Hampir 90% anak-anak di Pulau Jawa memiliki kadar timbal darah (KTD) melebihi batas yang telah ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), yakni 5 µg/dL. Hal ini diungkap oleh sebuah penelitian yang dilakukan Occupational and Environmental Health Research Center Indonesia Medical Education and Research Institute Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (OEHRC IMERI FKUI) dan Yayasan Pure Earth Indonesia.
Dalam penelitian tersebut, dari 500 responden anak berusia 12 bulan hingga 59 bulan, memiliki KTD lebih dari sama dengan 20 µg/dL, dengan 34% di antaranya juga mengalami anemia. Dengan kondisi ini, anak-anak berisiko mengalami keterlambatan tumbuh kembang empat kali lebih tinggi.
“Anak dengan KTD lebih dari 20 µg/dL yang disertai anemia, 14%-nya mengalami keterlambatan tumbuh kembang,” ungkap Direktur IMERI FKUI Badriul Hegar, kepada Alinea.id, Rabu (17/1).
Selain itu, 19 anak dari total responden memiliki KTD di kisaran 45 µg/dL. Dengan kondisi ini, anak harus segera mendapatkan terapi.
Badriul bilang, sebagai salah satu unsur logam berat yang mengandung neurotoksin atau racun yang bersifat merusak jaringan saraf, timbal sangat berbahaya bagi manusia, khususnya anak-anak. Paparan timbal yang berlebihan dapat mengakibatkan masalah kesehatan, seperti cacat lahir, kerusakan otak, penyakit kardiovaskular atau jantung, hingga ginjal.
“Jika terpapar dalam jangka waktu lama, masyarakat dapat mengalami stres oksidatif,” imbuh dia.
Sementara itu, menurut Badriul, anak dengan tingkat KTD tinggi disebabkan oleh ayah atau orang tua yang memiliki KTD pula. Selain itu, paparan timbal juga dapat masuk ke dalam darah lewat lokasi bermain anak yang telah tercemar unsur logam itu.
“Dari analisis tempat tinggal (home-based analysis) yang kami lakukan, kami ambil sampel pada tanah, cat tembok, debu, air, udara, bumbu masakan, alat masak, tempat tidur, pakaian, hingga mainan anak,” jelasnya.
Dengan temuan ini, Guru Besar Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI Muchtaruddin Mansyur pun mendesak seluruh pihak untuk mengangani masalah ini. Sebab, apabila penanganan terlambat dilakukan, bukan hanya kondisi anak saja yang akan terancam oleh dampak timbal, namun juga generasi mendatang.
Pada akhirnya, paparan timbal di lingkungan dapat pula berpengaruh pada tujuan nasional untuk menjadi Indonesia Emas di 2045 mendatang. “Keterlambatan penanganan akan memengaruhi kualitas generasi mendatang karena tumbuh kembang anak terhambat serta angka penyakit jantung dan penyakit kronis lainnya melonjak,” ujar Muchtaruddin.
Dalam hal ini, seluruh pihak perlu gotong-royong menguatkan sistem kesehatan dan membangun kesadaran di masyarakat akan fatalnya bahaya timbal. Selain itu, masyarakat juga diimbau agar mengetahui apa saja yang berpotensi menimbulkan paparan timbal serta upaya pencegahannya.
Di tingkat rumah tangga, menjaga pola hidup bersih dan sehat dengan mencuci tangan sebelum makan, menggunakan alas kaki saat bermain atau ke luar rumah, berganti pakaian setelah berkegiatan di luar rumah, serta memberikan anak ASI eksklusif dan makanan bergizi seimbang adalah beberapa hal yang dapat mengurangi risiko paparan timbal. “Kalau anak memiliki keluhan kesehatan akibat terpajan timbal, keluarga harus segera membawanya ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan penanganan medis sesuai dengan rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI),” lanjut Muchtaruddin.
Sementara itu, di tingkat sektoral, para pemangku kepentingan diharapkan memformulasikan strategi dan intervensi yang tepat. Kontaminasi timbal di lingkungan dan dampaknya pada kesehatan perlu menjadi dorongan bagi semua pihak untuk segera melakukan tindakan penanganan dan pencegahan.
“Ketersediaan data yang menggambarkan kondisi lapangan diperlukan sebagai bahan diskusi lintas sektoral. Oleh karena itu, studi serupa diharapkan dapat berkembang menjadi program surveilans nasional,” ujar Direktur Yayasan Pure Earth Indonesia Budi Susilorini.