Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) masih membayangi pekerja di sektor manufaktur. Terbaru, PHK terjadi terhadap 511 pekerja pabrik kompor gas Quantum. PHK tersebut merupakan pilihan terakhir perusahaan yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada Juli 2024.
Menurut Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah, selama periode Januari hingga Agustus 2024, total ada 46.240 pegawai menjadi korban PHK. Meski jumlah tersebut lebih rendah dibandingkan periode Januari-November 2023, yang sebanyak 57.923 orang ter-PHK, namun kemungkinan bisa bertambah lantaran sektor manufaktur yang semakin anjlok. Pada Agustus 2024, menurut data Puchasing Managers Index (PMI) Indonesia, industri manufaktur anjlok ke level 48,9.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban menilai, akar masalah dari gelombang PHK yang melonjak adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Aturan itu, kata Elly, memberi legitimasi perusahaan memecat karyawan, tanpa pesangon. Menurut Elly, pemerintah jangan hanya memberi perlindungan kepada perusahaan, tetapi juga harus intervensi perusahaan untuk mencegah PHK.
“Seharusnya semua pekerja yang di-PHK ada intervensi pemerintah, apakah perusahaan besar merugi dan besoknya membuka lowongan baru atau ganti nama perusahaan,” ujar Elly kepada Alinea.id, Rabu (11/9).
“Dukungan dalam bentuk pengawasan saja, Mas. Kalau bantuan dana terlalu berat saat ini.”
Elly menyebut, ada puluhan ribu buruh yang di-PHK. Rata-rata berasal dari perusahaan garmen. Paling banyak di Jawa Tengah.
Sebagai informasi, Jawa Tengah menjadi wilayah paling kritis terjadi PHK, diikuti Jakarta dan Banten. Sektor industri pengolahan yang mencakup tekstil, garmen, dan alas kaki mendominasi PHK di Jawa Tengah dan Banten. Jawa Tengah mencatat 13.722 pekerja terkena PHK, Jakarta 7.469 pekerja, dan Banten 6.359 pekerja.
“Bisa jadi (PHK) lebih banyak yang tidak terdata karena yang non-serikat (buruh) di Jawa Tengah ribuan (orang). Anggota kami, ratusan (orang) di-PHK, tapi secara keseluruhan buruh garmen puluhan ribu,” kata Elly.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti mengatakan, gelombang PHK yang melonjak terkait erat dengan daya beli masyarakat yang menurun. Sebabnya, pendapatan riil menurun, sedangkan kecepatan kenaikan inflasi tidak sebanding dengan kenaikan upah.
“Sementara tabungan juga menurun,” ucap Esther kepada Alinea.id, Rabu (11/9).
Dari sisi suplai, kata Esther, naiknya biaya produksi akibat naiknya biaya bahan input meningkat. Kondisi ini semakin diperburuk dengan kebijakan pemerintah yang cenderung terkontraksi, baik dari sisi fiskal maupun moneter.
“Dari sisi fiskal, (misalnya) kenaikan tarif PPN (pajak pertambahan nilai), pengurangan subsidi, dan sisi moneter, (misalnya) kenaikan suku bunga,” ujar Esther.
Situasi ini membuat perusahaan harus melakukan efisiensi. Celakanya, hal itu ditempuh lewat PHK besar-besaran, sehingga serapan tenaga kerja juga berkurang jauh. Esther berpandangan, untuk menahan gelombang PHK, pemerintah semestinya melakukan relaksasi kebijakan keuangan.
Di sisi lain, pemberi kerja juga harus diberikan insentif untuk subsidi tingkat suku bunga. Tujuannya, mereka yang sedang membayar kredit terasa lebih ringan.
“Kebijakan fiskal dan moneter diarahkan untuk mendorong sektor riil bergeliat. Contoh, tarif pajak tidak dinaikkan dulu, iuran-iuran (Tapera atau dana pensiun) tidak diadakan dulu,” tutur Esther.
“Artinya, jangan bebani perusahaan, sehingga biaya produksi naik.”