kesehatan yang lebih baik ketimbang menteri berusia muda dengan kinerja moncer sepanjang pemerintahan.
"Bayangkan mantan menteri akan menikmati fasilitas kesehatan milik pemerintah dan BUMN tanpa dipungut premi sepeser pun. Pengingkaran etis semakin terlihat ketika masyarakat umum justru diwajibkan iuran aktif dalam BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), sementara wakil rakyat diprioritaskan mendapatkan fasilitas terbaik yang ditawarkan berbagai asuransi swasta," katanya.
Selain itu, meski jumlahnya tidak begitu besar dibandingkan program lain, tapi kebijakan pemeliharan kesehatan akan semakin memperkecil kapasitas fiskal APBN yang sudah sangat rentan, akibat penurunan penerimaan pajak. Besaran jatuh tempo utang juga menggunung.
Dia bilang, pembayaran premi bersumber dari APBN yang dibayarkan Kementerian Sekretariat Negara kepada penyelenggara jaminan akan semakin menekan porsi anggaran pemerintah pusat.
Analisisnya, menteri yang pensiun tepat berusia 60 tahun akan membebani APBN sebesar Rp68,6 juta per menteri. Angka itu dihitung dengan asumsi premi asuransi kelas premium untuk usia di atas 60 tahun sekitar Rp4,9 juta per tahun.
Adapun jajaran menteri di akhir Kabinet Indonesia Maju (KIM) didominasi berusia 60 tahun ke atas ,setidaknya mencapai 24 menteri dari total 34 menteri. Mengutip angka harapan hidup (AHH) versi Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencapai 74 tahun, maka semua jajaran menteri diperkirakan masih hidup sehat setidaknya 14 tahun ke depan, sehingga alokasi pembayaran premi KIM bisa mencapai Rp2,14 triliun.
“Risiko semakin bertambah apabila reshuffle terjadi di tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran. Setidaknya 17 dari 48 menteri dalam Kabinet Merah Putih berusia 60 tahun ke atas. Pada akhirnya APBN menjadi bancakan kalangan pejabat publik dan tak produktif,” jelasnya.
Ekonom Nailul Huda memandang, peraturan ini tidak etis di tengah kondisi masyarakat yang mempertanyakan mengenai penggunaan uang pajak mereka. Apalagi, peraturan diteken menjelang masa pensiun presiden.
“Bukankah ada lebih dari lima tahun untuk merumuskan dan mengesahkan perpres ini?” katanya, Selasa (22/10).
Ia menghitung, premi asuransi kesehatan swasta memiliki range Rp1 juta hingga Rp21 juta. Bagi sekelas menteri, tidak mungkin menggunakan asuransi dengan premi paling rendah, sehingga diprediksi mengambil angka Rp21 juta per orang per bulan. Dus, total premi asuransi kesehatan untuk mantan menteri yang harus dibayarkan mencapai Rp17,6 miliar per tahun.
“Memang terlihat kecil bagi negara, tapi jika dimanfaatkan untuk hal lain seperti membiayai masyarakat miskin dan rentan miskin, bisa mencapai 10.000 orang yang bisa dilindungi melalui asuransi BPJS kesehatan kelas paling tinggi. Jadi memang nir empati dan nir etika saja, itu masalahnya,” ucapnya.