close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Bisnis
Senin, 06 Juli 2020 19:00

Berharap vaksin dengan anggaran mini

Anggaran riset dan pengembangan untuk menemukan vaksin Covid-19 sangat minim.
swipe

Sekali lagi, pemerintah keliru meletakkan prioritas anggaran dalam situasi pandemi. Dengan angka positif Covid-19 yang per 6 Juli 2020 mencapai 64.958 kasus, anggaran untuk riset penemuan vaksin virus SARS-Cov2 Rp35 miliar justru mendapat potongan Rp1,4 miliar.

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Alex Noerdin pun mengungkapkan kekecewaannya atas pemotongan tersebut. Menurutnya, dana di Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) untuk penemuan vaksin Covid-19 masih jauh dari kata ideal. 

“Sadis sekali, siapa yang motong ini? Sampai hati memotong Rp1,4 miliar. Ristek sedang mati-matian menemukan vaksin untuk kita semua. Nanti kalau vaksin itu ditemukan yang motong anggaran ini jangan dikasih,” tutur Mantan Gubernur Sumatera Selatan itu, Jumat (26/6).

Mirisnya lagi, anggaran ini juga jauh lebih kecil dibandingkan dengan dana hibah sayembara video inovasi tatanan normal baru yang mencapai Rp168 miliar. Padahal,  alokasi anggaran itu belum tentu mempercepat penanganan dampak Covid-19 di Tanah Air.

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani menampik tudingan yang menyebut bahwa pemerintah tidak memprioritaskan anggaran vaksin Covid-19. Buktinya, kata dia, dana riset vaksin Covid-19 yang sebelumnya tidak ada dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, kini telah diadakan dalam waktu hanya 3 bulan setelah virus asal Wuhan, China itu menjalar ke Indonesia.

Sejumlah kementerian dan lembaga (K/L), seperti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) pun telah merelokasi anggarannya untuk mendukung kegiatan riset vaksin tersebut.

“Kami tidak meyakini pendapat bahwa anggaran lain seperti lomba pembuatan video new normal lebih besar anggarannya dari riset vaksin Covid. Malahan faktanya, bisa terbalik dari pandangan di atas. Untuk itu masih diperlukan data tersebut yang lebih valid,” terang Askolani melalui pesan singkat kepada Alinea.id pekan lalu.

Ilustrasi vaksin Covid-19. Pixabay.

Memang jika dilihat dari data Kemenristek/BRIN, alokasi anggaran untuk riset Covid-19 tidaklah sekecil yang dikatakan Alex. Total dana untuk riset percepatan penanganan Covid-19 di Kemenristek/BRIN mencapai Rp90 miliar.

Dana ini merupakan sepertiga total anggaran Kemenristek/BRIN setelah mendapat pemangkasan dari sebelumnya Rp42,16 triliun menjadi hanya Rp2,47 triliun. Pemangkasan drastis ini imbas pemotongan anggaran berdasarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2020 yang mengatur perubahan postur dan rincian APBN 2020.

Beleid ini juga merupakan tindak lanjutan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 mengenai Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.

Kementerian Riset dan Teknologi sendiri mengalami pemangkasan terbesar imbas dari perubahan nomenklatur Kemenristekdikti menjadi Kemenristek dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 23 Oktober 2019.

Konsekuensinya, fungsi pendidikan tinggi pada kementerian itu dihapus dan kemudian dialihkan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Akibatnya, anggaran program yang melekat pada fungsi itu juga ikut dialihkan.

Untuk riset vaksin Covid-19 sendiri, dana ini sebetulnya tidak murni dari alokasi anggaran Kemenristek/BRIN, melainkan justru dari bunga dana abadi pendidikan yang ada di LPDP.

Fakta itu didapatkan ketika rapat dengar pendapatan (RDP) Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bersama sejumlah perwakilan Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 pekan lalu.

“Kami mendekati LPDP. Karena di komisi ini yang dulu-dulu menganggarkan dana abadi itu, kita pakai bunganya itu. Kemudian yang ingin kami sampaikan, jadi setelah kita hitung-hitung, kita dapat Rp90 miliar. Rp60 miliar sudah kita ambil, tinggal Rp30 miliar,” ungkap Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 Ali Ghufron Mukti, (1/7).

Terlepas itu, sejatinya dana Rp90 miliar yang ada juga tidak sepenuhnya dialokasikan untuk riset vaksin Covid-19. Staf Khusus Menristek/Kepala BRIN, Ekoputro Adijayanto memerinci, ada enam prioritas dalam penggunaan anggaran tersebut, yakni upaya pencegahan, screening dan diagnosis, alat kesehatan dan pendukungnya, obat-obatan dan terapi, multicenter clinical trial, serta sosial humaniora dan public health modeling.

Enam prioritas ini akan dikerjakan oleh Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 yang terdiri dari 24 anggota, di antaranya; Kemenristek/BRIN, BPPT, LIPI, Lembaga Biologi Molekular (LBM) Eijkman, perusahan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), rumah sakit (RS), Lembaga Pemerintah Nonkementerian (LPNK), dan 14 perguruan tinggi.

Universitas yang ikut terlibat, antara lain; Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Padjajaran (Unpad), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan sejumlah universitas lainnya.

Sejauh ini, sambung Eko, total sudah Rp60,13 miliar dana yang keluar untuk membiayai 134 proposal riset tahap pertama yang dilakukan sejumlah lembaga dan universitas tersebut. Sementara sisanya Rp29,27 miliar akan digunakan untuk riset tahap kedua.

“Pada pendanaan tahap kedua, terdapat 893 proposal dan 215 lulus tahap substansi,” tulis Eko melalui pesan singkat kepada Alinea.id, (1/7).

Lantas pertanyaannya sekarang, berapa sebetulnya alokasi anggaran riset vaksin Covid-19 di Indonesia? Menristek Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro menyebut, pihaknya hanya mengalokasikan dana Rp5 miliar untuk penelitian vaksin corona.

Alasannya, penelitian tersebut hanya bertujuan untuk menemukan bibit atau prototipe vaksin virus corona. Setelah protetipe ditemukan, dana untuk tahap uji klinisnya akan ditanggung oleh Kemenkes.

“Ketika uji klinis selesai dan vaksin siap diproduksi dalam jumlah massal, maka ini masuk ke ranah industri, baik swasta maupun BUMN (Badan Usaha Milik Negara),” imbuh Bambang dalam konferensi video, Mei lalu.

Namun demikian seperti yang disampaikan Dirjen Anggaran sebelumnya, Bambang mengungkapkan pihaknya telah berupaya menghimpun dana lebih untuk menambah anggaran riset vaksin. Sejauh ini, lanjutnya, dana yang terkumpul sudah mencapai Rp200 miliar.

Tetapi lagi-lagi, tidak semua dana tersebut digunakan untuk riset vaksin Covid-19. “Untuk obat, penguatan screening dan diagnosa melalui tes kit, hingga penyediaan ventilator,” tambah ia.

Fokus prioritas riset nasional
Fokus Tema Topik Produk
Pangan-Pertanian 1 8 8
Energi baru dan terbarukan 3 4 4
Kesehatan-obat 3 9 9
Transportasi 1 3 3
Rekayasa keteknikan 7 7 7
Pertahanan dan Keamanan 4 4 4
Maritim 2 2 4
Soshum Senibud Pendidikan 5 5 5
Muktidisiplin dan lintas sektor 4 5 5

Anggaran vaksin negara lain

Sekarang, jika melihat total anggaran riset itu, rasanya boleh saja dikatakan bahwa pemerintah Indonesia memang tidak serius dalam upaya penemuan vaksin Covid-19. Pasalnya, jika dibandingkan dengan anggaran negara-negara lain dalam urusan riset vaksin Covid-19, dana yang dialokasikan Indonesia boleh dikatakan tidak sampai ‘seujung kuku’.

Dinukil Reuters, Amerika Serikat (AS) menginvestasikan $1 miliar atau Rp16,3 triliun untuk menghasilkan 1 miliar lebih vaksin bagi warganya. Dalam upaya merealisasikan mimpi tersebut, pemerintah AS bekerja sama dengan perusahaan bioteknologi Moderna Inc dan Farmasi Johnson and Johnson.

Selanjutnya, pemerintah Inggris menggelontorkan dana 65 juta euro atau sekitar Rp1,1 triliun. Dana tersebut digunakan pemerintah Inggris untuk terlibat dalam konsorsium peneliti global terkait vaksin Covid-19. Sedangkan Perancis, mau tidak mau harus mengeluarkan dana darurat sebesar 50 juta euro atau Rp883 miliar guna menemukan vaksin anti-Coronavirus.

Terakhir, pemerintah India melalui Serum Institute of India (SII) telah menyediakan dana $100 juta atau Rp1,6 triliun untuk penelitian vaksin Covid-19. Diperkirakan, vaksin tersebut akan tersedia dalam satu tahun.

“Ini bukan solusi dan penyembuhan 100%. Mungkin 60%-70% orang yang menggunakan vaksin akan memiliki perlindungan itu. Sisanya mungkin masih akan terkena penyakit meski telah divaksinisasi,” ungkap Direktur Eksekutif SII Adar Poonawalla seperti dikutip The Economic Times.

Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) dan Global Alliance for Vaccines and Immunization (GAVI) telah menyepakati dana konsorsium global untuk penemuan vaksin Covid-19 mencapai Rp64 triliun. Indonesia sebagai anggota G20 turut terlibat dalam penelitian ini. Tetapi hingga kini belum diketahui berapa total dana yang digelontorkan Indonesia dalam kerja sama tersebut.

Ketimpangan anggaran

Menanggapi ketimpangan anggaran riset vaksin Covid-19 dengan sejumlah negara itu, Anggota Komisi VII DPR RI dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring mengakui bahwa selama ini pemerintah Indonesia memang kurang menghargai hasil riset anak-anak bangsa.

Hal itu terbukti dari alokasi anggaran penguatan riset dan pengembangan di Tanah Air yang setiap tahunnya masih di bawah 0,8% dari total Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negara. Patut diketahui bahwa anggaran riset Indonesia tahun ini hanya Rp1,37 triliun, angka ini masih jauh lebih rendah dibandingkan anggaran riset tahun lalu yang mencapai Rp2,01 triliun.

Bahkan jika ditengok selama beberapa tahun belakangan, anggaran riset tahun ini termasuk yang paling kecil semenjak empat tahun terakhir. Diketahui, Indonesia mengalokasikan anggaran riset Rp1,84 triliun pada 2018 dan Rp1,5 triliun pada 2017. 

“Anggaran risetnya memang sangat kurang. Karena tadi Prof Ali Ghufron banyak yang melakukan riset. Ini tergantung anggaran, Pak Ghufron. Kalau enggak ada rewards untuk Ristek ini orang juga enggak semangat,” cetus Tifattul saat RDP, (1/7).

Pernyataan senada juga disampaikan Subarna, Anggota Komisi VII DPR RI dari fraksi Gerindra. Menurut ia, pemerintah memang sangat sulit untuk mengeluarkan uang jika terkait urusan riset.

“Penelitian anggaran kita dari dulu mungkin ini kecil dan sangat sulit untuk meminta dana ke pemerintah. Kalau untuk pembangunan saya rasa sangat baik sekali pemerintah. Tapi untuk penelitian ini sangat sulit,” ungkap ia.

Karena itu, Anggota Komisi VII DPR RI lainnya, yakni Sartono dari fraksi Demokrat mengusulkan agar anggaran riset ini masuk ke dalam Program Strategis Nasional (PSN). Bahkan kalau perlu, kata ia, DPR akan mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) khusus dana riset ini.

“Kalau itu sudah menjadi satu program unggulan, automatically politik anggaran akan berpihak kepada lembaga ini, kepada Ristek ini,” tutur Sartono di hari yang sama.

Perkembangan riset

Terlepas dari minimnya anggaran untuk riset vaksin ini, seluruh anggota Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 mengaku akan tetap berupaya semaksimal mungkin untuk menemukan vaksin Covid-19. Bahkan, Kepala LBM Eijkman Amin Soebandrio mengatakan, perkembangan riset vaksin di lembaganya kini sudah sampai pada tahap ketiga.

Secara keseluruhan, Amin menjelaskan, proses pengembangan vaksin Covid-19 ini terbagi menjadi 4 bagian. Tahap pertama, melakukan analisa protein yang terkandung dalam virus untuk mengetahui materi genetik yang ada dalam virus. Selanjutnya, menganalisa gen spike (Gen S) dan gen nucleopsid (Gen N) yang ada dalam tubuh virus.

Kemudian, masuk ke tahap uji ekspresi protein. Dalam tahap ini Eijkman akan menguji sifat genesitas virus sebelum akhirnya akan dilanjutkan dengan tahap uji pada hewan atau mamalia. Tahap uji pada mamalia tersebut akan dilakukan PT Bio Farma (Persero).

“Nah, progress sampai saat ini sampai pada tanggal 30 Juni kemarin, kami sudah berhasil mengamplifikasi gen penyandi protein spike dan nucleocapsid dari virus di Indonesia. Dan beberapa versi Gen S ini sudah berhasil dikloning, kepada suatu vektor yang basic (pembawa),” terang Amin pekan lalu.

Diperkirakan, tahap pengembangan virus hingga mendapatkan bibit vaksin ini akan memakan waktu paling cepat satu tahun. Diharapkan, bibit vaksin ini akan bisa diproduksi secara massal pada Februari 2021.

“Walaupun ya kami menerima banyak permintaan agar proses ini agar lebih bisa dipersingkat sampai dengan sebelum akhir 2020. Kami akan tetap berusaha sekuat-kuatnya supaya ini bisa lebih cepat selesai. Tapi prediksi kami akan selesai 2021,” tuturnya.

Kerjasama internasional

Sementara itu, Kepala LIPI Laksana Tri Handoko mengungkapkan, pihaknya juga tengah melakukan pengembangan vaksin berbasis protein rekombinan seperti yang dilakukan Eijkman. Namun, pengembangan vaksin tersebut dilakukan dengan pendekatan berbeda.

Pengembangan vaksin yang dilakukan LIPI adalah dengan cara menjalin kerja sama internasional bersama perusahaan farmasi PT Kalbe Farma Tbk. (KLBF) dan Genexine, perusahaan asal Korea Selatan. Bersama dua perusahaan tersebut, LIPI berencana melakukan tahap uji klinis fase 2 dan 3 vaksin Coronavirus di Indonesia dalam waktu dekat.

Menurut Handoko, menjalin kerja sama internasional ini sangat penting dilakukan mengingat tingkat risiko gagal penemuan vaksin amat besar. Dengan menjalin kerja sama internasional, setidaknya kelak jika salah satu vaksin itu berhasil maka Indonesia akan mendapatkan hak prioritas untuk bisa memproduksi vaksin tersebut.

“Buktinya dari 135 kandidat vaksin yang dirilis WHO, itu kan yang masuk uji klinis itu fase 1 itu baru sekitar 15. Jadi kita tidak tahu mana yang akan berhasil. Sehingga sangat penting dalam konteks ketahanan tadi, seperti yang disampaikan Pak Ghufron, untuk kita terlibat dalam semuanya sebisa yang kita bisa,” terang Handoko.

Secara terpisah, pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat UI (FKM UI) Pandu Riono mengaku cukup sepakat dengan pernyataan Handoko. Menurut Pandu, amat musykil jika Indonesia bisa menemukan vaksin Covid-19 tanpa melakukan kerja sama internasional mengingat jumlah anggaran penelitian yang minim dan kurangnya jumlah peneliti di Indonesia.

Untuk itu, kata ia, penting bagi Indonesia untuk mengedepankan kerja sama internasional dalam penemuan vaksin Covid-19. Harapannya, agar kelak vaksin yang ditemukan secara bersama-sama itu dapat dijadikan public goods oleh WHO sehingga tidak ada komersialisasi vaksin jika Indonesia atau negara lain akan membelinya.

“Dan kalau bisa setiap negara mempunyai hak membuat produksinya. Tapi kan vaksinnya harusnya sama. Kerena nanti kalau dia hanya buat vaksin yang beredar virus yang di Indonesia, nanti kalau ke luar negeri, atau tertular covid dengan virus yang lain, enggak kebal,” tutur Pandu saat dihubungi Alinea.id pekan lalu.

Selain itu, Pandu mengingatkan bahwa penyelesaian masalah Covid-19 ini sejatinya tidak hanya berhenti pada vaksin saja. Sebab, setelah vaksin ditemukan maka Indonesia tetap harus berhadapan dengan problem lain, yakni memenuhi kebutuhan vaksin bagi setidaknya 80% penduduk.

Dana yang dibutuhkan untuk memvaksinisasi 80% penduduk itu tidak kecil. Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 memperkirakan, harga satu vaksin Covid-19 akan dibanderol senilai $5. Jadi, dana untuk 176 juta penduduk Indonesia dengan 2 kali suntikan vaksin bisa menyentuh Rp26,45 triliun.

Nah, dengan kerja sama internasional, dana yang besar itu bisa sedikit diredam. “Kita bisa memproduksi vaksin yang sama dengan jenisnya di internasional. Kita gak usah beli, kita yang bikin. Tapi kalau sudah ada kandidatnya,” pungkas Pandu.

img
Fajar Yusuf Rasdianto
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan