close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.
Bisnis
Senin, 26 September 2022 18:16

Beban berlipat kredit ultra mikro di era bunga tinggi

Kenaikan suku bunga acuan semakin memukul segmen ultra mikro dengan besaran bunga pinjaman kian tinggi.
swipe

Bank Indonesia kembali menaikkan suku bunga acuan pada rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) 21-22 September 2022 kemarin. BI  memutuskan untuk menaikkan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 basis points (bps) menjadi 4,25%.

"Suku bunga Deposit Facility sebesar 3,5% dan suku bunga Lending Facility sebesar 5%,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo saat menyampaikan hasil RDG BI secara daring, Kamis (22/9). 

Pada bulan sebelumnya bank sentral juga mengerek suku bunga sebesar 25 bps, di level 3,75%. Pun demikian dengan suku bunga Deposit Facility dan Lending Facility yang masing-masing dikerek sebesar 25 bps menjadi 3,00% dan 4,50%. 

Perry bilang, keputusan menaikkan suku bunga acuan dalam RDG September ini dilakukan sebagai langkah front loaded, preemptive dan forward looking. Perlu diketahui, front loaded yang dimaksud bos BI ini adalah dengan menaikkan suku bunga dalam jumlah besar di awal. 

Dengan keputusan ini diharapkan dapat mengantisipasi potensi beban berat yang harus dihadapi perekonomian Indonesia di masa depan (preemptive). Di saat yang sama, keputusan ini juga diharapkan dapat memenuhi target perekonomian yang telah ditetapkan pemerintah (forward looking).

Hal ini tak lain dilakukan untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan memastikan tingkat inflasi inti tetap pada kisaran 3,0±1% pada paruh kedua 2023. Inflasi Indonesia, terutama pada periode Juli 2022 memang sudah terlampau tinggi, yakni di level 4,94% secara tahunan (year on year/yoy). Bahkan menjadi yang tertinggi sejak Oktober 2015 lalu, di mana pada saat itu tingkat inflasi nasional berada di angka 6,25% yoy. 

Adapun untuk inflasi inti, pada Juli kemarin masih sebesar 2,86% yoy. Sayangnya, angka inflasi inti pada bulan kemarin naik tajam menjadi 3,04% yoy. Musababnya, kenaikan inflasi komoditas dalam kelompok pendidikan, serta komoditas kontrak dan sewa rumah yang didorong oleh kenaikan mobilitas masyarakat dan berlanjutnya proses pemulihan ekonomi. Tidak hanya itu, kenaikan inflasi inti juga disebabkan adanya deflasi dari komoditas emas perhiasan, seiring dengan adanya pergerakan harga emas dunia. 

“Inflasi inti ini yang menjadi perhatian karena menjadi indikator permintaan dan penawaran masyarakat yang sesungguhnya,” ujar Perry. 

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Dokumentasi.

Dengan adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan harga pangan dunia yang masih bergejolak, Gubernur Bank Sentral ini memperkirakan bahwa kenaikan inflasi masih akan terus berlanjut hingga akhir tahun ini. Prediksinya, pada paruh kedua tahun 2022 tingkat inflasi akan melebihi batas 2-4%. 

Selain itu, kenaikan suku bunga acuan ini juga dilakukan sebagai langkah untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah, agar sesuai dengan fundamental yang mestinya menguat di tengah tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. Dus, kebijakan ini diharapkan pula dapat menjaga perekonomian nasional, di tengah peningkatan permintaan ekonomi domestik yang tetap kuat.

“Bank Indonesia juga terus memperkuat respon bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan momentum pemulihan ekonomi dengan berbagai langkah,” imbuhnya.

Pada dasarnya, kenaikan suku bunga acuan BI ini bukan hal yang mengagetkan karena tidak sedikit akademisi dan ekonom yang meramal langkah gerak bank sentral ini. Namun, besaran kenaikan suku bunga acuan sebesar 50 bps lah yang di luar ekspektasi pasar. 

Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky sebelumnya memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bps.

“Memang lebih tinggi dari perkiraan kami. Tapi saya kira ini wajar.” ujar dia, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (23/9). 

Pasalnya, BI pasti telah memprediksi akan adanya kenaikan agresif suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat The Federal Reserve. Benar saja, The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya (Fed Fund Rate/FRR) sebesar 75 bps, menjadi di kisaran 3%-3,25%. Angka ini menjadi yang tertinggi sejak awal 2008. 

Dengan tingginya kenaikan FRR, praktis membuat BI ikut menaikkan BI7DRR lebih tinggi. Untuk menghindari terjadinya arus modal keluar besar-besaran oleh investor. 

Foto Dokumentasi.

Terlepas dari hal tersebut, Riefky memperkirakan BI akan terus melanjutkan pengetatan moneternya dengan cara menaikkan suku bunga acuan. Apalagi, ke depannya The Fed juga diperkirakan masih akan menaikkan FRR untuk menekan inflasi tinggi yang saat ini tengah menghantui Amerika Serikat. 

“Ke depannya, nampaknya BI masih akan agresif dalam peningkatan suku bunga dalam meredam laju inflasi,” katanya.

Pedang bermata dua

Kenaikan BI7DRR bisa jadi memang akan efektif menekan inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah (NTR). Namun di sisi lain, langkah ini dinilai dapat menekan dunia usaha. Dengan ditambah dikereknya harga BBM oleh pemerintah, dikhawatirkan beban masyarakat ikut bertambah. 

“Jadi memang kenaikan SBI (suku bunga BI) ini bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi menekan inflasi dan menjaga likuiditas. Di sisi lain, menekan dunia usaha,” kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Evonomics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, saat dihubungi Alinea.id, Senin (26/9). 

Dunia usaha yang bakal tertekan dampak kenaikan suku bunga BI ialah sektor-sektor usaha yang menjadi pengguna kredit perbankan. Pasalnya, kenaikan SBI bertalian langsung dengan suku bunga kredit bank. Artinya, jika suku bunga acuan dikerek naik, suku bunga kredit juga akan mengikuti. 

Dengan demikian, beban bunga kredit yang harus ditanggung oleh dunia usaha pengguna kredit bank maupun lembaga keuangan lainnya akan bertambah besar. Karena akan ada kemungkinan perbankan menaikkan bunga kredit mereka. 

“Hampir semua sektor usaha yang mengajukan kredit atau pembiayaan bank, akan terdampak. Begitu juga dengan usaha mikro dan ultra mikro,” jelas Tauhid. 

Meskipun kenaikan suku bunga kredit besar kemungkinannya dilakukan perlahan, namun kenaikan suku bunga kredit ini akan lebih besar dari SBI. Tauhid mencontohkan, jika saat ini suku bunga BI mengalami kenaikan 50 bps, suku bunga kredit bisa dinaikkan hingga 75 bps atau bahkan mencapai 100 bps. Tergantung kepada seberapa kuat likuiditas dan risiko kredit di masing-masing perbankan. 

“Kemarin ketika BI menaikkan suku bunga 25 bps, likuiditas perbankan masih lebar. Saya kira, dengan melihat likuiditas perbankan sekarang, dampak dari kenaikan suku bunga kredit ini baru akan terasa sekitar 3 bulan lagi,” tutur Tauhid. 

Perlu diketahui, berdasar data BI, pada Agustus 2022, rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) perbankan masih di level 26,52%. Dengan permodalan yang nampak dari rasio kecakupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) pada Juli 2022 masih tetap kuat, yakni di level 24,86%. 

Kuatnya permodalan ini diikuti oleh risiko terhadap kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) terkendali, yaitu di level 2,90% (bruto) dan 0,82% (neto). Dengan kondisi ini, likuiditas perbankan pada Agustus 2022 tetap terjaga, didukung pertumbuhan DPK sebesar 7,77% yoy. 

UMKM semakin terpukul

Di sisi lain, Deputi Gubernur BI Destry Damayanti memperkirakan, dengan masih longgarnya likuiditas perbankan, kenaikan suku bunga ke perbankan tidak akan siginifikan. Bukan hanya itu, dampaknya pun baru akan terasa dua kuartal lagi. 

“Sebelumnya, ketika BI menaikkan suku bunga acuan 25 bps, suku bunga dana justru turun 4,4 bps jadi 2,9% dan kredit turun 48 bps jadi 8,94%,” katanya, beberapa waktu lalu. 

Meski begitu, cepat atau lambat kenaikan suku bunga oleh perbankan tetap saja akan terjadi. Saat itu terjadi, bunga kredit yang harus dibayarkan oleh dunia usaha akan semakin tinggi. 

“Begitu juga dengan beban kredit UMKM baik yang disalurkan melalui kredit usaha rakyat (KUR) maupun kredit ultra mikro (UMi),” kata Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, kepada Alinea.id, Sabtu (24/9). 

Kondisi ini jelas akan semakin memberatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Apalagi, sebelumnya banyak pelaku UMKM yang telah mengeluhkan besarnya beban bunga kredit mikro dan ultra mikro. 

Hal ini diamini pula oleh Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Nusron Wahid. Namun demikian, dari seluruh segmen UMKM, pelaku usaha ultra mikro akan terkena dampak lebih besar dari super mikro, hal ini didorong oleh gap bunga kredit yang sudah sangat besar antara keduanya. 

Dia bilang, dengan kredit super mikro yang disalurkan melalui KUR, nasabah bisa meminjam hingga Rp10 juta dengan bunga 3% per tahun. Namun untuk kredit ultra mikro yang disalurkan melalui UMi, nasabah harus menanggung bunga sebesar 25% untuk plafon pinjaman sebesar Rp2 juta-Rp10 juta. 

“Padahal, skala usaha orang yang mengajukan kredit ultra mikro lebih kecil dari super mikro, pinjaman yang diajukan kepada bank atau holding (Ultra Mikro) juga lebih kecil, tapi mereka harus membayar bunga lebih besar,” katanya, kepada Alinea.id, Senin (26/9). 

Nando misalnya, pemilik toko kelontong yang terletak di Komplek Kejaksaan Agung, Pasar Minggu, Jakarta Selatan harus membayar kepada Pegadaian yang memberikannya pembiayaan ultra mikro sebesar Rp25.000 per minggu dalam jangka waktu 50 minggu. Sementara ayah satu anak ini menggunakan plafon pinjaman sebesar Rp5 juta. 

“Jadi bunganya ya sekitar Rp1,25 jutaan dan harus sudah lunas 50 minggu itu,” terangnya, kepada Alinea.id, Minggu (25/9). 

Sementara itu, jika pelaku usaha UMKM menggunakan kredit ultra mikro, dengan bunga sebesar 3% per tahun, maka pelaku usaha tersebut hanya diwajibkan membayar bunga pinjaman sebesar Rp150.000 per tahun. 

“Ini jelas sangat berat bagi pengusaha ultra mikro, padahal kan tujuan dari pembentukan Holding Ultra Mikro dan diadakannya program pembiayaan ultra mikro adalah untuk mempermudah akses pembiayaan pelaku ultra mikro,” tegas Nusron Wahid. 

Oleh karena itu, menurutnya penting bagi pemerintah untuk memberikan subsidi pembiayaan ultra mikro untuk mendukung pelaku usaha di segmen ini semakin sejahtera. Apalagi, dengan kenaikan suku bunga acuan BI dikhawatirkan akan semakin mempertebal bunga kredit perbankan maupun lembaga keuangan penyalur kredit ultra mikro lainnya. 

Usulan ini didukung pula oleh Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad. Dia bilang, untuk memperkuat pembiayaan mikro dan ultra mikro, penting bagi pemerintah untuk menambah subsidi atau besaran bantuan kepada segmen ini. 

“Karena dengan naiknya SBI, bukan cuma bunga kreditnya saja yang akan naik, tapi daya beli masyarakat juga akan terpengaruh, akan turun. Dengan kondisi ini jelas akan mempengaruhi penjualan UMKM,” katanya. 

Di sisi lain, pemerintah juga harus memperjelas klasifikasi UMKM itu sendiri. Sebab, sampai saat ini batasan antara pelaku usaha mikro, super mikro dan ultra mikro terkadang masih terlalu kabur. Sehingga, pembiayaan yang bisa diakses oleh masing-masing oleh segmen usaha ini menjadi tidak jelas. 

“implikasinya, sering kali subsidi yang diberikan pemerintah untuk pembiayaan di sektor ini menjadi tidak tepat sasaran,” imbuhnya. 

Sementara itu, Ketua Umum IUMKM (AKUMANDIRI) Hermawati Setyorinny menilai, kenaikan suku bunga merupakan langkah yang mau tidak mau harus diambil pemerintah demi menekan laju inflasi. Namun, langkah inilah yang kemudian berpotensi memberi dampak pada kinerja dunia usaha. 

“Dengan kenaikan suku bunga mengakibatkan biaya pinjaman yang lebih tinggi. Biasanya dengan begitu akan beriringan dengan kenaikan harga disana sini,” bebernya, kepada Alinea.id, Sabtu (24/9).

Dampaknya sudah pasti akan menurunkan tingkat permintaan barang dan jasa. Dengan demikian, dunia usaha khususnya usaha mikro ke bawah harus menyiasati agar stabilitas keuangan dan usahanya tetap terjaga dengan baik.

Bagi pelaku usaha UMKM yang mendapatkan fasiltas KUR mungkin tidak akan berdampak besar, karena pemerintah telah menetapkan batasan bunga KUR dan ada subsidi yang meringankan pelaku usaha penikmat KUR. Hanya saja bagi UMKM yang mempunyai pinjaman bukan dari program pemerintah jelas berdampak besar.

Ilustrasi Pixabay.com.

Mereka yang sebelumnya sudah mengeluh bunga bank mahal, maka dengan naiknya bunga acuan secara agresif akan membuat bunga pinjaman nasabah UMKM tersebut akan naik cukup besar.

Di sisi lain, kenaikan suku bunga juga akan mempengaruhi biaya bahan baku dan angkutan logistik. Artinya, kondisi ini berdampak juga kepada harga produksi yang mengakibatkan daya beli masyarakat menurun.

“Saya berharap pemerintah dalam kondisi seperti ini bisa menjaga ketersediaan bahan barang pokok dan kestabilan harga dipasaran, sehingga bisa menjaga UMKM semakin terpuruk,” harapnya. 

Realisasi pembiayaan Ultra Mikro

Semester I 2022 Rp Rp3,95 triliun kepada 1 juta debitur
2021 Rp7,03 triliun kepada 1,95 juta debitur
2020 Rp6,01 triliun kepada 1,76 juta debitur
2019 Rp2,71 triliun kepada 809.962 debitur
2018 Rp1,56 triliun kepada 557.112 debitur

Untuk diketahui, Holding Ultra Mikro yang terdiri dari PT Bank Rakyat Indonesia (Perseroan) atau BRI, PT Pegadaian (Persero) dan PT Penanaman Modal Madani (Persero) atau PMN tengah merencanakan suku bunga kredit ultra mikro. Dus, bunga kredit tidak akan lagi memberatkan pelaku UMKM, khususnya ultra mikro. 

“Rencananya dapat direalisasikan tahun ini,” kata Direktur Operasional PMN Sunar Basuki saat dikonfirmasi Alinea.id belum lama ini. 

Hal ini pun diamini oleh Direktur Utama BNI Sunarso. Sejalan dengan itu, sebagai penyalur kredit UMKM terbesar, BNI belum akan menaikkan suku bunga dana, seiring dengan likuiditas perseroan yang masih longgar. 

“Tapi bagaimana responnya, kami akan lihat dulu. Kami tidak akan serta-merta panik dan segera menaikkan (bunga dana),” tuturnya, dalam paparan publik BNI, Selasa (13/9) lalu.

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan