Benarkah gen Z Indonesia lebih pilih berbisnis?
Nita Ayu Amalia, 22 tahun, mahasiswi jurusan jurnalistik di Universitas Esa Unggul, Jakarta sudah sejak 2013 memulai bisnis makanan ringan keripik tempe. Usaha itu diteruskan dari orang tuanya. Ia berujar, ada peluang dari membuat inovasi makanan olahan tempe.
Alasannya memilih bisnis itu, menurut Nita, waktunya lebih fleksibel dan bisa membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain. Modal awal yang dikeluarkan sekitar Rp15 juta-Rp30 juta. Keuntungannya cukup besar.
“Keuntungan sekitar Rp3 juta-Rp8 juta per hari. Tergantung lagi rame atau sepi,” ujar Nita kepada Alinea.id, Sabtu (4/11).
Ke depan, Nita pun berencana mengembangkan bisnis lain. “Saya ingin mencoba bisnis kuliner, food and beverage (f&b),” katanya.
Sama seperti Nita, di sela-sela berkulian di Universitas Budi Luhur, Jakarta, Ahmad Sabastian, 21 tahun, menggeluti bisnis ikan hias jenis cupang. Ia memasarkan ikan cupang lewat media sosial. Ia memulai bisnis ikan hias tersebut sejak 2020, ketika baru lulus SMA.
“Awal memulai bisnis ikan cupang ini karena hobi dan iseng, Karena pada 2020 terjadi pandemi Covid-19,” tutur Ahmad, Jumat (3/11).
Mulanya, Ahmad membeli seekor ikan cupang lewat Instagram, hanya untuk dipelihara. Namun, seiring berjalannya waktu, ikan cupangnya bertambah banyak. Dari situ, ia mulai menjualnya.
“Mungkin untuk pertama kali berjualan melalui media sosial adalah hal yang susah. Namun, seiring berjalannya waktu, saya bisa mengerti dan paham alur penjualan di media sosial,” kata dia.
Harga ikan cupang yang dijual tergantung dari jenis, ukuran, warna, dan bentuk. Ia menjual antara Rp50.000-Rp75.000 per ekor, belum termasuk ongkos kirim dan pengemasan.
“Saya ada rencana untuk mengembangkan bisnis saya sendiri, dari segi tempat dan perluasan jangkauan melalui platform lainnya,” ucap dia.
“Orang tua saya sebenarnya kurang setuju dengan bisnis ini karena ketidakjelasan pendapatan.”
Generasi Z—kelahiran 1997-2012—seperti Ahmad dan Nita, yang memilih berbisnis tampak sejalan dengan riset ZenBusiness, sebuah platform bisnis berpusat di Austin, Texas, Amerika Serikat, yang terbit pada Juni 2023. Dikutip dari Business Wire, ZenBusiness melakukan survei di Amerika Serikat, melibatkan lebih dari 1.000 orang dewasa berusia 18-25 tahun.
Hasilnya, sebanyak 93% gen Z di Amerika Serikat telah mengambil langkah untuk menjelajahi kepemilikan bisnis. Mereka memanfaatkan platform digital dan jaringan pribadi untuk terlibat dan membentuk lanskap wirausaha. Mereka melihat kewirausahaan sebagai sesuatu yang menarik dan mudah diakses.
Bagaimana dengan gen Z Indonesia?
Menurut pengamat pemasaran, Yuswohady mengatakan, gen Z adalah generasi yang tak mau terikat. Lebih ingin fleksibel dan punya minat tersendiri dalam bekerja.
“Jadi bukan sesuatu yang rutin, seperti bekerja di perusahaan. Bekerja di perusahaan, seperti ‘ditawan’ dari jam 9 sampai 5 sore, itu lebih tidak menarik untuk mereka,” ujarnya, Jumat (3/11).
Jika generasi sebelumnya, yakni gen X (kelahiran 1965-1980) dan baby boomer (kelahiran 1946-1964) lebih ingin bekerja di instansi pemerintah atau perusahaan swasta bonafit, gen Z berbeda. Mereka justru punya banyak sekali peluang digital.
“Gen Z itu sendiri tidak lepas dari digital,” ujarnya.
“Contoh yang gampang adalah munculnya fenomena individual entrepreneur, misalnya content creator,” ujarnya, Jumat (3/11).
Apa pun bisa dikreasikan ketika menjadi konten kreator, mulai dari kuliner, make-up, traveling, atau olahraga. Di tengah kesulitan mencari pekerjaan, ia menyebut, peluang dari digital lebih luas. Jika dahulu ingin menjadi pebisnis sulit karena harus punya tempat, seperti toko misalnya, kini peluang itu terbuka.
“Asal kita punya followers banyak, maka produknya bisa dipesan, peminatnya juga banyak,” tuturnya. “Peluang menjadi entrepreneur itu menjadi luas.”
Ia menyebut, profesi menjadi konten kreator bisa membuat jaminan mata pencaharian bagi gen Z. Gaji dari platform, seperti YouTube pun bila ditekuni nyaris sama dengan bekerja di sebuah perusahaan. Belum lagi kalau berhasil menarik endorsement.
Namun, Yuswohady mengungkapkan, gen Z yang dimanjakan dengan digital dan hidup “serba enak” punya daya juang tak setangguh generasi sebelumnya dalam mengelola bisnis.
“Karena memang mereka semua lahir itu serba ada dan nyaman,” kata dia. “Apalagi ditambah teknologi dan digital.”
Ia mengakui, gen Z unggul dalam hal kecepatan mendapat informasi dan membangun bisnis. Akan tetapi, lemah dari sisi kedalaman bisnisnya. “Dalam dunia bisnis, konsistensi dan ketekunan itu penting,” ujarnya.
“Kelemahannya di situ. Gampang bosan, gagal sekali tidak lanjut.”
Di sisi lain, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda justru melihat—dari data Institute for Development of Economics and Finance (Indef)—gen Z dan milenial (kelahiran 1981-1996) di Indonesia relatif rendah yang berwirausaha.
Data Indef menunjukkan, pemuda yang berwirausaha hanya 18%. “Bahkan, yang berwirausaha masih usaha tradisional, dengan sebagian besar berusaha sendiri, tanpa dibantu karyawan,” ucap Huda, Sabtu (4/11).
Dari data Indef, gen Z dan milenial yang berbisnis, memilih berusaha sendiri, tanpa bantuan karyawan, sebesar 69%. Lalu, berbisnis dibantu buruh tetap sebesar 7%. Dan berbisnis dibantu pekerja tak dibayar sebesar 24%.
Huda mengakui, gen Z memang menginginkan kebebasan finansial, dengan membuka usaha dan menjadi bos sendiri. Namun masalahnya, sebagian besar modal mereka kurang kuat.
“Gen z yang sudah terlahir kaya, ya mereka bisa mudah membuka usaha sendiri, terutama dua sektor, yaitu f&b dan teknologi digital,” katanya.
“Mereka yang tidak terlahir dari keluarga berada, ya susah mendapatkan modal. Kecuali ada modal lainnya, seperti konten kreator.”