Porsi kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) masih tergolong tinggi yakni mencapai 39% hingga Juni 2019, dibandingkan pada 2017 sebesar 37%. Tingginya kepemilikan asing pada surat utang yang diterbitkan pemerintah ini dinilai bisa berdampak negatif bagi perekonomian Indonesia.
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan tingginya kepemilikan asing tersebut berdampak pada rentannya dana keluar yang segera (sudden capital outflow).
"Hal ini akan berdampak salah satunya pada pelemahan nilai tukar," kata Yusuf di Jakarta, Selasa (30/7).
Yusuf melanjutkan, capital outflow pada instrumen investasi ini pernah terjadi pada Oktober 2018. Saat itu, rupiah menjadi salah satu mata uang yang mengalami pelemahan paling dalam sebesar 12,4%.
Untuk diketahui, pemerintah menerbitkan SBN demi menutup defisit anggaran yang melebar. Tercatat hingga Juni 2019, pemerintah telah menerima penawaran surat utang hingga Rp531 triliun. Penawaran ini tumbuh 17% dari penawaran tahun lalu yang mencapai Rp453 triliun.
Tingginya kepemilikan asing di SBN, menurut Yusuf, disebabkan oleh dua faktor. Pertama, rendahnya pengetahuan masyarakat akan berbagai jenis produk keuangan.
"OJK pernah melakukan surve seberapa besar masyarakan mengenal produk keuangan. Dari survei itu terlihat masyarakat paling tau produk perbankan dan produk asuransi dan yang paling kecil produk investasi atau pasar modal," tutur Yusuf.
Yusuf melanjutkan, sosialisasi terhadap produk pasar modal relatif harus digenjot kembali agar masyarakat umum bisa mengetahui ada produk lain untuk mengatur keuangan di luar tabungan dan asuransi.
Sementara faktor kedua, adanya perebutan likuiditas di pasar. SBN harus bersaing dengan obligasi lain untuk menarik investor. Mau tak mau, pemerintah harus menawarkan imbal hasil (yield) yang lebih tinggi.
"Kalau seandainya terjadi capital outflow, kemudian pemerintah butuh surat utang untuk menutup defisit anggaran, mau tak mau akhirnya harus menawarkan yield yang lebih menarik kan. Karena daya tawarnya (SBN) semakin menurun ketika ada capital outflow dan kenaikan suku bunga," ujar Yusuf.
Yusuf mengatakan, peningkatan kredit rating Indonesia oleh lembaga pemeringkat, tak selalu selaras dengan penurunan yield. Tercatat, Indonesia dengan peringkat kredit bbb dari S&P memiliki yield yang berada pada kisaran 7,55%.
Dibandingkan dengan Vietnam yang peringkat utangnya kreditnya rendah dari Indonesia pada level BB, memiliki yield yang berada pada kisaran 4,71%. "Jika pemerintah ingin menurunkan yield, sebenarnya punya ruang, seperti Vietnam bisa menurunkan yield-nya secara gradual," kata Yusuf.