close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Aktivitas bongkar muat peti kemas di pelabuhan, Antara Foto
icon caption
Aktivitas bongkar muat peti kemas di pelabuhan, Antara Foto
Bisnis
Selasa, 25 Desember 2018 06:00

Babak belur neraca dagang akibat impor

Ketergantungan terhadap bahan baku dan modal dari produksi luar negeri atau impor semakin tinggi jadi
swipe

Hingga penghujung tahun 2018, neraca perdagangan Indonesia terus mengalami defisit. Menurut catatan Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, ada tiga faktor yang jadi penyebab terjadinya defisit neraca perdagangan. 

Pertama, ketergantungan terhadap bahan baku dan modal dari produksi luar negeri atau impor yang semakin tinggi. Kedua, pelemahan nilai tukar rupiah. Banyak produk impor di saat rupiah melemah, sehingga mengakibatkan harga yang dibeli menjadi semakin mahal. 

Ketiga, dari sisi migas. Karena kegiatan produksi dalam negeri masih tergantung pada minyak, sedangkan minyak diimpor dari luar. Ketika harga minyak naik, menambah lebar defisit.

Selain itu, penurunan harga batubara dan kelapa sawit juga turut mempengaruhinya. Padahal, kedua barang tersebut menjadi andalan ekspor Indoinesia. Akibatnya, membuat neraca perdagangan pada sepanjang Januari hingga November 2018 terus mengalami defisit sebesar US$7,52 miliar.

1. Neraca Dagang Surplus 3 Kali

Sepanjang 2018, neraca perdagangan Indonesia hanya mengalami surplus sebanyak tiga kali. Masing-masing terjadi pada Maret sebesar US$1,09 miliar, Juni US$1,74 miliar, dan September US$230 juta. Rata-rata surplus neraca perdagangan dipicu oleh sektor nonmigas. 

Surplus yang terjadi pada Maret 2018 dipicu oleh ekspor yang mencapai US$15,58 miliar. Sementara impor US$ 14,49 miliar. Peningkatan terbesar ekspor nonmigas terjadi pada bahan bakar mineral sebesar US$ 358,9 juta (18,58%), sedangkan penurunan terbesar terjadi pada timah sebesar US$ 92,5 juta (45,25%).

Selanjutnya pada Juni 2018, surplus sebesar US$1,74 miliar didukung oleh surplus neraca perdagangan nonmigas dan penurunan defisit neraca perdagangan migas. Neraca perdagangan nonmigas tercatat surplus US$2,14 miliar pada Juni 2018 dari sebelumnya defisit sebesar US$235,80 juta. 

Terakhir pada September 2018 surplus neraca perdagangan sebesar US$230 juta disebabkan karena jumlah ekspor lebih besar dibanding impor. Tercatat, ekspor berada di angka US$14,83 miliar, sedangkan impor di angka US$14,60 miliar.

2. Penerapan B20

Karena defisit neraca perdagangan paling banyak disumbang oleh sector migas, untuk mengantisipasinya pemerintah resmi meluncurkan mandatori perluasan penggunaan bahan bakar diesel atau B20 sejak 1 September 2018. Adanya mandatori tersebut, maka penggunaan B20 diperluas ke non-PSO setelah awalnya hanya untuk PSO. 

Perluasan penggunaan B20 ini dilakukan lantaran dianggap cara tercepat untuk meningkatkan devisa dan menekan defisit neraca perdagangan. Selain menambah devisa dan mengurangi impor, perluasan penggunaan B20 juga berguna mengurangi stok CPO berlebih di dalam negeri.Melalui optimalisasi dan perluasan pemanfaatan B20 ini, diperkirakan akan mpenghemat sekitar US$2 miliar selama 4 bulan.  

Sejak diterapkannya B20, neraca perdagangan pada September 2018 mengalami surplus sebanyak US$230 juta yang dipicu oleh surplus sektor nonmigas sebesar US$1,30 miliar. 

Meski demikian, penerapan B20 belum bisa berjalan maksimal 100%, bahkan sampai 2019. Menurut Menko Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, hal itu disebabkan oleh pengadaan terminal apung (floating storage) untuk gudang penyimpanan FAME yang masih terkendala berbagai hal. 

3. Kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) Impor

Tak lama kebijakan B20 diterapkan, pada 5 September 2018 pemerintah resmi menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) impor atau PPh Pasal 22 terhadap 1.147 barang konsumsi. Ini dilakukan untuk mengendalikan impor dan memperbaiki neraca pembayaran. 

Dari 1.147 pos tarif tersebut, sebanyak 719 komoditas tarif PPh impornya naik dari 2,5% menjadi 7,5%. Kategori barang tersebut termasuk bahan perantara. Misalnya produk tekstil, keramik, kabel, dan boks speaker.

Selanjutnya, tarif PPh impor untuk 218 komoditas naik dari 2,5% menjadi 10%. Komoditas yang dicakup adalah barang konsumsi yang sebagian besar telah diproduksi dalam negeri, seperti barang elektronik (pendingin ruangan, lampu) dan barang keperluan sehari-hari.

Kelompok ketiga meliputi 210 komoditas yang tarif impornya naik dari 7,5% menjadi 10%. Komoditas yang dimaksud adalah barang mewah seperti mobil CBU (completely built-up) dan motor besar.

Pemeritah juga menetapkan tarif PPh impor bagi 57 komoditas tidak berubah di level 2,5%, karena diidentifikasi memiliki peranan besar untuk pasokan bahan baku.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu mengklaim telah berhasil mengurangi impor barang konsumsi mencapai 9,7% dari US$31,1 juta menjadi US$28,1 juta, sejak 1 Januari-12 September 2018. 

4. Presiden Bahas Neraca Perdagangan

Belum puas dengan penerapan B20 pada pertengahan September 2018 Presiden Joko Widodo memanggil sejumlah menteri ke Istana Merdeka, Jakarta.  Mereka antara lain Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri ESDM Ignasius Jonan.

Juga turut hadir Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Ketua Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso, dan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati. 

Pertemuan itu merupakan tindak lanjut karena adanya defisit neraca perdagangan. Pada perdagangan Agustus 2018, Badan Pusat Statistik mengumumkan Indonesia mengalami defisit sebesar US$1,02 miliar Dengan demikian, defisit dalam periode tahun berjalan atau sepanjang Januari-Agustus 2018 mencapai US$4,09 miliar.

“Itu sebabnya pertemuan digelar untuk membahas kondisi perekonomian terkini, salah satunya neraca perdagangan,” ujar Darmin.

Usai rapat, Darmin mengatakan, pemerintah optimistis defisit transaksi berjalan selama 2018 tidak akan sampai menyentuh angka 3% dari produk domestik bruto (PDB). Diperkirakan defisit transaksi berjalan bergerak ke angka 2,5% sampai 2,6% dari PDB.

5. Defisit Tertinggi Terjadi di November

Memasuki akhir tahun atau pada November 2018, nilai neraca perdagangan Indonesia kembali mengalami defisit. Kali ini menjadi yang tertinggi sebesar US$2,05 miliar. Dipicu oleh defisit sektor migas dan nonmigas yang masing-masing sebesar US$1,46 miliar dan US$580 juta. 

“Hal itu disebabkan adanya faktor ekonomi dari produktivitas ekspor yang masih menjadi tantangan beberapa komoditas Indonesia,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Defisit transaksi berjalan pada kuartal III-2018, yang sebesar US$8,8 miliar atau setara dengan 3,37% dari PDB (Produk Domestik Bruto), lebih tinggi dari kuartal II-2018 yang sebesar US$8 miliar atau 3% terhadap PDB. 

Berdasarkan laporan BI, melebarnya defisit transaksi berjalan disebabkan oleh penurunan kinerja neraca perdagangan barang, khususnya migas. Sementara, peningkatan surplus neraca perdagangan barang nonmigas masih relatif terbatas.

img
Cantika Adinda Putri Noveria
Reporter
img
Tito Dirhantoro
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan