Penyertaan modal negara (PMN) dinilai tidak bisa menjadi solusi tunggal dalam mengatasi berbagai masalah yang mendera badan usaha milik negara (BUMN). Dicontohkannya dengan Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog).
Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR, Anis Byarwati, menyampaikan, utang Bulog besar. Bahkan, harus mengucurkan Rp120 miliar per bulan untuk membayar bunga utang saja.
"Seharusnya pemerintah tidak hanya melakukan klasterisasi BUMN, akan tetapi juga harus melihat perjalanan BUMN tersebut, apakah layak atau tidak mendapatkan PMN," ujarnya dalam keterangannya.
Anis mengingatkan, PMN berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Dengan demikian, mestinya dilakukan pengawasan dan evaluasi atas pemanfataan dana tersebut.
"Sehingga, BUMN penerima PMN tidak selalu harus sama setiap tahun dan PMN tidak dimaknai sebagai sesuatu yang rutin bagi BUMN," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Bagi Anis, BUMN mestinya dikelola dengan semangat memberikan kontribusi signifikan. "Agar negara memiliki pendapatan lebih besar untuk bisa menyejahterakan rakyatnya."
"Namanya badan usaha, seperti badan usaha pada umumnya, tentu harus menghasilkan profit. Oleh sebab itu, UU tentang BUMN mencantumkan tujuan pendirian BUMN adalah mengejar keuntungan," imbuhnya.
Sayangnya, merujuk kajian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) 2021, tidak lebih dari 10 BUMN yang memberikan keuntungan bagi negara. Sebanyak 4 perusahaan negara di antaranya yang memberikan profit signifikan.
"Ini menunjukkan selama masa berdirinya hingga sekarang, tujuan didirikannya BUMN, sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri bangsa, belum tercapai," ucapnya.