close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
 Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR, Heri Trisaputra Zuna dalam pemaparannya di acara Penandatanganan MoU ekosistem Pembiayaan Perumahan, Rabu (25/1/2023). Tangkapan layar YouTube PUPR
icon caption
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR, Heri Trisaputra Zuna dalam pemaparannya di acara Penandatanganan MoU ekosistem Pembiayaan Perumahan, Rabu (25/1/2023). Tangkapan layar YouTube PUPR
Bisnis
Rabu, 25 Januari 2023 16:26

Backlog dan ketersediaan rumah layak jadi isu utama perumahan Indonesia

Diperlukan grand design terkait sektor perumahan yang melibatkan beberapa instansi.
swipe

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengungkapkan dua isu utama dalam ekosistem perumahan di Indonesia, yaitu backlog dan ketersediaan hunian yang layak. Oleh karena itu, diperlukan grand design terkait sektor perumahan yang melibatkan beberapa instansi, sehingga gap atau kekosongan dalam program penyelesaian dua isu tersebut bisa tersedia.

Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR, Heri Trisaputra Zuna menjelaskan, pada isu backlog, berdasarkan data survei sosial ekonomi nasional (Susenas) 2021, terdapat 12,71 juta backlog hunian dengan pertumbuhan 680.000 setiap tahun.

“Solusi pada backlog ini, kita harus memiliki program. Dengan asumsi pertumbuhan 680.000 tiap tahun, maka bayangan saya kita harus punya program sampai 1,5 juta per tahunnya, kalau backlog nya mau selesai di 2045,” kata Heri dalam pemaparannya di acara Penandatanganan MoU ekosistem Pembiayaan Perumahan, Rabu (25/1).

Backlog perumahan merupakan salah satu indikator yang digunakan pemerintah dan terkait dengan bidang perumahan untuk mengukur jumlah kebutuhan rumah di Indonesia.

Lalu isu kedua yaitu, rumah tidak layak huni yang berkaitan dengan backlog di 2021 yang mencapai 23 juta unit. Sedangkan program pemerintah yang tersedia adalah hanya pemberian rumah.

“Kalau kita lihat program hari ini, semua itu disamaratakan, yang diberikan itu rumah. Padahal kalau menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yang tidak layak huni itu ada 56,75% dan mau menjadi 70%. Berarti sudah punya rumah mereka, tetapi tidak layak huni,” ujarnya.

Itulah sebabnya, menurut dia, terdapat ketidaksinambungan yang dilakukan pemerintah terkait perumahan. Pemerintah justru memberikan perumahan kepada masyarakat, tetapi banyak masyarakat yang sudah memiliki rumah namun kondisinya tidak layak huni.

Di sisi lain, Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rionald Silaban mengungkapkan, rasio Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Indonesia termasuk menjadi yang terendah. Pemerintah telah menjadikan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebagai perhatian penting.

“Berkaitan dengan MBR ini, pemerintah melakukan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) sejak 2010 dengan mengalokasikan sekitar Rp79,99 triliun. Bahkan di dua tahun terakhir rata-ratanya mencapai Rp20 triliun yang dipakai untuk membiayai pembangunan sekitar 1,16 juta unit rumah,” kata Rionald.

Tak hanya itu, Kemenkeu juga telah memberikan penyertaan modal negara pada PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) (PT SMF) sejak 2017 untuk perumahan sebesar Rp7,8 triliun, dan pemerintah juga memberikan ekuiti kepada perumnas sekitar Rp1,5 triliun, dan ikut andil dalam right issue PT BTN dengan menambah modal Rp2,38 triliun dari kebutuhan Rp4 triliun ekuiti baru PT BTN. 

img
Erlinda Puspita Wardani
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan