Pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengakui memiliki pekerjaan rumah (PR) terkait metode penghitungan kemiskinan ekstrem. Saat ini, pemerintah menggunakan US$1,9 paritas daya beli (purchasing power parity/PPP).
Dengan menggunakan patokan itu, angka nasional kemiskinan ekstrem pada Maret 2022 sebesar 2,04% atau 5,59 juta jiwa, menurun dari data Maret 2021 sebesar 2,14% atau 5,8 juta jiwa. Namun, jika menggunakan patokan US$2,15 PPP angka kemiskinan akan naik atau bertambah menjadi 6,7 juta jiwa.
Jika patokan tersebut dipakai, kata Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, pemerintah harus bisa menurunkan angka kemiskinan ekstrem 3,35 juta jiwa per tahun. "Satu pekerjaan rumah yang sekarang kami hadapi adalah mengenai metode penghitungan kemiskinan ekstrem," katanya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Senayan, Jakarta, pada Senin (5/6).
Pemerintah Indonesia menargetkan angka kemiskinan ekstrem 0% atau bebas dari kemiskinan ekstrem pada 2024. Pengurangan kemiskinan dan penghapusan kemiskinan ekstrem dijadikan arah kebijakan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2024. Bappenas menetapkan target pengurangan tingkat kemiskinan 6,5-7,5 pada 2024.
Untuk melakukan pengentasan kemiskinan ekstrem terintegrasi, kata Suharso, Bappenas mengombinasikan tiga langkah strategis. Pertama, pemberian bantuan sosial untuk mengurangi beban pengeluaran. Kedua, pemberdayaan sosial ekonomi yang memberikan jaminan pendapatan berkelanjutan. Ketiga, perluasan akses pelayanan dasar untuk membangun sumber daya manusia (SDM).
Suharso menjelaskan, saat ini masih terdapat 16 provinsi dengan tingkat kemiskinan relatif tinggi. Aceh memiliki tingkat kemiskinan di kisaran 12-12,5%, Sumatera Selatan 9,5-10,3%, Bengkulu 9,5-10%, dan Lampung 9,5-10%.
Kemudian, Jawa Tengah 9,5-10%, Jawa Timur 8,5-8,9%, DI Yogyakarta 10,85-11,2%, Gorontalo 13,7-14%, Sulawesi Barat 8,5-8,7%, Nusa Tenggara Barat 12,5-12,85%, Nusa Tenggara Timur 16,5-16,9%, Sulawesi Utara 9,5-9,8%, Sulawesi Tenggara 10-10,3%, Maluku 14-14,6%, serta Papua Barat 18,9–19,2%.
"Berdasarkan sasaran pembangunan provinsi tahun 2024, ada sekitar 16 provinsi dari 34 provinsi yang kami masih hitung karena Papua dan Papua Barat masih kami jadikan satu. Itu yang tingkat kemiskinannya relatif tinggi dibandingkan sasaran pembangunan 2024," ujar Suharso.