Aturan terkait rokok, antara mengurangi prevalansi atau rugikan negara
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, serta produk turunannya yakni Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Produk Tembakau dan Rokok Elektronik menuai polemik. Regulasi ini diprediksi mengurangi penerimaan negara.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad mengatakan pemerintah harus merevisi PP 28/2024 serta membatalkan RPMK khususnya pasal-pasal yang dinilai memberikan dampak terhadap penerimaan dan perekonomian negara. Menurutnya, kedua regulasi ini kurang transparan dalam perumusannya dan ada perdebatan yang kuat di publik.
Dia menghitung, beleid tersebut akan memberikan dampak yang signifikan dalam tiga tahun terakhir. Penerimaan cukai tidak akan tercapai meski ada upaya kenaikan tarif yang cukup moderat.
Kerugian negara
Usulan kemasan rokok polos dalam RPMK diperkirakan akan meningkatkan downtrading alias fenomena pengguna berganti ke produk rokok yang lebih murah dan mempercepat peralihan ke produk rokok ilegal. Kondisi tersebut berpotensi menurunkan permintaan produk legal sebesar 42,09%.
Implikasi dari kebijakan kemasan polos ini diprediksi mengurangi penerimaan negara sekitar Rp95,6 triliun, dampak ekonomi yang hilang Rp182,2 triliun, dan memberikan dampak terhadap 1,22 juta pekerja di seluruh sektor terkait.
Merujuk penerapan di berbagai negara, Tauhid bilang, regulasi bukan faktor utama yang dapat menurunkan prevalensi merokok. Hal tersebut terjadi di sejumlah negara yang mewajibkan kemasan rokok polos atau menghapus jenama pada setiap bungkus.
Negara-negara seperti Australia; Prancis; Kanada; Inggris; dan Thailand harus menelan gelombang rokok ilegal ataupun selundupan. Padahal tingkat merokok di negara-negara tersebut hanya berkisar 10% hingga 12%.
“Tidak menurunkan prevalensi rokok jika kebijakan ini tetap dilakukan,” katanya dalam diskusi daring, Senin (23/9).
Kemudian, larangan berjualan rokok dalam radius 200 meter dari pusat pendidikan (PAUD, TK, SD, SMP, dan SMA) dan tempat bermain dalam PP 28/2024 diprediksi akan memberikan dampak terhadap 33,08% dari total rokok retail. Angka itu memperkirakan terdapat lebih dari 500.000 satuan pendidikan terkait. Konsekuensi dari larangan ini menurunkan penerimaan negara sekitar Rp43,5 triliun, dampak ekonomi yang hilang Rp84 triliun, dan 734.000 orang atau pekerja terdampak.
Lainnya, mengenai pembatasan iklan rokok dalam PP 28/2024, diperkirakan menurunkan permintaan jasa periklanan hingga 15%, mengurangi penerimaan negara Rp21,5 triliun, dampak ekonomi yang hilang Rp41,8 triliun, serta berdampak terhadap 337.730 orang atau pekerja.
Jika tiga skenario tersebut dijalankan bersamaan, dampak ekonomi yang akan hilang setara Rp308 triliun atau 1,5% dari produk domestik bruto (PDB). Selain itu, sekitar Rp160,6 triliun atau 7% dari total penerimaan perpajakan terancam hilang.
Hal ini disebabkan seluruh dampak yang ada merambat ke industri hasil tembakau, industri tekstil, industri periklanan, industri pertanian, industri retail, industri kertas, dan sektor lainnya.
“Jadi berat kalau misalnya secara agregrat kita ingin tumbuh di atas 5%, tapi kita sudah berkurang total hampir Rp308 triliun,” ucapnya.
Praktisi Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia, Hari Prasetiyo menilai regulasi ini terlihat seperti mengatur terkait rokok, namun justru membunuh industri rokok ini sendiri. Pasalnya, dalam Pasal 149 ayat 4 UU tentang Kesehatan mengatur produk tembakau harus memenuhi standar dengan mempertimbangkan profil risiko kesehatan. Artinya, produk rokok yang beredar harus diperhatikan agar tidak berbahaya bagi kesehatan.
Sementara, PP 28/2024 tidak memuat terkait profil risiko yang diatur dalam UU tentang Kesehatan tersebut. PP 28/2024 justru hanya mengatur soal pengiklanan dan penjualan.
“Alih-alih mengatur profil risiko, yang diatur justru penambahan luasan area buat iklannya, penjualan. Regulasi ini mengorbankan banyak pelaku usaha tapi belum tentu juga menguntungkan masyarakat," katanya.
Hari menyoroti RPMK yang memiliki cakupan luas. Salah satunya, aspek penyiaran terkait rokok yang menjadi norma baru dan tidak diatur dalam peraturan sebelumnya. Dengan kata lain, Menteri Kesehatan akan melibatkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk memastikan tidak ada penyiaran yang melanggar, sedangkan RPMK tidak memiliki lingkup setinggi PP yang merupakan produk presiden.
Belum lagi jika ada pelanggaran. Salah satu sanksi yang termuat di RPMK adalah penarikan produk. Kondisi ini bisa saja membuat Kementerian Kesehatan meminta kementerian lain seperti Kementerian Perdagangan untuk menarik produk yang melanggar, meski aturan tersebut seharusnya hanya untuk Kementerian Kesehatan sendiri.
Kejanggalan lainnya dalam RPMK adalah soal kemasan polos yang tidak diatur dalam UU maupun PP. Menurutnya, ketentuan yang dibuat pejabat seharusnya tidak boleh bertolak belakang dengan aturan di atasnya seperti UU dan PP.
“RPMK seharusnya buat detail bukan bikin norma baru yang kemudian jadi berlawanan,” ujarnya.
“Targetnya memang mengurangi prevalensi rokok, tapi ambil jalan pintas, ini kurang bijak. Seolah pengaturan, padahal pembunuhan industri rokok,” imbuhnya.