Upaya memberantas judi online dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk sektor keuangan. Teranyar, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menutup 7.000 rekening yang terlibat transaksi judi online.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan, selain menutup rekening judi online, pemilik juga masuk blacklist atau daftar hitam. Langkah itu dilakukan agar pelaku tidak bisa membuka rekening lagi, sehingga menekan aktivitas para bandar ataupun fasilitator judi online.
"Kami akan bertindak lebih keras lagi untuk mereka yang terbukti melakukan pelanggaran berat, mungkin sebagai bandarnya atau fasilitator, ini akan ada konsekuensi blacklisting (masuk daftar hitam),” katanya dikutip dari akun Instagram @ojkindonesia, Sabtu (20/7).
Efektif?
Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Media Wahyudi menyebut memberantas judi online tak cukup hanya dilakukan dengan dengan memblokir rekening dan memasukannya dalam daftar hitam. Menurutnya, yang harus diberantas bukan rekeningnya, melainkan akses publik terhadap situs judi online.
Hal itu bisa dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan teknologinya. Adapun untuk penelusuran arus keuangan judi online, dapat dilakukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"Pemerintah punya alat yang lebih dari cukup untuk memberantas judi online ini. Sayangnya sampai saat ini progress-nya masih jalan di tempat, terutama karena tidak menjadi prioritas serta adanya mafia-mafia besar di balik bisnis judi online ini yang kemungkinan besar melibatkan oknum aparat penegak hukum," katanya kepada Alinea.id, Selasa (23/7).
Media menyebut penggunaan sistem blacklist rekening tidak akan efektif memberantas judi online. Pelaku judi online masih dapat menggunakan identitas palsu atau membuka rekening atas nama orang lain untuk menghindari blacklist.
Di sisi lain, bila blacklisting ini terus dilakukan, justru akan berdampak pada beban administratif tambahan. Sebab, bank perlu mengalokasikan sumber daya tambahan untuk memantau dan melaporkan transaksi yang mencurigakan terkait judi online.
“Meskipun beberapa rekening berhasil diblokir, pelaku dapat dengan mudah membuka rekening baru dan melanjutkan aktivitas mereka,” katanya.
Selain itu, kata dia, pelaku dapat beralih ke metode pembayaran alternatif seperti mata uang kripto, yang menawarkan anonimitas dan tidak terikat oleh peraturan perbankan. Hal ini bisa mempersulit upaya pemerintah untuk melacak dan memblokir transaksi.
Terlebih, proses verifikasi dan blacklisting rekening memerlukan sumber daya manusia dan teknologi yang signifikan. Juga, rentan terhadap kesalahan identifikasi yang mengakibatkan rekening nasabah tak bersalah diblokir.
“Bisa menimbulkan ketidaknyamanan dan kerugian bagi nasabah tersebut,” ujarnya.
Dosen Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Azmi Syahputra menilai, pemerintah harus bekerja lebih keras lagi guna mempersempit ruang gerak judi online. Dia bilang, aspek pencegahan dan sanksi yang diterapkan belum maksimal.
Penutupan dan penyitaan semua keuangan yang ada dalam rekening perlu dilakukan pada fase awal diketahui adanya dugaan keterlibatan judi online.
"Harus berani secara otomatis menutup rekening dan menyita semua keuangan yang ada dalam rekening untuk disetorkan ke kas negara, sepanjang diketahui berasal bersumber dari aktivitas judi,” ujarnya kepada Alinea.id, Senin (22/7).
Dia mengatakan semua pihak dan elemen penyelenggara negara harus bersinergi untuk menyatakan perang melawan judi online tanpa pengecualian. Sehingga, harus ada hukum yang bersifat aktif untuk melakukan adaptasi perubahan sosial dan memuat sanksi tegas, terutama ditujukan bagi pelaku usaha atau bandar judi.
Hukuman juga harus menyentuh pelaku yang turut serta membantu aktivitas judi online, termasuk mengiklankan dan mentransmisikan perjudian online.
“Apalagi untuk pihak-pihak yang membekingi. Harus ada penegakan hukum yang berkualitas, terutama aparatur hukum maupun oknum penyelenggara negara yang terlibat dalam praktik judi online,” ucapnya.