Berjibaku lawan krisis keuangan akibat corona
Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Jakarta Pusat ramai dengan para petinggi bank dan menteri pagi itu. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, dan para pejabat lainnya tampak hadir di Menara Radius Prawiro.
Pertemuan itu diketahui sebagai rapat koordinasi para pemangku kebijakan fiskal dan moneter untuk menangkal dampak coronavirus (COVID-19). Pertemuan berlangsung singkat dan tertutup.
Berdasarkan pantauan Alinea.id di lapangan, pertemuan hanya berlangsung sekitar satu setengah jam. Mulai pukul 07.30 WIB hingga berakhir sekitar pukul 09.00 WIB.
Usai itu, para menteri dan pejabat lainnya langsung melaju ke Istana Negara untuk menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sri Mulyani dan Airlangga Hartarto menjadi garda terdepan menemui presiden.
Ani, sapaan akrab Sri Mulyani, tidak banyak bicara saat ditemui wartawan usai melakukan pertemuan bersama presiden. Dengan singkat dan sedikit tergesa, Ani hanya melayani satu sampai dua pertanyaan wartawan saja.
“Dibanding SARS (severe acute respiratory syndrome) dan MERS (Middle-East repiratory syndrome), dampak virus corona ini bagaimana, Bu?” tanya salah seorang wartawan.
“Lebih rumit yang ini (coronavirus) karena ini menyangkut manusia, harus memberikan ketenangan dulu apa yang disebut dengan ancaman atau risiko terhadap mereka,” tutur Ani di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (5/3).
Parahnya dampak coronavirus ini membuat sejumlah petinggi Tanah Air harus berembuk dan bahu membahu menangkal situasi serius yang mungkin terjadi. Apalagi, saat ini sudah enam orang yang diduga terjangkit COVID-19 di Indonesia.
Kini, para pemangku kebijakan fiskal dan moneter pun mulai bersiap mengantisipasi pelemahan ekonomi yang mungkin terjadi. OJK, salah satu pemangku kebijakan moneter Tanah Air telah menyiapkan sebuah insentif ke industri perbankan berupa kemudahan pilar kolektibilitas kredit, dari sebelumnya tiga kolektibilitas menjadi hanya satu kolektibilitas.
Kebijakan ini memudahkan bank memberikan kredit kepada debitur dengan hanya melihat pada satu komponen saja, yakni kelancaran pembayaran pokok dan bunga pinjaman. Sebelumnya, dengan tiga kolektibilitas, bank harus mempertimbangkan dua komponen lain, yaitu prospek usaha debitur dan kinerja keuangan perusahaan milik debitur.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, kebijakan ini berlaku bagi semua bank, termasuk bank umum, bank syariah, bank perkreditan rakyat (BPR), dan bank perkreditan rakyat syariah (BPRS). Jangka waktu berlaku setahun dan akan dikaji ulang saban enam bulan.
“Sehingga, hanya ketepatan membayar dan dua pilar lainnya kita abaikan. Ini untuk mendorong setkor riil agar tetap bisa berusaha,” tutur Wimboh di Menara Radius Prawiro, Jakarta, Kamis (5/3).
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristiyana menambahkan, insentif ini hanya berlaku bagi debitur yang meminjam dana dengan batas maksimum Rp10 miliar. Sementara bagi mereka yang meminjam di atas itu akan diberikan relaksasi terkait restruksurisasi kredit.
“Perhitungan kolektabilitas untuk debitur yang meminjam kredit hingga Rp10 miliar, hanya menggunakan satu pilar. Asal debitur membayar pokok dan bunga, itu sudah bisa dikatakan lancar,” ungkap Heru.
Short selling
Sementara dari sektor pasar keuangan, Bursa Efek Indonesia (BEI) telah mencabut seluruh efek yang dapat ditransaksikan secara short selling dari daftar efek Short Selling, terhitung sejak Senin (2/3). Direktur Utama BEI Inarno Djadi mengatakan, penghentian transaksi short selling dilakukan guna menyetabilkan pasar di tengah indeks yang tengah menurun.
“Selama beberapa waktu ini kami berkoordinasi dengan OJK. Kami imbau short selling tak dilakukan saat ini,” tutur Inarno dalam jumpa pers di gegung BEI, pekan lalu.
Short selling sendiri merupakan mekanisme penjualan saham ketika investor atau trader meminjam dana (on margin) dari sekuritas untuk menjual saham yang belum dimiliki dengan harga tinggi. Dalam skema ini, investor biasanya akan membeli saham perusahaan yang diperkirakan bakal turun drastis untuk kemudian mengambil keuntungan dari selisih harga setelah melunasi pinjaman dari perusahaan efek.
Transaksi ini memiliki risiko karena akan mendorong penurunan harga saham-saham yang dijual secara short selling. Untuk itu, Inarno pun mengimbau seluruh Anggota Bursa untuk bisa memastikan bahwa semua aksi jual-beli saham yang dilakukan dalam kondisi sekarang bukanlah transaksi short selling.
“Anggota bursa wajib memastikan transaksi yang dilakukan, baik untuk kepentingan anggota bursa maupun untuk kepentingan nasabah, bukan merupakan transaksi short selling,” imbau dia.
Dalam konferensi pers waktu itu, Inarno mengatakan bahwa pencabutan short selling ini bakal dilakukan sampai batas waktu yang ditetapkan kemudian. Tidak jelas kapan waktu yang ‘ditetapkan kemudian’ itu bakal diumumkan.
Alinea.id sudah mencoba menghubungi Inarno untuk mengonfirmasi kepastian hingga kapan pencabutan short selling ini bakal ditetapkan. Namun hingga artikel ini ditulis, Inarno masih belum menjawab pesan ataupun mengangkat telepon kami.
Sementara OJK pada Senin (9/3) merilis Surat Edaran OJK Nomor 3/SEOJK.04/2020 tanggal 9 Maret 2020 tentang Kondisi Lain Sebagai Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan Dalam Pelaksanaan Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik.
Dalam surat tersebut, OJK merestui semua emiten atau perusahaan publik melakukan pembelian kembali (buyback) saham tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo mengatakan hal ini dilakukan sebagai upaya memberikan stimulus perekonomian dan mengurangi dampak pasar yang berfluktuasi secara signifikan.
“Hal ini mencermati kondisi perdagangan saham di BEI sejak awal tahun 2020 sampai dengan hari ini, 9 Maret 2020, (year-to-date/ytd) terus mengalami tekanan signifikan yang diindikasikan dari penurunan IHSG sebesar 18,46%,” kata Anto dalam keterangan resmi di Jakarta.
Anto menjelaskan, tekanan ini terjadi seiring dengan pelambatan dan tekanan perekonomian baik global, regional maupun nasional sebagai akibat dari wabah virus corona (COVID-19) dan melemahnya harga minyak dunia.
Anto menjelaskan, buyback saham oleh emiten dalam kondisi pasar yang berfluktuasi secara signifikan, dilakukan dengan merelaksasi beberapa aturan. Pertama, pembelian kembali dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan RUPS.
Kedua, jumlah saham yang dapat dibeli kembali dapat lebih dari 10% dari modal disetor dan paling banyak 20% dari modal disetor. Dengan ketentuan, paling sedikit saham yang beredar 7,5% dari modal disetor.
Lima insentif BI
Pemangku kebijakan moneter utama, yakni BI juga telah menyiapkan strategi khusus untuk mengantisipasi dampak lanjutan dari COVID-19 bagi perekonomian. Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut, pihaknya telah berkomitmen untuk menjaga stabilitas moneter dan pasar keuangan dalam rangka memitigasi risiko coronavirus.
Lima strategi telah ditetapkan BI. Strategi pertama adalah dengan meningkatkan intensitas triple intervention agar nilai tukar rupiah bergerak sesuai dengan fundamentalnya dan mengikuti mekanisme pasar.
“Bank Indonesia akan mengoptimalkan strategi intervensi di pasar domestic non delivery forward (DNDF), pasar spot, dan pasar surat berharga negara (SBN) guna meminimalkan risiko peningkatan votalitas nilai tukar rupiah,” kata Perry saat konferensi pers di gedung BI, Jakarta, Senin (2/3).
Selain itu, BI juga bakal menurunkan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) valuta asing (valas) bank umum konvensional dan syariah, dari semula 8% menjadi hanya 4%. Kebijakan ini, kata Perry, bakal berlaku mulai 16 maret 2020 mendatang.
Selanjutnya, BI juga menurunkan GWM rupiah sebesar 50 basis poin (bps) untuk bank-bank dengan kegiatan pembiayaan ekspor-impor. Penurunan GWM akan mulai diimplementasikan mulai 1 April 2020 dan berlaku selama 9 bulan untuk dievaluasi kemudian.
Keempat, BI juga akan memperluas jenis underlying transaksi bagi investor asing sehingga dapat memberikan alternatif dalam rangka lindung nilai atas kepemilikan rupiah.
“Investor pegang rupiah ingin dilindung nilai sehingga ketika mereka mau beli lagi rupiah, nilainya tidak berkurang karena telah terlindungi melalui DNDF itu,” jelas dia.
Terakhir, BI kembali menegaskan bahwa investor global dapat menggunakan bank kustodian global dan domestik guna melakukan kegiatan investasi di Indonesia.
Kontra produktif ke sektor riil
Kebijakan moneter yang diambil pemerintah ini pun mendapatkan apresiasi dari pengamat ekonomi Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati. Menurut Enny, kebijakan yang diambil OJK, BI, dan BEI di tengah wabah COVID-19 ini sudah tepat untuk menggenjot permintaan dari sektor pasar keuangan.
Namun masalahnya, kata Enny, jika hanya sisi permintaannya yang dilonggarkan, sementara sisi penawarannya masih terjadi kekurangan, maka kebijakan ini justru akan berjalan kontraproduktif dengan sektor riil. Hal ini justru akan berdampak pada kenaikan harga-harga barang.
“Nah, cuma persoalannya ketika remnya dikendorkan, tetapi dari sisi supply-nya terjadi kemacetan, itu ibarat mobil baru nanjak, remnya dilepas ya malah bisa kontraproduktif,” terang Enny saat berbincang dengan Alinea.id, Minggu (8/3).
Maka itu, Enny berharap agar kebijakan moneter yang sudah tepat ini bisa segara diikuti dengan kebijakan lainnya dari sisi pasokan. Sehingga lekas-lekas kebijakan dari sisi moneter itu bisa bertransmisi ke sektor riil dan menumbuhkan daya beli masyarakat.
Jika hal ini tidak terjadi, maka kebijakan-kebijakan itu justru pelonggaran dari sisi permintaan itu hanya akan menciptakan kenaikan inflasi, dan menekan daya beli masyarakat. Sebab, lanjut dia, objek keseimbangan ekonomi selalu ditentukan di sektor riil, seperti konsumsi bahan pokok dan lain sebagainya.
“Jadi kalau supply shock ini tidak teratasi, maka justru pelonggaran dari sisi demand, itu berisiko menciptakan apa, kenaikan inflasi, sehingga justru akan semakin menekan daya beli masyarakat. Makanya ini harus benar-benar terelaksasi dengan baik,” terang dia.
Dikhawatirakan juga, kemudahan GWM yang diberikan BI hanya akan dimanfaatkan para spekulan untuk meraup rente di pasar keuangan. Masyarakat lebih memilih menyimpan uangnya dalam bentuk SBN atau deposito, dibandingkan bertransaksi di sektor riil.
“Jangan sampai malah maksudnya baik, seperti yang saya tadi sampaikan, tetapi justru berdampak kontraproduktif,” pungkasnya.
Jurus investor
Sementara itu, merebaknya virus corona baru (nCov-2019) menimbulkan prospek yang muram bagi perekonomian dunia seiring dengan munculnya kasus-kasus baru. Moody’s Investor Service (MIS) memprediksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini hanya sebesar 2,1%, lebih rendah 0,3% dibandingkan perkiraan sebelumnya.
Pasar saham seluruh dunia mengalami kehancuran, tak terkecuali Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok dari 5.498,54 menjadi 5.136,81 atau 6,58% pada Senin (9/3). Sejak awal tahun (year-to-date/ytd), IHSG telah terkoreksi sebesar 18,46%.
Gejolak pasar saham nampaknya tak memengaruhi Lo Kheng Hong, seorang investor kawakan dalam negeri. Ia mengaku dirinya tak mengkhawatirkan pergerakan saham portofolio saham miliknya. “Saham yang saya miliki adalah perusahaan yang bagus dan murah, bukan saham perusahaan yang jelek dan mahal valuasinya,” ujarnya melalui pesan WhatsApp kepada Alinea.id, Kamis (5/3).
Pria yang dijuluki Warren Buffet-nya Indonesia ini meyakini, saham salah harga pada suatu hari akan diminati oleh investor maupun fund manager. “Beli dan simpan. Tunggu dengan sabar. Suatu hari pasti kesabaranmu akan berbuah manis,” terangnya.
Selain itu, manajemen dan rekam jejak perusahaan juga menjadi pertimbangannya. “Jangan pernah membeli saham perusahaan yang dikelola oleh orang tidak jujur, tidak profesional, dan tidak berintegritas,” tegasnya.
Terpisah, Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta berpendapat pemberitaan virus corona membawa sentimen negatif bagi pasar keuangan global.
“Jadi memang saya pikir ketika misalkan market secara technical sedang mengalami oversold atau jenuh jual, pelaku pasar akan memanfaatkannya untuk memborong saham,” ujarnya pada kesempatan berbeda.
Nafan mengingatkan, apabila pemerintah mengeluarkan pernyataan yang menimbulkan kekhawatiran dan pesimisme bagi masyarakat, indeks saham dipastikan kembali mengalami penurunan.
Menurutnya, sektor-sektor saham yang dapat menjadi katalis adalah sektor konsumsi, perbankan, dan properti berkat turunya suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate dari 5% menjadi 4,75% pada bulan lalu.
Kemudian, rencana gasifikasi batu bara dan mandatori B40 juga membuat sektor pertambangan dan pertanian menjadi semakin menarik.
“Terus juga di sisi lain kita amati juga kalau mengenai status negera berkembang dicabut, secara prestise bagus bagi Indonesia meningkatkan prestise Indonesia apabila Indonesia negara anggota G20,” tuturnya.
Ia beralasan, pencabutan tersebut akan berdampak positif terhadap peringkat investasi karena memperkuat keyakinan investor terhadap kondisi ekonomi domestik.
Analis Pilarmas Investindo Sekuritas Nico Demus mengatakan, anjloknya harga saham juga dipengaruhi oleh amblasnya harga minyak lantaran gagalnya kesepakatan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) untuk mengurangi produksi.
“Apabila harga minyak mentah terus mengalami penurunan, tentu saja akan mendorong masalah yang lebih besar setelah coronavirus yang akan membuat pasar kesulitan juga untuk bangkit,” katanya di Jakarta, Senin (9/3).
Berdasarkan data dari Bloomberg pada Senin (9/3) pukul 16.30 WIB, harga minyak mentah berjangka Brent turun US$9,10 per barel menjadi US$36,17 per barel atau anjlok sebesar 20,10%. Hal sama terjadi pada West Texas Intermediate (WTI) yang turun US$8,87 per barel atau 21,49% ke posisi US$32,41 per barel.
Head of Wealth Management & Premier Banking Bank Commonwealth Ivan Jaya mengimbau para agar investor tetap tenang dalam menyikapi gejolak di pasar modal.
Ivan beralasan, bank sentral Amerika Serikat dan China telah menurunkan suku bunga bank sentral AS masing-masing sebesar 10 basis poin (bps) dan 50 bps.
Selain itu, dirinya yakin fundamental ekonomi Indonesia masih kuat lantaran nilai inflasi masih terjaga di kisaran 3% dan terkendalinya nilai tukur rupiah yang didukung oleh cadangan devisa sebesar US$131,7 miliar pada akhir Januari silam.
“Hingga saat ini kami melihat koreksi yang terjadi bisa dimanfaatkan untuk menyeimbangkan kembali porsi kelas aset saham di dalam portofolio,” terangnya dalam keterangan resmi, Jumat (6/3).
Ivan menyarankan kepada investor yang memiliki profil risiko agresif untuk menambah kembali porsi kepemilikan saham dengan memanfaatkan koreksi yang sudah terjadi. Reksa dana saham juga dapat menjadi salah satu opsi.
"Koreksi yang terjadi saat ini membuat valuasi pasar saham relatif murah. Valuasi IHSG saat ini berada di bawah dua kali standar deviasi rata-rata 5 tahun, di mana valuasi saat ini terakhir terjadi pada semester II-2015,” terangnya.
Bagi investor dengan profil risiko moderat, dia menyarankan untuk mengalihkan porsi portofolionya ke instrumen surat utang (obligasi) lantaran volatilitasnya yang rendah. Reksa dana non-saham juga dapat menjadi opsi.
Dia menjelaskan, terdapat tiga keuntungan instrumen surat utang bagi investor yaitu tingkat kupon yang biasanya lebih tinggi dibanding deposito, memiliki potensi capital gain, dan mempunyai risiko lebih rendah dibandingkan saham.
Selain itu, emas juga menjadi instrumen investasi menarik lantaran harganya yang tengah naik daun. Sejak awal tahun, harga emas telah naik sebesar 9,34% ytd. Analis Artha Sekuritas Nugroho Fitriyanto berpendapat, kenaikan harga emas tak terlepas dari merebaknya virus corona di beberapa negara. “Emas dianggap sebagai instrumen untuk hedging atau lindung nilai," katanya.