Perekonomian dunia dan Indonesia yang telah menunjukkan pemulihan, tercatat belum bereaksi positif terhadap perbaikan di pasar saham.
Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat menyebut, ada sejumlah faktor yang memperlambat aset investasi untuk menguat.
“Pemulihan ekonomi di AS telah memicu kekhawatiran pasar terhadap potensi penghentian stimulus dari bank sentral AS, The Fed. Market teringat pada peristiwa taper tantrum di tahun 2013. Akan tetapi, kondisi saat ini berbeda dari tahun 2013 lalu,” kata Budi, dalam keterangan persnya, Senin (19/4).
Dia melanjutkan, pada 2013, bos The Fed, Ben Bernanke mengumumkan, The Fed akan mengurangi pembelian obligasi di masa tertentu. Hal ini diumumkan setelah ekonomi AS sempat pulih pascakrisis finansial 2008 yang memaksa The Fed untuk menggelontorkan stimulus dengan membeli surat utang (treasury bonds) hampir US$2 triliun.
Di pasar saham Indonesia, dana asing keluar sebesar US$6 miliar sejak 2013. Indonesia juga termasuk ke dalam The Fragile Five, bersama dengan India, Afrika Selatan, Brazil, dan Turki, akibat ketergantungan negara terhadap investasi asing dan tingginya defisit transaksi berjalan yang mencapai 3% terhadap PDB pada 2013. Akan tetapi, Bahana TCW melihat jika kondisi Indonesia saat ini jauh dari kerapuhan ekonomi di tahun 2013.
Saat ini, current account terhadap produk domestik bruto atau GDP (CA/GDP) hanya sebesar 0,45%, inflasi terjaga di level 1,37%, utang luar negeri terhadap GDP di level 10,71%. Sementara di tahun 2013, CA/GDP mencapai 3%, inflasi pada level 4,86%, utang luar negeri terhadap GDP di level 11,53%.
Adapun, lanjut Budi, penguatan ekonomi Indonesia masih terbatas karena dana asing yang masuk ke pasar saham masih terbatas dibandingkan investor domestik. Indonesia juga hanya baru mengamankan pasokan vaksin sekitar 64% dari total penduduk, akibat beberapa negara produsen menahan ekspor vaksin untuk mengamankan kebutuhan nasional.
Kepemilikan investor domestik ritel terhadap market juga mendominasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), dengan kepemilikan retail investor terhadap market mencapai 21%, dan volume transaksi mencapai 75%. Sementara, asing masih belum terlihat aktif di pasar saham.
Fundamental rupiah masih relatif kuat, ditopang dari kenaikan harga komoditas yang kuat dan mengimbangi kenaikan harga impor minyak.
Untuk strategi investasi, Budi menuturkan Bahana TCW Investment Management melihat, aset saham berpotensi mengalami kenaikan lebih besar ketimbang pasar obligasi maupun pasar uang.
“Kami melihat saat ini market bereaksi negatif terhadap sentimen positif. Meski demikian, kami melihat pasar saham akan menguat dengan melihat indikator ISLVE yang kami lihat,” ucap Budi.
Sebagai informasi, indikator ISLVE (interest rate-sentiment-valuation-liquidity-earning) yang didasarkan pada suku bunga yang relatif rendah, berpotensi memperkuat daya beli masyarakat dan berpotensi menguatkan saham-saham siklikal seperti saham properti dan otomotif.