Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) menyebut rencana operasional Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama Indonesia yang ditargetkan pada 2049 terlalu lama.
Djarot Sulistio Wisnubroto selaku Peneliti Senior BATAN berasumsi, jika Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara akan berhenti beroperasi pada 2050, maka harus ada pembangkit pengganti yang setara.
"Kalau 2049 menjadi tahun pertama PLTN itu terlalu lama menurut saya," katanya kepada Alinea.id, dikutip Minggu (20/2).
Artinya, kata Djarot, harus ada pembangkit baseload berskala besar yang menggantikan keberadaan PLTU, dalam hal ini PLTN.
"Karena BATAN sudah lebih dari 40 tahun mempersiapkan, maka kapan saja pemerintah menyatakan 'go nuclear' maka kami siap," tuturnya.
Djarot memperkirakan, lokasi pertama pembangunan PLTN di Indonesia adalah di Kalimantan Barat (Kalbar). Alasannya karena besarnya dukungan dari masyarakat. Berdasarkan jajak yang dilakukan pada 2019, lebih dari 87% masyarakat Kalbar memberikan dukungan.
"Mereka tidak ingin impor listrik dari Malaysia, dan daerahnya relatif stabil dari gempa dan tsunami," ujarnya.
Untuk diketahui, pemerintah memiliki target mencapai netral karbon pada 2060. Semua sektor berupaya menekan emisi, salah satunya kelistrikan. Nantinya setelah 2030, penambahan pembangkit tidak hanya berasal dari energi terbarukan, tapi juga energi baru seperti nuklir.
Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif. Dia mengatakan, mulai 2035 pemenuhan kebutuhan energi akan didominasi oleh variabel renewable energy berupa Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Pada tahun berikutnya akan diikuti oleh Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dan Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut (PLTAL). PLTN akan masuk di 2049 dan di 2060 akan mencapai 35 giga watt (GW).
"Hidrogen akan dimanfaatkan bertahap mulai 2031 dan masif di 2051. Sedangkan pembangkit PLTN operasi 2049," ucap Arifin dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Menteri ESDM, Kamis, (17/2).