Beda pandangan capres-cawapres soal proyek hilirisasi
Tiga pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) memiliki pandangan berbeda terkait kebijakan hilirisasi sumber daya alam (SDA) yang kini menjadi kebanggaan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pasangan capres Anies Baswedan dan cawapres Muhaimin Iskandar menyebut ada tiga masalah besar dalam kebijakan tersebut.
"Kami melihat ada tiga masalah besar dalam kebijakan hilirisasi pemerintah saat ini yang kemudian secara logika menunjukkan sangat mendesak segera dilakukan rekalibrasi dalam kebijakan pemerintah di bidang kebijakan industri dan tambang," kata Tim Pemenangan Nasional Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Thomas Trikasih Lembong, belum lama ini.
Menurutnya, kebijakan ini tidak berorientasi terhadap pasar. Hilirisasi dinilai tidak mencerminkan realitas pasar yang ada. Misalnya, kebijakan hilirisasi nikel yang tidak memperhitungkan permintaan pasar di masa mendatang. Dia menyebut hilirisasi dilakukan pemerintah lantaran melihat permintaan nikel yang tinggi. Harga komoditas tersebut juga naik karena mobil listrik.
Namun, kondisi tersebut berubah karena konsumen melakukan subtitusi dan beralih ke bahan baku yang lain. Hal itu terlihat dari penggunaan mobil listrik berbasis nikel yang turun. Pada 2015-2016 saat kebijakan ini digenjot, sekitar 60% hingga 70% baterai mobil listrik menggunakan nikel. Tapi karena harga nikel yang mahal ditambah tidak stabilnya pasokan akibat dibuka dan ditutupnya keran ekspor nikel, maka industri mencari solusi lain dan menggunakan baterai mobil listrik LFP (lithium ferro/iron phosphate).
"Enam hingga tujuh tahun dari sekarang di 2030, baterai yang menggunakan nikel paling hanya 30%, dikalahkan formulasi baterai yang lain, seperti LFP, NCA (nickel cobalt aluminium), dan masih banyak yang lain," tuturnya.
Apalagi, kini hampir semua mobil listrik Tesla manufaktur di China menggunakan baterai LFP yang tidak mengandung nikel sama sekali. Demikian juga dengan industri otomotof lain seperti Ford yang akan bergeser ke bateri tanpa nikel.
Masalah lain, hilirisasi yang dilakukan memiliki fokus berlebihan terhadap sektor nikel dan beterai. Akibatya, ujar Thomas, kebijakan pemerintah terlalu sempit.
"Kebijakan sektor tambang dan industri perlu lebih luas dan komprehensif," tutur Thomas.
Industri nikel disebut padat modal namun sama sekali tidak padat karya, terlebih pabrik mobil listrik. Sekitar 91% produksi di pabrik nikel dan mobil listrik dilakukan oleh robot sehingga tidak menciptakan lapangan pekerjaan. Ujung-ujungnya, hanya menguntungkan pemodal yang mendanai industri ini.
"Kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi memang lumayan, tapi tidak berujung pada perbaikan lapangan atau penghasilan pekerjaan," ujarnya.
Sumbangan sektor industri terhadap produk domestik bruto (PDB) juga disebut terus turun, dari 21,1% di 2013 menjadi hanya 18,3% pada 2022. Dia meramal persentase ini akan terus turun jika kebijakan pemerintah tidak berubah dan menyampingkan industri lain seperti tekstil dan elektronik.
Masalah terakhir adalah terkait dampak lingkungan hidup. Menurut Thomas, sektor pertambangan dan pengolahannya berdampak terhadap deforestasi. Dia menghitung, untuk mendapatkan 1 ton nikel harus merusak lahan yang sangat luas. Setelah nikel dikeluarkan, tanah menjadi racun. "Jika ingin mengolah agar tidak toxic, maka akan menambah ongkos sehingga tentu tidak dilakukan," lanjutnya.
Di sisi lain, manufaktur pengolahan nikel Indonesia justru memperparah emisi gas rumah kaca. Pasalnya, semua smelter masih menggunakan pembangkit batu bara. Dus, negara maju seperti Amerika Serikat (AS) berpikir ulang untuk membeli nikel Nusantara.
"AS tahu emisi karbon kita sangat tinggi. Banyak smelter negara lain menggunakan hydro atau tenaga yang jauh lebih rendah emisinya daripada batu bara," tuturnya. Selain itu, lanjutnya, juga berdampak terhadap pencemaran sungai dan laut.
Melanjutkan pemerintahan Jokowi
Sementara dua tim pemenangan capres-cawapres lainnya, yakni Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD akan melanjutkan kebijakan hilirisasi pemerintah Jokowi.
Anggota Dewan Pakar Tim Pemenangan Nasional (TPN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Drajad Wibowo mengatakan hilirisasi yang dilaksanakan pemerintah saat ini adalah melanjutkan kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). "Program kerja kami melanjutkan hilirisasi dan mengembangkan industri berbasis sumber daya alam untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri," kata Drajat.
Hilirisasi disebut membantu surplus perdagangan. Catatan Drajat, Indonesia surplus dagang 39 bulan berturut-turut sejak Februari 2020. Ekspor nikel dan turunannya naik dari US$3 miliar pada 2019 menjadi US$33 miliar pada 2022. Lalu, ekspor bauksit dan turunnya naik dari US$467 juta di 2019 dan US$623 juta di 2022. Demikian juga dengan ekspor sawit dan turunannya yang naik dari US$20 miliar ke US$39 miliar pada periode yang sama.
"Apa pun kritik yang ada, pasar nikel masih ada," ujarnya.
Menurut Drajat, kebutuhan investasi hilirisasi hingga 2040 mencapai US$545,3 miliar dengan delapan sektor prioritas, yakni mineral, batu bara, minyak, gas bumi, perkebunan, kelautan, perikanan, dan kehutanan. Adapun komoditas prioritas hilirisasi mencapai 21 komoditas, termasuk nikel, tembaga, bauksit, besi baja, emas perak, aspal buton, hingga rumput laut, dan garam.
Sekretaris Eksekutif TPN Ganjar-Mahfud, Heru Dewanto mengatakan akan melanjutkan hilirisasi dengan percepatan untuk Indonesia yang lebih baik. Dia menyoroti infrastruktur yang digenjot pemerintahan saat ini sehingga dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan perekonomian termasuk hilirisasi,
"Legacy terbesar pemerintahan sebelumnya adalah infrastruktur. Jika infrastruktur sudah terbangun dan dapat menjalankan fungsinya, maka bisa menggerakkan mesin-mesin ekonomi dan industri menjadi lebih kuat dibandingkan sekarang," tuturnya.
Dia mengatakan akan melihat mesin-mesin ekonomi baru, termasuk hilirisasi, ekonomi biru, ekonomi hijau, transisi energi, dan digitalisasi.
"Dengan mesin ekonomi yang lebih kuat, pertumbuhan ekonomi 7% bisa dicapai sehingga keluar dari middle income trap," ujarnya.