Kementerian Keuangan (Kemenkeu) diminta tegas kepada instansi yang tidak optimal melakukan penyerapan anggaran sehingga menimbulkan sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA). Hal tersebut pun berdampak terhadap utang mengingat uang itu berasal dari pinjaman.
Anggota Komisi XI DPR, Marwan Cik Asan, lalu mencontohkannya dengan data beberapa tahun terakhir. SILPA 2020 mencapai 245 triliun, SILAP 2201 sebesar 84,9 triliun, dan SILPA 2022 senilai Rp111 triliun.
"Ini uang sisa yang tidak terpakai. Padahal, sejatinya uang ini kita peroleh dari pembiayaan artinya dari utang. Nah, ini tentu tidak di pure Bapak, tentu yang belanja juga harus dimarahin karena kenapa sudah hutangin, kok, enggak belanja?" ucapnya saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Kemenkeu di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Selasa (13/6).
"Tetapi, ini bagian dari evaluasi kita. Makin besar SILPA yang tersisa dari APBN kita, berarti makin besar juga uang hasil pinjaman yang tidak kita pakai dan ini adalah uang yang berbunga," sambungnya, menukil situs web DPR.
Selain itu, Marwan juga menyoroti imbal hasil investasi (yield) yang turut memengaruhi besaran utang negara. Menurutnya, imbal hasil investasi di Indonesia tergolong tinggi dibandingkan negara-negara Asia Tenggara.
Diketahui, Kemenkeu menetapkan target yield surat berharga negara (SBN) sebesar 6,49-6,91% sebagai indikator menyusul penetapan pagu indikatif program perbendaharaan, kekayaan negara, dan risiko sebesar Rp21,39 miliar.
"Indonesia ini tinggi sekali biaya bunganya itu lo, antara 6-7%. Ini jauh dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN. Nah, ini harus jadi solusi ke depan. Jangan kita nyaman karena kemudahan-kemudahan. Kita pinjam via SBN akibatnya kita tidak kreatif untuk mencari dana-dana yang lebih murah," tuturnya.
Politikus Partai Demokrat itu juga meminta Kemenkeu memperhatikan kulminasi utang pada 2025-2030 menyusul adanya pinjaman yang jatuh tempo secara bersamaan. Hal ini telah disampaikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2021.
Berdasarkan data Kemenkeu, posisi utang pemerintah mencapai Rp7.879,07 triliun per 31 Maret 2023. Dengan begitu, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 39,17%.
Angka tersebut naik Rp17,39 triliun dibandingkan Februari 2023 sebesar Rp7.861,68 triliun dengan rasio 39,09% terhadap PDB. Pun demikian jika dikomparasikan dengan Maret 2022, di mana mengalami kenaikan Rp826,57 triliun dengan rasio 40,39% terhadap PDB.