Dana pemerintah Rp35 T untuk bank jangkar, bagaimana risikonya?
Pemerintah memperkenalkan Bank Jangkar atau dalam aturan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020 disebut Bank Peserta.
Bank Jangkar akan menjadi bank yang menerima penempatan dana dari Kemenkeu. Jumlah dananya mencapai Rp35 triliun dan akan dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Nantinya, dana sebesar itu disalurkan Bank Jangkar ke perbankan yang disebut Bank Pelaksana guna restrukturisasi kredit dan pemberian kredit modal kerja baru bagi UMKM.
Kebijakan ini sempat menuai polemik. Pasalnya, Bank Sentral dinilai lebih memiliki kekuatan dalam urusan likuiditas perbankan.
Lalu, apa respons pemerintah?
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan penempatan dana di Anchor Bank atau Bank Jangkar bukan untuk membantu likuiditas bank. Alokasi dana itu untuk mendorong kemudahan kredit bagi UMKM agar tetap tumbuh di tengah pandemi Covid-19.
"Saya tekankan di sini, penempatan dana bukan merupakan penyangga untuk membantu likuiditas bank," katanya dalam video conference, Senin (18/5).
Dia juga menekankan, pemerintah tidak hendak mengambil alih tugas Bank Indonesia (BI) dalam kontrol likuiditas, tugas Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di pengawasan perbankan, dan tugas Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) di penjaminan simpanan.
"Jadi dalam hal ini pemerintah tidak mengambil alih. Tugas masing-masing lembaga tetap dilaksanakan sesuai dengan mandat Undang-Undang (UU) dari lembaga itu, yang kebetulan keempatnya adalah komponen dari Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK)," ujarnya.
Mekanisme bantuan ini akan didapatkan Bank Pelaksana dengan menggadaikan kreditnya kepada Bank Jangkar. Hal ini dilakukan jika bank tersebut sudah mentok dari sisi likuiditas dan kondisinya sudah tak memungkinkan lagi melakukan gadai atau repurchase agreement (repo) surat berharga negara (SBN) yang dimilikinya kepada Bank Indonesia (BI).
Sri Mulyani mengatakan Bank Jangkar atau Bank Peserta yang akan mendapatkan penempatan dana dari pemerintah tetap akan melalui persetujuan OJK sesuai dengan kriteria di PP 23/2020. Yaitu, bank dengan tingkat kesehatan baik dan memiliki jumlah aset besar.
Sementara untuk Bank Pelaksana, harus menyerahkan proposal penempatan dana terlebih dahulu kepada Bank Peserta. Proposal ini basisnya adalah restrukturisasi yang dilaksanakan oleh Bank Pelaksana tersebut terhadap kredit-kredit UMKM. Proposal tersebut mencantumkan jumlah dana yang dibutuhkan, tenor, kondisi likuiditas, dan jumlah kepemilikan surat berharga.
"Ini dilakukan agar Bank Pelaksana mendapatkan penempatan dana pemerintah melalui Bank Jangkar," ujarnya.
Selain itu, manajemen dan pemegang saham dari Bank Pelaksana harus menjamin kebenaran dan akurasi dari proposal penempatan dana. Lalu, Bank Peserta dapat membentuk special purpose vehicle (SPV) untuk melakukan penelitian terhadap proposal tersebut.
Termasuk di dalamnya adalah melakukan verifikasi, administrasi, penagihan, dan connection untuk mengantisipasi terjadinya kredit macet di Bank Pelaksana. Tujuan pembentukan SPV, agar Bank Peserta tidak langsung terkena dampak jika terjadi kredit macet di Bank Pelaksana.
Apabila proposal disetujui, Bank Peserta mengajukan penempatan dana kepada Kemenkeu sekaligus meminta assesment atau penilaian ke OJK terhadap status kesehatan dari Bank Pelaksana, info mengenai jumlah SBN yang belum direpokan, dan kebutuhan dana di dalam restrukturisasi UMKM.
Kemenkeu selanjutnya akan menempatkan dana di Bank Peserta berdasarkan hasil assessment OJK dan proposal yang disampaikan Bank Peserta. Kemudian Bank Peserta atau SPV yang ditunjuk oleh Bank Peserta melakukan penyaluran dana kepada bank yang membutuhkan dukungan dana talangan pemerintah untuk restrukturisasi kredit.
Selain itu, LPS pun menjamin dana pemerintah yang ditempatkan di Bank Peserta untuk menghindari potensi kerugian.
"Dalam hal Bank Pelaksanaanya tidak dapat memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo, maka BI dapat mendebit rekening giro dari Bank Pelaksana untuk pembayaran kembali kepada Bank Peserta," ucapnya.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Pemerintah, OJK, dan LPS akan melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana di Bank Pelaksana dan Bank Peserta sesuai program restrukturisasi dan pemulihan di sektor riil dan UMKM.
Beda dengan 1998
Kepala Ekonomi BNI Ryan Kiryanto dalam kesempatan terpisah, Senin (18/5) mengatakan skema pengucuran dana likuiditas yang ditempuh pemerintah sekarang berbeda dengan penanganan yang dilakukan pada masa krisis ekonomi 1998. Likuiditas disalurkan bukan secara langsung oleh Bank Indonesia atau pemerintah, tetapi oleh Bank Jangkar yang akan ditunjuk.
Ia menyatakan OJK akan menunjuk di antara 15 bank yang memiliki aset terbesar atau bank-bank yang masuk dalam BUKU IV. Dari 15 bank ini, kemudian diseleksi bank-bank yang memenuhi persyaratan untuk menyalurkan bantuan kepada bank-bank di buku lainnya yang mengalami kesulitan likuiditas dalam rangka program restrukturisasi kredit debitur.
Ryan menyebutkan penunjukan Bank Jangkar dan Bank Pelaksana harus sangat hati-hati. Pasalnya, dalam kondisi pandemi Covid-19 ini, praktik bisnis tidak bisa berjalan seperti biasa atau bussiness as usual.
Selain itu, aturan terkait Bank Jangkar juga harus jelas dan memiliki kepastian hukum.
"Misalnya OJK harus menetapkan syarat-syarat yang jelas untuk menjadi Bank Jangkar. Disebutkan dalam peraturan bahwa 51% pemegang saham Bank Jangkar adalah Warga Negara Indonesia (WNI) dan berbadan hukum Indonesia. Lalu bagaimana dengan Bank BUMN yang mayoritas sahamnya dimiliki pemerintah? Apakah masuk dalam ketentuan tersebut?" ujar Ryan.
Ia menyatakan, tantangan yang juga dihadapi adalah bagaimana Bank Jangkar mencari pasangan yang cocok. Jika Bank Jangkar yang berada di BUKU IV mencari pasangan dengan Bank Pelaksana yang berada di BUKU III dan BUKU II akan lebih mudah, namun ini tidak mudah jika dilakukan pada bank yang berada pada BUKU I.
Ryan menilai, penyaluran likuiditas dari Bank Jangkar ke Bank Pelaksana juga akan secermat mungkin dalam menghitung marjin keuntungan dan risiko yang mungkin terjadi.
"Cost and benefit benar-benar akan dihitung secara matang. Dan kebijakan setiap bank tentu akan berbeda. Karena ini menjadi urusan dapur masing-masing bank tersebut," kata Ryan.
Ia menuturkan, Bank Jangkar bisa mengambil keuntungan atau marjin dari kebijakan relaksasi tersebut. Namun sebaliknya, risiko yang dihadapi juga ada, yakni kenaikan kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) jika penyaluran kredit berjalan tidak lancar. Restrukturisasi kredit ini memang memiliki payung hukum, yakni POJK 11 yang terbit pada 2020 yang akan berlaku sampai 31 Maret 2021.
OJK selaku pengawas penyaluran dana likuiditas ini juga harus mengawasi secara reguler. Lembaga ini bisa mencari terobosan baru jika antara Bank Jangkar dan Bank Pelaksana tidak terjadi titik temu atau no deal. Dalam situasi seperti ini, tanpa campur tangan pemerintah maka bank-bank yang membutuhkan likuiditas akan mengalami kesulitan.
Ryan memperkirakan, secara umum kondisi perbankan masih akan mengalami tekanan pada 2020 karena belum ada kepastian kapan pandemi Covid-19 ini akan berakhir. Pertumbuhan kredit perbankan diperkirakan akan lebih rendah dibandingkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB pada 2020 diperkirakan akan tumbuh sekitar 3,5%, sedangkan pertumbuhan kredit perbankan diperkirakan sekitar 2-3%.
Ryan menambahkan, banyak pihak berharap pada kuartal III dan IV ini pandemi Covid-19 mulai bisa diatasi sehingga terjadi pemulihan ekonomi global yang lebih cepat.
"Kuncinya jika penyebaran Covid-19 ini adalah kurva berbentuk V maka optimisme akan tinggi di antara para pelaku ekonomi. Kita berharap jangan sampai yang terjadi adalah kurva W atau penyebaran virus Corona gelombang kedua. Ini akan membuat tekanan baru," ujarnya.
Ia mengatakan, krisis ekonomi 2020 ini lebih berat dibandingkan krisis keuangan 2008. Pasalnya, krisis yang terjadi sekarang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan seluruh masyarakat dunia. Pemulihan ekonomi secara global akibat pandemi Covid-19 juga membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan krisis ekonomi 2008 yang dimulai di Amerika Serikat. (Ant)