Berburu tumbuhan liar di hutan demi tren tanaman hias
Hermiadi (35) acapkali melepas penat dengan berpergian menyusuri hutan di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan yang tak jauh dari rumahnya. Suatu ketika, ia merekam video perjalanannya di hutan lantaran bingung mencari konten untuk kanal Youtube-nya.
Saat menyusuri hutan itulah ia menemukan berbagai macam tanaman yang seringkali terlihat menghiasi pekarangan rumah. Bermacam tanaman mulai dari Alocasia, Begonia, Amydrium, aneka tumbuhan pakis, kantong semar (nepenthes), keladi (Caladium), aneka melati, aneka anggrek, dan lainnya terlihat tumbuh liar dan rimbun. Sejatinya, hutan tropis itulah habitat asli jejeran tanaman manis yang kini banyak digandrungi pecinta tanaman.
Tak dinyana, video jalan-jalan di hutan itu menjadi favorit di kanal Youtube 'Eher Channel' miliknya. Pria yang juga berprofesi sebagai desainer grafis ini akhirnya kerap membuat seri video tumbuhan liar khas Kalimantan untuk menggaet lebih banyak penonton. Video berjudul 'Explore Lokasi Baru dan Nemu Begonia sama Alocasia Reversa E1 | Tanaman Hias Liar Hutan Kalimantan" misalnya, berhasil ditonton hingga 8.464 kali.
“Saya banyak yang enggak tahu namanya. Saya saja tahu Alocasia gara-gara teman saya. Ada follower yang komen namanya ini, jadi baru tahu,” ungkapnya kepada Alinea.id, Senin (21/9).
Ia sendiri awalnya hanya tertarik pada budidaya tanaman buah. Namun, adanya permintaan terhadap berbagai tanaman hias yang ada di video perjalanannya mendorong Hermiadi untuk turut menekuni hobi tanaman hias. Semenjak itu, ia mulai berburu tanaman hias di hutan.
Hermiadi mengaku tak melihat orang luar menjamah hutan tempat biasa dia berburu. Namun, seorang tetangga di lingkungan rumahnya yang juga berprofesi sebagai pengusaha tanaman hias sudah sejak lama mencari tumbuhan liar di hutan.
“Cuma saya enggak barbar kayak orang-orang, paling saya cuma ambil beberapa biji. Saya lihat beberapa orang ambil agak banyak. Memang dia jual tanaman sudah agak lama karena harga Alocasia cukup tinggi,” tuturnya.
Hermiadi juga hanya mengambil anakan dari tumbuhan incarannya. Anakan tanaman hias ini kemudian dibudidayakan di pekarangan rumahnya. Setelah tumbuh agak besar, dia baru menjualnya melalui marketplace.
Hermiadi memanfaatkan tanah bekas pembakaran sampah yang kerap ditemuinya sebagai media tanam yang dicampur dengan sekam. Untuk penyemaian, dia memanfaatkan gelas plastik bekas. Setelah cukup besar, ia baru memindahkannya ke pot.
Di pekarangan rumahnya, ia telah menanam sejumlah tanaman hias seperti Alocasia reversa, Alocasia baginda (Dragon Scale), Aglaonema, dan Monstera. Namun, tak semua tanaman tersebut didapatkannya dari hutan. Sebagian bibit tanaman dibelinya melalui lokapasar.
Budidaya berbagai jenis tanaman hias ini juga bukan tanpa kendala. Ia pernah bereksperimen menanam Begonia yang ditemuinya di hutan, namun mengalami kegagalan.
“Saya suka tanaman buah. Kalau tanaman buah, saya sering beli di e-commerce karena memang hobi. Cuma lagi hits nanam-nanam (tanaman hias), saya pakai momen untuk jualan,” tutur pria yang hobi bersepeda tersebut.
Selama dua bulan berjualan, ia telah meraih omzet tak kurang dari Rp4,2 juta dari 60-an pot yang ia jual. Kini, ia tidak berjualan lantaran menunggu tanamannya tumbuh besar terlebih dahulu.
“Tanaman hias menguntungkan banget ya. Sebenarnya modal kita enggak banyak. Kita cuma cari bibit, kita tanam tumbuh beranak. Bibit kita beli sekali aja. Terus kita potong-potong,” ujarnya.
Dipicu oleh tren
Pemilik Godong Ijo Nursery Chandra Gunawan Hendarto mengatakan tren tanaman hias yang terjadi belakangan memicu sejumlah pihak memburu tanaman hias hingga ke hutan belantara. Kebanyakan dari mereka memburu tanaman keluarga Aroid (Araceae) yang kini tengah naik daun.
Meskipun demikian, ia ragu fenomena tersebut menyebabkan kerusakan hutan di Indonesia. Pasalnya, harga tanaman Aroid asli Indonesia masih terbilang murah. Selain itu, pengangkutan dalam jumlah besar relatif sulit dilakukan.
“Orang Indonesia enggak perlu khawatir hutannya habis gara-gara Aroid karena yang disukai dari Amerika Latin, sementara yang di sini kurang. Ada yang suka enggak? Iya. Orang luar beli enggak? Iya ada, tapi enggak banyak. Itu sudah dibanyakin kok, sudah dipotong sama teman-teman banyak, enggak perlu ambil dari hutan lagi,” jelasnya melalui sambungan telepon, Selasa (22/9).
Menurutnya, tanaman Monstera dan Phylodendron yang berasal dari Amerika Latin merupakan tanaman aroid terpopuler saat ini. Bahkan, harganya semakin melonjak tajam antara puluhan hingga ratusan juta.
Memang, ada tanaman Aroid asli Asia Tenggara yang hampir mirip Monstera, yakni Rhaphidophora. Spesies Rhaphidophora tetrasperma bahkan disebut sebagai “Mini Monstera” di pasaran tanaman hias. Namun, tetap saja popularitas Aroid asli Indonesia ini masih kalah dengan Aroid impor yang harganya membuat geleng-geleng kepala.
"Yang sekarang diburu-buru enggak ada yang asli Indonesia, itu dari Amerika Selatan. Ada sih Alocasia tapi enggak banyak," tambahnya.
Chandra berpendapat pengambilan tanaman liar dari hutan tidak dilarang lantaran belum ada undang-undangnya. Kecuali bila tanaman yang diambil tergolong dilindungi atau terletak di Taman Nasional.
Kolektor tanaman hias ini justru menilai budidaya tanaman yang diambil dari hutan membutuhkan perlakuan khusus. Penanaman dan perawatannya harus menyesuaikan lingkungan aslinya di hutan seperti suhu, kelembaban, dan pencahayaan.
“Menurut saya disadarkan saja, dilarang enggak tepat lah. Ambil sebagian saja. Mestinya mereka diajarin cara ngambilnya. Ambilnya yang menyentuh tanah, yang kena akar jangan diambil. Ujungnya saja yang dipotong, nanti kan tumbuh lagi,” terangnya.
Sementara itu, Peneliti Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ni Putu Sri Asih menjelaskan beberapa tanaman Aroid asli Indonesia berpotensi dikembangkan menjadi tanaman hias seperti Alocasia, Homalomena, Rhaphidophora, Scindapsus, Schismatoglottis, dan Spathiphyllium.
Selain itu, ada pula tanaman Sri Rejeki (Aglaonema) yang sudah lama dikembangkan di Indonesia berasal dari famili Araceae. Golongan tanaman ini sebagian besar berasal dari Kalimantan.
Di lain pihak, Asih khawatir tren Aroid yang muncul akhir-akhir ini berpotensi merusak habitat aslinya di alam. Apalagi, studi mengenai Araceae masih terbatas di Indonesia, sehingga status konservasinya belum teridentifikasi dengan baik.
“Masyarakat yang mengambil Araceae di alam tetap memiliki kesadaran untuk melestarikannya bagi generasi mendatang," harap peneliti spesialis Aroid ini dalam keterangan tertulis, Senin (31/8).
Peran pemerintah
Peran pemerintah menjadi kunci bagi pengawasan dan penegakkan hukum terhadap praktik pengambilan tumbuhan dari hutan. Jangan sampai pengambilan tersebut merusak kelestarian hutan dan ekosistemnya. Oleh karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan Peraturan Menteri LHK 106/2018 tentang Perubahan Kedua Peraturan Menteri LHK 20/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan, Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum, KLHK Sustyo Iriyono menjelaskan ada dua permasalahan terhadap pengambilan tanaman dari hutan.
Pertama, bila tumbuhan yang bersangkutan dilindungi, maka pengenaan sanksi mengacu kepada Undang-Undang 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal 21 ayat (1), serta Pasal 40 ayat (2) dan ayat (4). Namun, terdapat pengecualian untuk keperluan ilmu pengetahuan, penelitian, dan penyelamatan tumbuhan yang bersangkutan sebagaimana tercantum dalam Pasal 22.
Kedua, bila tumbuhan yang bersangkutan tidak dilindungi dan berasal dari kawasan hutan, maka pengenaan sanksi mengacu pada Undang-Undang 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 50 ayat (3) huruf M dan Pasal 78 ayat (12).
“Tindakan terkait daftar tumbuhan yang dilindungi, penindakan hukum dapat dilakukan terhadap pengambilan atau perusakan di seluruh wilayah Indonesia, baik di dalam maupun di luar kawasan konservasi,” tegasnya melalui pesan singkat, Kamis (24/9).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah 8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa, koleksi dan budidaya tanaman dilindungi yang diperbolehkan kriterianya berupa penangkaran dan peragaan/pameran dengan syarat dan ketentuan yang telah diatur terkait perizinannya.
“Untuk koleksi pribadi tidak terdapat mekanisme hukum, sehingga dilarang,” ujarnya.
Sustyo menjelaskan pihaknya melakukan sejumlah langkah pencegahan terkait pengambilan tumbuhan dan satwa secara ilegal, diantaranya melalui sosialisasi terhadap masyarakat disekitar dan diluar kawasan konservasi (in situ dan ex situ) terkait tumbuhan dan satwa yang dilindungi.
Pihaknya juga melakukan pendidikan kader konservasi di usia dini, meningkatkan patroli di dalam kawasan hutan dan memberdayakan masyarakat sekitar kawasan untuk direkrut menjadi masyarakat mitra polisi hutan. Selain itu, patrol siber terhadap perdagangan tumbuhan dan satwa dilindungi juga gencar dilakukan di media sosial.
"Kami juga membangun titik pemeriksaan dalam rangka pengawasan/pemantauan pengangkutan tumbuhan dan satwa dilindungi di dua lokasi sebagai proyek percontohan di Pelabuhan Bakauheni, Lampung dan Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara," tambahnya.
Celah regulasi
Peraturan Menteri LHK 106/2018 telah mencantumkan tumbuhan dan satwa yang dilindungi oleh pemerintah. Namun, bagaimana nasib tanaman-tanaman hias yang tidak termasuk tumbuhan lindung? Keberadaannya di luar kawasan konservasi tentu menjadi rawan lantaran minimnya perlindungan. Hal tersebut menjadi kekhawatiran Direktur Program Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera)Yayasan Kehati Samedi.
Genus | Jumlah spesies |
Araceae (talas-talasan) | 2 |
Araucariaceae | 1 |
Arecaeae (palem-paleman) | 6 |
Asteraceae (kenikir-kenikiran) | 1 |
Dipterocarpaceae | 1 |
Fagaceae (pasang-pasangan) | 1 |
Malvaceae (kapas-kapasan) | 2 |
Nepenthaceae (kantung semar) | 59 |
Orchidaceae (anggrek-anggrekan) | 28 |
Rafflesiaceae (bunga rafflesia) | 13 |
Simaroubaceae | 1 |
Taxaceae | 1 |
Thymelaeaceae (gaharu-gaharuan) | 1 |
Dia menilai wewenang perlindungan tumbuhan yang berada di luar kawasan konvervasi menjadi tanggung jawab Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), sebuah unit pelaksana teknis regional di bawah naungan KLHK. Ketiadaan aturan menjadi celah hukum bagi oknum-oknum tertentu.
“Teman-teman BKSDA mungkin tidak bisa cukup powerful mengontrol spesies yang tidak dilindungi karena aturannya enggak ada, terutama kalau diperjualbelikan di dalam negeri. Kalau diekspor sudah pasti kena aturan karantina yang balik lagi ke temen-temen BKSDA dan KLHK yang punya otoritas untuk itu,” ungkapnya melalui sambungan telepon, Kamis (24/9).
Menurutnya, peraturan di tingkat undang-undang perlu diperbaiki dengan menambah sistem kontrol dan hukuman terhadap pengambilan spesies tumbuhan non-lindung. Salah satu spesies tumbuhan yang tak dilindungi dan terancam eksistensinya adalah Platycerium ridleyi, sebuah spesies tanaman tanduk rusa (Platycerium) yang hanya ada di Kalimantan Tengah.
Samedi menjelaskan praktik pengambilan Platycerium ridleyi dari alam kerap terjadi lantaran harganya yang tak jauh berbeda dengan tanduk rusa impor dari Thailand. Di Negeri Gajah Putih, tanduk rusa sudah mampu diperbanyak melalui metode kultur jaringan, sementara hal ini belum dilakukan di Tanah Air.
Harga tanduk rusa tersebut mencapai Rp300 ribu per buah di Kalimantan Tengah dengan diameter bonggol mencapai 10 cm. Harganya dapat mencapai 2-3 kali lipat ketika sampai di Jakarta.
“Kalau kita semakin sulit mendapatkannya di alam, itu menjadi indikasi populasi di alam sudah semakin turun. Apalagi kalau kita bisa bandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,” ujarnya.
Budidaya dan kolaborasi perlu didorong
Dosen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor (IPB) Syarifah Iis Aisyah mengkhawatirkan dampak yang ditimbulkan oleh pengambilan tumbuhan liar dari hutan tropis Indonesia. Menurutnya, hal ini berpotensi menghilangkan plasma nutfah tanaman florikultura Indonesia, termasuk tanaman hias di dalamnya.
“Jika hal ini tidak dijaga, maka lama kelamaan kita akan kehilangan plasma nutfah tersebut dan ini akan menjadi kerugian negara, apalagi jika terjadi proses jual beli dari hasil pengambilan ilegal dari hutan tersebut dengan pedagang dari luar negeri, maka lama kelamaan jenis tanaman hias tersebut menjadi tersedia di luar negeri, sementara di negara kita sendiri punah,” terangnya kepada Alinea.id, Rabu (24/9).
Wanita yang juga menjabat sebagai Direktur Inovasi dan Kekayaan Intelektual IPB tersebut berharap tanaman hias dari habitat aslinya dibudidayakan dulu secara terbatas oleh instansi yang ditunjuk pemerintah seperti Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi) atau Perguruan Tinggi.
“Sebagian hasil perbanyakan dikembalikan ke habitat asal, dan sebagian lagi digunakan sebagai bahan tetua untuk dilakukan metode pemuliaan tanaman, baik secara konvensional (misalnya hibridisasi dan mutasi) maupun dengan bioteknologi,” katanya
Iis melihat penerapan CITES (Convention on International Trade in Endanger Species) yang memastikan perlindungan spesies-spesies liar dalam perdagangan lintas negara masih belum dilaksanakan dengan baik, meskipun Pemerintah Indonesia sudah meratifikasinya melalui Keputusan Pemerintah 43/1978.
Oleh karena itu, ia berharap berbagai pemangku kepentingan seperti akademisi, pelaku usaha, pemerintah, dan komunitas (petani dan penggiat tanaman hias) perlu duduk bersama untuk membahas mengenai persoalan ini serta melakukan pendekatan dari masing-masing institusi. Selain itu, aspek pengawasan dan edukasi juga perlu diperketat untuk menjaga keanekaragaman hayati tanaman florikultura di Indonesia.
“Bila diperlukan, harus ada contoh nyata. Kasus terhadap tindakan hukum atas individu yang melakukan pencurian tanaman hias di hutan, yang kemudian ditangkap dan dieksekusi secara hukum, dan di blow-up beritanya ke media,” tegasnya.
Artikel ini merupakan kelanjutan dari seri artikel mengenai tanaman hias yang berjudul “Jadi primadona, harga tanaman hias ‘digoreng’ kala pagebluk” .