close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.
Bisnis
Kamis, 01 Desember 2022 18:01

Badan Pangan Nasional di antara disharmoni dua regulasi 

Peran Badan Pangan Nasional dalam membangun sistem integrasi pangan masih terganjal dua regulasi yang belum harmonis.
swipe

Di tengah situasi pandemi Covid-19 yang memuncak pada pertengahan tahun 2021 silam, Badan Pangan Nasional yang menjadi amanat UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan resmi terbentuk. Melalui Perpres Nomor 66 Tahun 2021, badan ini didirikan tanggal 29 Juli 2021 untuk melaksanakan pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran cadangan pangan yang dilakukan melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Setelah satu tahun terbentuk, kehadiran dan keberadaan Bapanas atau National Food Agency/NFA memang telah menjadi angin segar bagi pembaruan tata kelola pangan yang lebih baik. Lembaga ini telah mengambil peran yang sangat krusial misalnya dalam kewenangan urusan ekspor-impor pangan.

Urusan yang semula sepenuhnya di bawah wewenang Kementerian Perdagangan perlahan mulai didelegasikan ke Bapanas. Utamanya pada sembilan jenis pangan yakni beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, daging ruminansia, daging unggas, telur unggas, dan cabai. Adapun komoditas selain itu masih di bawah Kemendag. Sayangnya, laju kinerja Bapanas masih terhadang sejumlah aturan yang belum harmonis.

Penasihat Senior Indonesian Human Rights Committee for Social Justice Gunawan mengatakan Undang-undang Cipta Kerja yang disahkan 2 November 2020 diturunkan dalam beberapa Peraturan Presiden (Perpres). Salah satu aturan turunannya adalah Perpres 32/2022 tentang Neraca Komoditas yang menentukan kebijakan ekspor-impor. 

Sayangnya, aturan ini, menurut Gunawan justru memiliki dualisme kewenangan dengan Perpres Bapanas. Dia menegaskan dalam konteks pangan, Perpres Neraca Komoditas terkait ekspor dan impor perlu memperhatikan Perpres Badan Pangan Nasional. Pasalnya, pada Pasal 49 Perpres 66/2021 terdapat pendelegasian kewenangan dari Menteri Perdagangan dalam hal perumusan kebijakan dan penetapan kebutuhan ekspor dan impor pangan.

"Di Badan Pangan Nasional, ada juga pendelegasian kewenangan dari Menteri Pertanian dalam hal perumusan kebijakan dan penetapan besaran jumlah cadangan pangan pemerintah yang akan dikelola BUMN di bidang pangan. Juga pemberian kuasa dari Menteri BUMN ke BUMN Pangan. Ini sama-sama Perpres," tuturnya dalam Webinar Alinea Forum: “Harmonisasi Regulasi dan Akuntabilitas Neraca Komoditas”, Senin (28/11).

Foto Reuters.

Karena ada potensi dualisme kewenangan ini, Gunawan menyarankan agar pemerintah bisa lebih memperhatikan kembali batasan kewenangan yang bisa dilakukan di neraca komoditas. Hal ini menentukan kebijakan ke depan yang dapat dihasilkan dan siapa yang menjadi penanggungjawabnya.
 
Jika sistem nasional neraca komoditas terkait dengan ekspor dan impor, kata dia, perlu diperhatikan aspek perlindungan khusus terkait persoalan pangan. “Satu sisi ada rencana kebutuhan ekspor impor tapi di sisi lain kita mengenal pembatasan impor pangan,” sebutnya.

Dia menilai meski di UU Ciptaker diamanatkan penyediaan pangan dan persyaratan impor demi kecukupan ketersediaan pangan, namun hal ini tidak boleh berdampak negatif pada pelaku usaha kecil, nelayan, dan lain-lain. Belum lagi dengan memperhatikan asas kedaulatan pangan, dan aspek kewenangan Bapanas.

“Kaitannya dengan kewenangan yang telah diserahkan Mendag Mentan dan Menteri BUMN dalam melaksanakan UU Pangan dan PP pangan,” tandasnya.

Gunawan juga menyoroti akuntabilitas impor pangan yang memerlukan rumusan transparan dan mempertimbangkan partisipasi masyarakat. Pasalnya, pangan menjadi salah satu tolak ukur sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

“Kedua kita menghindari dualisme antara kecukupan cadangan pangan nasional yang tercermin dari sistem informasi pangan dan neraca komoditas, misal terjadi ketidakcukupan sehingga memerlukan impor masuk,” tambahnya.

Terakhir, terkait putusan MK dalam perkara uji formil UU Ciptaker. Pasalnya, kata dia, UU Ciptaker tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara bersyarat apabila tidak dilakukan perbaikan dalam dua tahun. Bukan tidak mungkin, putusan MK ini akan menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, dan bahkan menerbitkan peraturan pelaksana baru.

“Ini kesempatan bagi kita semua bagaimana melakukan perbaikan terhadap UU Ciptaker dan  aturan pelaksanaannya sehingga enggak menimbulkan diskriminasi masyarakat dan nelayan di pedesaan,” tutupnya.

Foto Unsplash.com.

Lebih lanjut, wewenang Bapanas dalam membangun sistem informasi pangan yang terintegrasi akan digunakan untuk perencanaan, pemantauan dan evaluasi, serta melihat kebutuhan pangan tiap daerah. Pun juga dengan produksi, harga, neraca pangan, konsumsi, perkiraan pasokan hingga ekspor dan impor. Artinya, sistem informasi pangan bisa menjadi rujukan untuk ekspor-impor.

Namun, dengan amanat Perpres 32/2022 peran neraca komoditas tidak melibatkan masyarakat produsen. Padahal, impor pangan harus dipastikan tetap menjamin keberlanjutan usaha tani, peningkatan kesejahteraan petani, nelayan, pembudi daya ikan, serta pelaku usaha pangan mikro dan kecil.

Pentingnya transparansi

Mengapa keterlibatan masyarakat sangat penting dalam penetapan impor?  Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah menilai tata kelola impor perlu dibenahi karena menimbulkan banyak celah perilaku korupsi. 

Kajian yang dilakukan KRKP menemukan ada akses dan keterbukaan yang sangat lemah dalam tata kelola informasi pangan. “Kita enggak cukup punya ruang informasi detail prosedur impor disusun dan di mana titik lemahnya enggak teridentifikasi dengan baik, siapa yang dapat kuotanya, keterbukaan dalam penentuan jumlah yang diimpor.” ungkapnya pada kesempatan yang sama.

Karenanya, jika neraca komoditas tersusun dari data yang tidak cukup valid bisa menimbulkan banyak masalah korupsi seperti yang terjadi sebelumnya. “Problemnya sama kita tidak melihat di mana ruang Bapanas, saya jujur saja kehilangan jejak dari dua perpres itu saya melihat ada ketidaksinambungan,” cetus pria yang akrab disapa Ayip ini.

Menurutnya, hadirnya Bapanas tak lepas dari situasi carut marutnya data dan impor. Tapi dengan hadirnya perpres yang mengamanatkan neraca komoditas, peran Bapanas menjadi seolah tak ada. 

“Kita kehilangan keterbukaan publik dan terkait pengawasan gimana supaya neraca betul-betul valid dan bisa dikontrol publik, bagaimana integrasinya dengan Bapanas karena mereka kan punya kekuasaan menentukan dan mengkoordinasikan importasi, data awal harusnya ada disana juga,” paparnya.

Ayip memaparkan sebelum adanya neraca komoditas, pihaknya sudah melakukan kajian terkait proses bisnis ekspor/impor dengan menggunakan analisis Corruption Risk Assessment (CRA). Kajian dilakukan pada proses impor dua komoditas yakni daging sapi dan bawang putih.

Foto Pixabay.com.

“Ada tiga variabel utama: kemudahan pelaksanaan, ketepatan kebijakan, dan transparansi prosedur administrasi,” ungkapnya dalam kesempatan yang sama.

Lebih jauh, ia menyatakan setidaknya ada beberapa sub variabel yang berpotensi atau sudah menimbulkan biaya transaksi. Disinilah, celah perilaku korupsi bisa terjadi pada proses bisnis impor. Misalnya, pada persetujuan negara asal impor dan kemungkinan perlakuan memihak dari variabel kemudahan pelaksanaan.

“Ini punya potensi besar risiko korupsi,” sebutnya.

Selain itu, bebernya, kajian juga menangkap adanya tingkat keparahan biaya transaksi seperti dalam pembayaran PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak), verifikasi lapangan, pengurusan PNBP, pelaporan pelaksanaan terealisasi impor ke dinas kabupaten, provinsi, dan lain-lain.

Estimasi biaya transaksi pada impor daging sapi/kerbau misalnya, juga menyebabkan anomali. “Adanya peluang biaya transaksi sebesar Rp2.000 per kg ini menyebabkan anomali pada standar yang harus yang dipenuhi oleh importir saat melakukan pengurusan importasi daging sapi,” papar Ayip.

Temuan lain juga mencatat adanya perbedaan signifikan antara kuota dan realisasi impor daging. Pada tahun 2015, 2017, 2018, dan 2020 realisasi impor daging berada di bawah kuota. Adapun pada tahun 2016 dan 2019, realisasi impor justru lebih tinggi dari kuota. 

Menurutnya, hal ini terjadi karena pengusaha enggan memberikan laporan realisasi impor atau menambah volume impor melebihi jatah yang diberikan pemerintah. “Dengan terjadinya ketidaksinkronan realisasi dan kuota, ada peluang negara punya  kerugian karena PNBP yang menguap,” jelasnya.

Namun menurutnya, inti persoalan carut marutnya kuota dan realisasi impor adalah validitas data. Ayip juga mencatat ada 4 hal yang sebenarnya harus muncul pada proses impor yakni transparansi, partisipasi terutama dari produsen pangan. “Kita sering melupakan keberadaan mereka termasuk menentukan kuota. Lalu ketiga mekanisme komplain dan respon, misal ada data petani yang merasa produksi enggak segitu, dan pengawasan partisipatif,” bebernya.

Dia pun menekankan permasalahan kerawanan pangan sebenarnya tidak terjadi karena ketiadaan pangan itu sendiri. Namun lebih kepada kelangkaan pada demokratisasi pada kebijakan pangan secara keseluruhan. 

Asisten Deputi Fasilitasi Perdagangan Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian Tatang Yuliono pun membeberkan pentingnya negara menyusun neraca komoditas. Neraca komoditas (NK) menjadi data dan informasi yang memuat situasi konsumsi dan produksi komoditas tertentu untuk kebutuhan penduduk dan keperluan industri dalam kurun waktu tertentu yang ditetapkan secara nasional.

“Dengan neraca komoditas kami berharap data standar, misalnya ban kendaraan, kementerian perindustrian memandang ada 33 HS (harmonized commodity-red), kemendag 30, dengan NK disepakati memakai 30 HS, jadi saat impor enggak tercecer karena sudah sepakat,” contohnya.

Tangkapan layar Webinar Alinea Forum “Harmonisasi Regulasi dan Akuntabilitas Neraca Komoditas”, Senin (28/11).

Selain itu, tambahnya, data juga terintegrasi dari kementerian terkait. Basis data yang berasal dari kebutuhan pelaku usaha akan disandingkan dengan rencana pasokan berdasarkan data-data Badan Pusat Statistik (BPS) dan lembaga-lembaga lain. Selanjutnya, data ini akan diverifikasi oleh kementerian/lembaga (K/L) terkait. 

“Ada ikatan yang sama karena elemen data sudah terstandar, sampai ke pemberitahuan impor kita standarkan penyebutannya, misal beras, pake ton atau kilogram,” bebernya.

Pada tahun 2021, neraca komoditas memuat lima bahan pangan yakni gula, garam, daging, beras, dan ikan. Lalu pada neraca komoditas tahap II tahun 2022, ada 19 komoditas yang masuk di dalamnya. Adapun penetapan final neraca komoditas ini akan dilakukan pada minggu pertama Desember. 

Carut marut data

Pengaplikasian neraca komoditas pun mengundang reaksi pelaku usaha. Seperti pengalaman yang dituturkan Ketua Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia Suhandri. Hal ini terkait ketentuan agar kode HS komoditas semakin detail sehingga dipecah menjadi beberapa bagian. Misalnya pada daging, terpisah antara yang bertulang/bentuk utuh, dan potongan tanpa tulang, beku, dan tak beku.

Hal ini pada praktiknya, kata dia, menyulitkan prosedur impor yang harus dijalani pelaku usaha karena biasanya sangat bergantung pada bulan-bulan tertentu untuk mendapatkan harga yang bersaing. 

“Kita ketemu rencana kebutuhan dan pasokan, dipecah lagi jadi distribusi masing-masing kelompok daging. Jadi kalau pemerintah semakin detail semakin bagus tapi buat kita makin susah, rencana yang hanya 100 ton jadi kita minta 200 ton yang terjadi realisasi enggak tercapai,” bebernya.

Dia memaparkan konsumen daging sebenarnya ada empat yakni industri sebesar 10,8%, rumah tangga 29,2%, UKM 35,9%, dan HORECA (Hotel, Restoran, dan Cafe) 24,1%. Kebutuhan ini sebagian besar dipenuhi dari feedloter dan peternakan rakyat. Namun, saat ada importasi masuk maka pasarnya adalah rumah tangga dan UKM.

“Pertanyaannya apakah memakai nama daging kerbau atau sapi, kadang mereka enggak tahu, tahunya lembu, pasar impor tetap enggak berubah,” sebutnya. 

Selain itu, tambahnya, sebelum ada neraca komoditas penetapan impor harus melalui tiga K/L, serta dinas kabupaten dan provinsi. “Prosesnya cukup lama bisa 2-3 bulan terutama di kabupaten. Walaupun sudah ada DPMPTSP (Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu), jadi enggak ada pengaruh sistemnya tetap lama. Kalau belum disetujui di daerah enggak bisa lanjut ke kementan,” keluhnya. 

Lebih dari itu, Guru Besar IPB University Dwi Andreas Santoso justru menyoroti basis data yang kerap amburadul dalam komoditas pangan tanah air. “Bicara produksi dan konsumsi kalau data produksi kita di banyak komoditas masih bermasalah bagaimana bisa menetapkan NK yang benar,” ujarnya yang juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI).

Dalam Food Security Index, kata Andreas, terjadi pemburukan dari posisi 62 ke 69 di 2021. Ia mengkhawatirkan urutan indonesia bakal menjadi terbawah di posisi 113 pada isu natural resourches dan resilience. “Lebih rendah dari Mozambik dan negara-negara Afrika, paling rendah sedunia. Padahal ini jadi jaminan kita untuk menyediakan pangan yang memadai untuk masyarakat,” sebutnya.

Ia juga mencontohkan produksi padi yang memiliki data berbeda antara AB2TI dan Kementan. Di mana pada 2015 terjadi El Nino tapi Kementan mencatat ada lonjakan produksi. Kesalahan serupa juga terjadi pada 2017.

“Data menunjukkan produksi berlimpah padahal terjadi penurunan produksi tajam sampai Juni lahan yang puso karena hama sudah 600 ribu hektar dan masih eyel-eyelan mau impor atau tidak sehingga 2017 diputuskan enggak impor sehingga harga melonjak tertinggi di Januari,” bebernya.

Hal yang sama juga terjadi pada komoditas jagung, kedelai, gula, dan daging. Andreas pun mengingatkan pada komoditas kedelai dan gandum yang cenderung unregulated. Kondisi impor kedua komoditas ini semakin tak terkendali dan mengancam stabilitas pangan nasional. 

“Hati-hati dengan impor gandum dulu tahun 70-an konsumsi gandum 3% sekarang 23%. Kalau ini dibiarkan tahun 2045 konsumsi gandum sebagai bahan pokok hampir 50%, kalau ini terjadi, kita dalam ambang bahaya,” sebutnya.

Andreas meminta kepada seluruh pihak terkait agar tidak hanya memikirkan impor semata tetapi juga meningkatkan kesejahteraan petani. Pasalnya, komoditas seperti gandum, bawang putih sudah sepenuhnya impor, dan gula sebanyak 70% impor. 

“Kami menyarankan pemerintah fokus meningkatkan kesejahteraan petani. Jangan di dalam kepala terus menerus hantu inflasi pangan,” cetusnya.

Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.

img
Kartika Runiasari
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan