Bailout SVB dan pendanaan startup yang kian selektif
Belum usai musim dingin (tech winter) industri digital pada skala global. Berita buruk kembali terdengar. Silicon Valley Bank (SVB) dinyatakan kolaps pada Jumat (10/3) pagi waktu Amerika Serikat (AS). Bank spesialis pendanaan untuk startup ini dinyatakan bangkrut setelah 48 jam mengalami krisis modal. Regulator California kemudian memutuskan untuk menutup SVB dan menempatkannya di bawah kendali US Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC).
Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satu faktor kebangkrutan SVB adalah kenaikan suku bunga bank sentral AS (The Fed) yang agresif selama setahun terakhir. Padahal sebelumnya, ketika suku bunga mendekati nol, bank-bank memborong obligasi bertenor panjang yang dinilai berisiko rendah. Namun, ketika The Fed menaikkan suku bunga demi mengendalikan inflasi, nilai aset-aset tersebut pada akhirnya jatuh. Inilah yang membuat bank-bank, termasuk SVB menanggung kerugian yang belum dapat dipastikan. Yang pasti, SVB telah kehilangan US$1,8 miliar obligasi yang nilainya hancur imbas kenaikan suku bunga acuan.
Enam hari kemudian, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan penutupan SVB oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) Amerika Serikat pada 10 Maret lalu, tidak berdampak langsung terhadap industri perbankan di Indonesia. Namun demikian, Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira menilai kondisi runtuhnya SVB perlu diwaspadai. Ia menyarankan Bank Indonesia dan OJK segera lakukan stress test dan mitigasi risiko terhadap dampak ke perbankan.
“Terlalu dini untuk bilang dampak SVB bank kecil ke Indonesia,” sebutnya kepada Alinea.id, Selasa (24/3).
Dia menegaskan kejatuhan SVB pasti berdampak kepada perekonomian tanah air. Terlebih pada startup yang bergantung pada pembiayaan asing yang pada akhirnya bisa mengganggu transformasi digital.
Kejatuhan SVB, lanjutnya, juga semakin membuat peluang pendanaan startup di tanah air kian terbatas. Padahal, pembiayaan di dalam negeri pun masih terbatas pula. “Tentunya krisis SVB memberi sinyal untuk modal ventura lokal agar lebih selektif dalam memberi pendanaan ke aset digital," tambahnya.
Peristiwa bangkrutnya SVB, kata Bhima, juga mengingatkan pada dotcom bubble tahun 1995-2000. “Bedanya dotcom bubble saat ini lebih terintegrasi antara startup digital dan sektor keuangan sehingga mengirim sinyal risiko secara global,” tambahnya.
Menurutnya, saat ini wajar bila investor mencari aset yang aman seperti emas dan dolar AS. Hal ini terjadi akibat krisis manajemen risiko di perbankan yang cenderung terlalu agresif dan homogen di bisnis digital.
Perbedaan lainnya, pada 1995-2000 dotcom bubble tidak ada bank yang sampai gagal bayar atau di bailout pemerintah AS. Sementara saat ini, kondisi konektivitas digital dan keuangan sudah mengorbankan beberapa bank.
“Dulu aktivitas transaksi yang melibatkan startup digital dan konektivitas antar sektor keuangan tidak sebesar dan secepat saat ini. Kondisi sekarang lebih cepat menular, SVB bank telah menimbulkan riak sampai ke perusahaan digital di India dan China. Skala risiko sistemiknya bisa dibilang berkali lipat dibanding tahun 2000,” bebernya.
Dia memaparkan yang perlu diwaspadai utamanya adalah efek domino kejatuhan SVB pada modal ventura di Indonesia. Di mana beberapa perusahaan startup alami kondisi keuangan dalam tahap merugi atau membutuhkan suntikan modal baru untuk terus-menerus mempertahankan operasionalnya.
“Musim dingin di sektor digital diperkirakan terus berlanjut, artinya akan ada badai PHK bahkan beberapa perusahaan mungkin tutup permanen, bukan karena kalah bersaing tapi faktor likuiditas dan model bisnis,” ungkap dia.
Dalam Laporan Industry Megashift 2023 yang merupakan kolaborasi Inventure dan Alvara disebutkan, kolapsnya SVB adalah sebuah game changing, terutama bagi startup. Pasalnya, banyak startup yang didanai dan menyimpan uang di SVB. Bank ini selain menyuntikkan dana, juga sebagai medium menyimpan uang bagi banyak startup.
“Ke depan layanan digital akan ditinggalkan para penggunannya. Ini alarm tanda bahaya bagi startup. Runtuhnya SVB menjadi alarm bahaya bagi startup, tidak hanya di Amerika tapi Indonesia,” demikian bunyi laporan tersebut.
Startup bahkan akan terhimpit dari dua sisi, yakni hulu dan hilir. Dari segi hulu, pendanaan startup akan bermasalah. Dari segi hilir, banyak layanan digital yang tidak sesuai dengan kebutuhan konsumen.
Bisnis risiko tinggi
Ketua Umum Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Jefri R Sirait mengatakan ketika suatu lembaga jasa keuangan seperti bank di skala global bangkrut, maka semua pihak di seluruh dunia harus waspada. Apalagi bisnis keuangan dalam hal ini pembiayaan startup ini termasuk high risk profiling.
Menurutnya, runtuhnya SVB sangat berkorelasi dengan Indonesia terutama pada perkembangan startup di tanah air. “Pasti ada relationship antar investor dan pendanaan di Indonesia, harus aware,” tuturnya kepada Alinea.id, Selasa (22/3).
Sayangnya, dia melihat sejauh ini di Indonesia pemaparan dampak langsung dan tidak langsung masih kurang ‘terbuka’. Termasuk bagaimana konsolidasinya dari pernyataan yang sudah dirilis oleh OJK. Padahal di tanah air, pelaku investasi di Indonesia lebih banyak non-bank, meski secara angka tidak begitu signifikan.
Selain itu, modal ventura juga terkoneksi dengan private equity (PE) yang sayangnya juga belum terkonsolidasi dengan baik. Hal ini membuat analisa untuk menghadapi dampak SVB tidak begitu ‘strong’.
“SVB menjadi pelajaran yang sangat berarti untuk negara lain termasuk Indonesia. Yang harus dilihat banyak industri startup enggak banyak terlihat karena banyak investment yang undisclosed (tertutup-red) enggak seperti negara sebelah,” ungkapnya.
Jefri pun menceritakan iklim investasi pada bisnis digital mencapai puncaknya pada tahun 2019. Investasi pada startup dan industri lainnya kemudian kian bergairah pada tahun 2021. Baru pada pertengahan tahun 2022, investasi startup mulai melambat.
“Ini menunjukkan investor di luar pada pascapandemi melihat mereka sangat aware dengan startup, prudent itu penting,” tambahnya.
Dia pun mengakui runtuhnya SVB sedikit banyak mempengaruhi likuiditas bagi pendanaan startup di tanah air. Di sisi lain, investor juga masih menunggu masa depan startup dengan fundamental yang lebih cerah. “Persaingan antar startup juga semakin ketat, seperti kompetisi di e-commerce,” tambahnya.
Sejauh ini, banyak startup yang tercatat telah melewati pendanaan seri A atau pendanaan perdana dari investor. Beberapa diantaranya bahkan sudah mendapatkan pendanaan hingga seri I. “Number of investment di seri yang besar dan jumlah startup yang menurun artinya mereka sudah jadi company yang established,” ungkapnya yang juga Co-Founder and Managing Partner di Gayo Capital ini.
Persaingan di antara startup ini, lanjutnya, sangat lumrah sebagaimana persaingan di bisnis konvensional. Di mana di setiap perusahaan pasti akan mendapat pangsa pasarnya masing-masing karena pada dasarnya startup juga merupakan wirausaha.
Ke depan, beberapa perusahaan modal ventura pun harus melihat kembali hubungan dengan para investee company atau perusahaan yang mendapat suntikan investasi. Kebanyakan dari mereka, kata dia, lebih memilih memperpanjang hubungan dengan startup eksisting, alih-alih membuka investasi untuk startup anyar.
“Walaupun industri venture sudah ada 10 tahun terakhir, tapi investasi dari 100 misalnya hanya 2, 3, 5 yang bagus itu performance-nya. Karena venture kan high risk tapi high return, ini yang harus dipahami,” tegasnya.
Tetap investasi
Dengan keruntuhan SVB yang menjadi ‘kiblat’ bagi para pengusaha digital dalam hal inovasi teknologi, Jefri menilai para perusahaan modal ventura juga harus semakin waspada. Namun, dia juga berpesan agar perusahaan modal ventura tidak berhenti menanamkan investasinya pada perusahaan rintisan.
Bukan tidak mungkin, modal ventura lah yang menjadi harapan utama bagi startup untuk bisa mengembangkan bisnisnya.”Jangan berhenti, karena kalau berhenti mereka semakin kolaps,” ujarnya.
Lebih baik, kata dia, perusahaan modal ventura kembali melihat hubungan kerja sama dengan investee-nya. Ketika tidak ada hasil dari kerja sama bisnis, lanjutnya, maka divestasi bisa ditempuh. “Tapi kalau itu harus di-maintain bahkan ada akselerasi ya sudah, jadi mari kita lihat kembali investee-investee yang sekarang ada di portofolio kita masing-masing,” pesannya.
Dia mengakui keputusan divestasi juga pernah diambil beberapa perusahaan modal ventura. Hal ini kembali lagi merujuk pada fundamental perusahaan rintisan. Menurutnya, jika startup sudah melalui pembiayaan seri B dan mendapatkan seri C, D dan seterusnya maka relatif bisa bertahan.
“Biasanya adalah industri belum kuat, dari seri A pre exit,” tambahnya.
Jefri pun mengingatkan para startup agar mempersiapkan fundamental bisnis yang semakin prudent. Hal ini juga demi keberlangsungan bisnis dalam jangka panjang. Bagaimanapun, Jefri melihat dampak keruntuhan SVB dan era suku bunga tinggi tetap harus dipandang optimis bagi keberlangsungan bisnis startup.
Bahkan menurutnya, perkembangan startup di tanah air selalu ‘summer’ alias musim panas dan tidak mengalami musim dingin (winter). Dia menekankan negara-negara besar seperti China dan Rusia berbondong-bondong ke Indonesia karena negara ini merupakan pasar yang besar.
“Jangan sampai kita hanya jadi market dari produk-produk luar,” sebutnya.
Karena itu pula, kondisi tech winter di global dan adanya dampak SVB jangan dipandang sebagai mimpi buruk bagi startup. Karenanya, modal ventura harus tetap melakukan pendanaan bagi startup-startup yang potensial dengan inovasinya. Bagaimanapun, inovasi adalah napas utama bagi lahirnya startup. Di mana tidak bisa dimungkiri pada fase awal atau early stage, startup banyak yang terombang-ambing sehingga membutuhkan bantuan pendanaan.
“Kalau startup punya inovasi, harusnya ini dilindungi dulu, bring the innovation, transfer teknologi. Let’s do it together para startup dan venture capital,” ujarnya bersemangat.
Butuh keberanian
Jejak keberadaan startup sendiri di tanah air sendiri sudah terlihat sejak tahun 2015. Hingga kini, pendanaan perusahaan rintisan karya anak bangsa banyak didanai oleh investasi modal ventura, dana asing, hingga kolaborasi perbankan dan modal ventura.
Pasalnya, industri digital yang relatif baru ini sebenarnya memiliki potensi luar biasa besar. Berdasarkan data dari Kemenko Perekonomian, pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia tercatat tertinggi di Asia Tenggara dengan nilai ekonomi sekitar US$70 miliar pada 2021 dan diperkirakan terus naik sampai US$146 miliar pada tahun 2025
Pada awal 2023 dan di tengah fenomena tech winter misalnya, Bank Jago melihat industri digital masih sangat prospektif, termasuk di dalamnya perusahaan berbasis aplikasi. Direktur Partnership Business Bank Jago, Sonny Christian Joseph, mengatakan ekonomi digital bakal tumbuh pesat apabila institusi keuangan dan platform digital menjalin kolaborasi yang intens dan saling menguntungkan.
"Prospek perusahaan berbasis aplikasi tetap menjanjikan sepanjang memiliki model bisnis yang berkelanjutan dan sesuai dengan kebutuhan pasar," kata Sonny pada akhir Januari lalu.
Tak heran bila Bank Jago menjadikan perusahaan rintisan ataupun pelaku UMKM yang menjadi bagian dari platform digital sebagai sasaran pembiayaan. Komitmen ini dilakukan demi membuka jalan bagi pelaku usaha digital agar bisa masuk ke ekosistem digital.
Selain kiprah bank digital ini, ada pula bank asing yang masih tertarik mendanai startup. Tercatat, ada PT Bank DBS Indonesia dan PT Bank HSBC Indonesia yang gencar menyasar pasar ekonomi digital Indonesia.
Bank DBS Indonesia diketahui memberikan fasilitas kredit kepada startup otomotif Broom senilai Rp100 miliar. Fasilitas kredit itu bertujuan mengakselerasi pertumbuhan Broom dan memperluas cakupan layanan startup itu di Indonesia. Selain itu, Bank DBS Indonesia juga telah menyalurkan pinjaman (loan facility) jangka pendek senilai Rp500 miliar kepada startup perikanan eFishery.
Adapun HSBC Indonesia juga gencar menyasar potensi pasar ekonomi digital di Indonesia seiring dengan munculnya banyak startup bernilai US$1 miliar atau unikorn. Namun, langkah HSBC Indonesia dilakukan dengan kolaborasi yaitu menggaet platform teknologi finansial (fintech).
Kolaborasi juga menjadi langkah yang ditempuh PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga) untuk membiayai startup. Pada tahun 2019, bank swasta ini mulai menjalin kerja sama dengan perusahaan pinjaman ventura (venture debt) terkemuka di Asia Tenggara, Genesis Alternative Ventures (Genesis). Kerja sama dilakukan dalam menyalurkan pembiayaan kepada perusahaan startup Indonesia dengan total komitmen sebesar Rp300 miliar.
Berbeda halnya dengan bank-bank yang tergiur pada potensi ekonomi digital, bank syariah lokal seperti BCA Syariah memutuskan belum berinvestasi di startup hingga saat ini.
Presiden Direktur BCA Syariah Yuli Melati Suryaningrum mengatakan keputusan itu didasari fakta bahwa anak usaha BCA ini belum memiliki keahlian dalam bidang tersebut. Selain itu, pembiayaan untuk startup sangat berbeda dengan pembiayaan sektor lainnya. Di mana pendanaan untuk startup lebih kepada investasi bukan pembiayaan.
“Sangat berbeda pengambilan keputusannya antara banker dengan investor. Kalau investor once kita sudah taruh uangnya, kita serahkan pada pengelola. Bankers kan enggak, ketika risiko tinggi dan bank enggak ada pengalaman itu bukan porsi bank untuk masuk,” beber Yuli kepada Alinea.id, Selasa (21/3).
Menurutnya, bank memegang uang masyarakat sehingga berapapun yang keluar harus bisa dipertanggungjawabkan. Berbeda halnya dengan uang investor yang memandang risiko pembiayaan dari sudut berbeda.