Gelaran pemilihan kepala daerah (Pilkada) diyakini akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2018. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memperkirakan ekonomi dapat tumbuh 5,1%.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira menyebutkan secara historis pilkada yang yang diselenggarakan di Indonesia selama ini berhasil mendongkrak pertumbuhan ekonomi sekitar 0,1% sampai 0,2%. Meski kontribusinya tidak terlalu besar, namun jika berkaca pada tahun 2017 dimana pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05%. Maka, tahun ini bisa mencapai 5,1%.
"Peredaran uang akan meningkat 10%. Guyuran uang ke daerah yang merupakan belanja politik akan meningkatkan daya beli masyarakat," kata Bhima seperti dikutip Antara.
Secara nasional ekonomi domestik sebanyak 56% didorong oleh konsumsi. Dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi yang flat di bawah 5% pada tahun lalu, konsumsi tahun ini akan lebih meningkat karena adanya belanja politik.
Kredit bank bisa naik
Gambaran ekonomi sebuah negara yang baik tercermin dari kredit perbankan. Helatan pilkada diyakini turut membuat sektor perbankan sedikit lebih sibuk.
Biasanya dua bulan menjelang pemilu, bank kerap memberikan kredit lebih tinggi. Pemilu dianggap berpengaruh positif terhadap pertumbuhan kredit industri perbankan.
Sementara itu, sektor perdagangan, jasa, komunikasi dan transportasi diperkirakan mengalami pertumbuhan positif seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat saat kampanye Kepala Daerah. Nah, sebagian besar sumber keperluan kampanye tersebut banyak berasal dari pinjaman perbankan yang diajukan oleh calon-calon kandidat.
Ekonom Amerika Serikat Daron Acemoglu dalam tulisannya pada tahun 2014 menjelaskan pemilu atau pilkada memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Meskipun kontribusinya tidak terlalu signifikan.
Investasi yang dikeluarkan oleh calon anggota legislatif biasanya mencapai Rp 750 juta hingga Rp 1 miliar per caleg DPR. Sedangkan untuk caleg DPR Provinsi sebesar Rp 250-500 juta.
Maka, setiap calon perlu mengalokasikan dana baik dari dana sendiri, maupun kredit atau dari sponsor politiknya.
Selama pemilu, penawaran kredit semakin tinggi karena adanya kepentingan politik yang dapat dimanfaatkan oleh manajemen bank. Pada konteks Indonesia, terdapat pula fenomena meningkatnya kredit karena biaya kampanye kandidat yang tinggi.
Transaksi politik pun bisa terjadi antara manajemen bank dan kandidat. Jika terpilih sebagai pemimpin daerah, anggota dewan atau pemimpin negara, kandidat dapat memberi keuntungan bagi bank.
Investasi tumbuh
Sejalan dengan laju pertumbuhan kredit bank yang positif. Sisi investasi pun diperkirakan akan mengikutinya, Bhima memprediksi masih akan tetap positif. Investasi yang berkontribusi sekitar 30% dari PDB, pada triwulan III-2017 lalu mampu tumbuh 7% dari kisaran 4-5%.
"Asing memang akan agak mengurangi sedikit karena banyak wait and see pada tahun politik. Namun investasi domestik masih akan cukup dominan dan jadi driver" kata Bhima.
Sementara itu, belanja pemerintah yang berkontribusi sekitar 9% terhadap PDB, diprediksi akan tumbuh lebih dari 7% pada tahun ini. Stimulus fiskal seperti bansos dan dana desa, serta kenaikan harga komoditas juga disebut akan meningkatkan daya beli masyarakat sehingga ekonomi dapat bergerak lebih cepat.
Bhima juga berharap pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang aneh sepanjang 2018 sehingga dapat mengganggu stabilitas perekonomian. Plus, bisa menghambat ekonomi domestik melaju lebih cepat dari sebelumnya.
"Kalau firm perpajakan misalkan, apa yang mau disasar ini harus jelas. Jangan nanti karena panik defisit fiskalnya melebar, kelas menengah dan bawah yang jadi sasaran penerimaan pajak. Itu bikin resah pengusaha juga," ujar Bhima.
Dia mencontohkan seperti pada tahun lalu ketika pemerintah akhirnya merevisi batas minimum saldo rekening yang wajib dilaporkan ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dari semula Rp 200 juta menjadi Rp 1 miliar, setelah pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merasa keberatan.