Berjibaku menyerap produksi beras lokal demi mengamankan stok
Bulan Maret, April, dan Mei adalah tiga bulan penting di mana panen raya padi berlangsung di sentra-sentra produsen padi seluruh wilayah Indonesia. Tiga bulan di kuartal kedua ini juga menjadi andalan produksi beras surplus dan bisa menutup kebutuhan konsumsi sepanjang tahun.
Selain memenuhi kebutuhan rutin konsumsi beras, panen raya juga menjadi momen penting bagi Perum Bulog untuk mengisi stok, baik Cadangan Beras Pemerintah (CBP) maupun stok komersial. Sayangnya, untuk menyerap beras produksi dalam negeri ini masih banyak tantangan yang menghadang. Salah satunya, fluktuasi harga gabah dan beras yang membuat penyerapan terkendala.
Untuk itu, Badan Pangan Nasional (Bapanas) telah menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dan beras demi mempermudah proses penyerapan produksi oleh Bulog. HPP gabah kering panen (GKP) di tingkat petani naik menjadi Rp5.000 per kilogram (kg) dari sebelumnya Rp4.200 per kg. Selain gabah, HPP beras di gudang Bulog juga dinaikkan dari Rp8.300 per kg menjadi Rp9.950 per kg.
Hal ini dilakukan agar harga yang ditawarkan cukup kompetitif. “Kami sudah tugaskan Bulog melakukan cadangan beras pemerintah 2,4 juta ton dengan ending stock 1,2 juta ton dan mengutamakan pada penyediaan dari dalam negeri,” kata Deputi Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan, Badan Pangan Nasional I Gusti Ketut Astawa dalam Alinea Forum bertajuk “Memperkuat CBP dari Pengadaan Dalam Negeri”, Senin (17/4).
Meski sudah bergerak melakukan penyerapan, namun hingga 15 April 2023, stok beras di Bulog hanya 280 ribu ton, jauh dari stok ideal sebesar 1,2 hingga 1,5 juta ton. Dari awal tahun 2023 hingga pertengahan April, Bulog hanya mampu merealisasikan penyerapan 222 ribu ton beras. Dari jumlah itu, 128 ribu ton beras di antaranya diserap pada setengah bulan April.
Sulitnya penyerapan, kata dia, disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, kurangnya stok beras membuat hasil panen raya menjadi bahan rebutan para penggilingan. Kondisi ini tak lepas dari surplus produksi yang minim.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah Bapanas, surplus sepanjang tahun ini diproyeksikan hanya sekitar 1,38 juta ton, sedikit lebih tinggi dari surplus tahun lalu 1,34 juta ton. Namun, surplus jauh lebih kecil jika dibandingkan tahun 2018 yang sebesar 4,7 juta ton. Angka surplus ini pun hanya menghitung perkiraan produksi dikurangi konsumsi.
Selain itu, penggilingan yang berfungsi sebagai jejaring distribusi untuk para pelanggannya juga tanpa sengaja membentuk harga tersendiri. "Bisa dibilang mereka sebagai price maker. Tapi itu untuk menjaga operasional penggilingan tetap berjalan dan pelayanan terhadap jejaring distribusi tetap terlayani," kata dia.
Faktor lain yang tak kalah penting yakni adanya penyimpanan hasil produksi gabah di rumah tangga petani. Berdasarkan survei Bapanas bekerja sama dengan BPS pada 13 ribu rumah tangga petani, diketahui, 20-30% hasil produksi gabah disimpan petani. “Di Lombok, di Bangli, Bali itu mereka banyak simpan produksinya 20-30%. Ini dihitung produksi tapi kan enggak dijual,” tambahnya.
Di sisi lain, pascapandemi konsumsi beras nasional juga melonjak yang pada akhirnya mempengaruhi pemenuhan CBP oleh Bulog. Terakhir, yang masih menjadi dugaan adalah adanya peralihan konsumsi beras impor Jasmine yang digantikan oleh produksi beras lokal.
Tantangan bansos
Ketut mengakui prognosis neraca beras nasional yang surplus 1,38 juta ton oleh Bapanas belum memasukkan kebutuhan cadangan pangan. Menurutnya, jika kebutuhan CBP diperhitungkan maka produksi tahunan masih kurang walaupun ada carry over. Untungnya, sejauh ini produksi beras nasional masih surplus dari tahun ke tahun meski dikurangi konsumsi.
Tantangan pemenuhan CBP kian besar dengan adanya rencana Presiden Jokowi memperpanjang pemberian bantuan sosial beras selama tiga bulan, yakni Juli-Agustus, bagi 21,3 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM). “Butuh 640-an ribu ton beras lagi, ini menambah tantangan kita untuk penyediaan CBP,” bebernya.
Padahal, harga gabah di pasar pun saat ini masih di atas HPP, yakni Rp5.500 sehingga penyerapan CBP masih tersendat. Sementara itu, selain instrumen HPP, Bulog sebenarnya bisa membeli secara komersial atau sesuai harga berlaku di pasaran. Namun, menurut Ketut, hal ini justru bisa menjadi bumerang. Jika tidak hati-hati, langkah ini justru akan membuat harga gabah dan beras eceran kian melambung.
“Dengan angka komersial yang berfluktuatif ini harus dijaga agar harga eceran enggak semakin tinggi. Bagaimana Bulog berstrategi agar serapan dalam negeri harus diutamakan,” tegasnya.
Karenanya, dia pun mengharapkan komitmen yang sudah disampaikan beberapa penggilingan besar untuk menyuplai 60 ribu ton gabah ke Bulog bisa terealisasi. Dus, CBP Bulog akan bertambah dari waktu ke waktu.
CBP sendiri dialokasikan untuk beberapa tujuan. Pertama, sebagai stabilisasi harga ketika terjadi lonjakan harga di daerah tertentu dalam satu waktu. Kedua, CBP sebagai tanggap darurat saat bencana dan rawan pangan dan ketiga sebagai cadangan dalam rangka perjanjian Badan Cadangan Beras Darurat ASEAN Plus Three Emergency Rice Reserve/APTERR yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Terakhir, CBP berguna kala dibutuhkan bantuan internasional untuk bencana di luar negeri.
Untuk memastikan stok memadai, jelas Ketut, pemerintah sudah membuka keran impor beras yang akan dijalankan sepanjang Maret hingga Juni dengan kuota sebesar 500 ribu ton. Adapun kuota impor yang ditugaskan kepada Bulog total mencapai 2 juta ton untuk tahun ini.
Meski begitu, Ketut menegaskan, prioritas pemenuhan CBP dari dalam negeri terlebih dahulu dengan pola jungkat-jungkit. Jika pemenuhan dari dalam negeri mencukupi, maka impor akan disetop. Sebaliknya, jika pengadaan dalam negeri dirasa kurang, maka impor menjadi opsi.
“Kalau diyakini pemenuhan dalam negeri bagus, impor setop. Kapi kalau belum (mencukupui) karena kebutuhan bantuan sosial harus dipenuhi, bagaimanapun caranya CBP coba kita penuhi terlebih dahulu agar intervensi dan stabilisasi harga bisa dilakukan Bulog,” tambahnya.
Kepala Divisi Pengadaan Pangan Lain Bulog, Yayat Hidayat Fatahilah, menambahkan tren harga gabah dan beras di atas HPP sejatinya sudah terjadi sejak 2006. Harga akan mendekati HPP ketika masa panen raya. "Di daerah yang produksinya banyak seperti Sulawesi Selatan dan Jawa Timur, ada yang harganya sama dengan HPP atau di bawah HPP sehingga kami bisa menyerap," ungkapnya.
Menurutnya, tren penyerapan Bulog sudah meningkat akhir-akhir dengan penyerapan harian mencapai 8.000-9.000 ton beras. Jika angka penyerapan tersebut bertahan sepanjang Mei-Juni, akan ada tambahan CBP 176 ribu sampai 200 ribu ton. Namun, jelas dia, ke depan tantangan penyerapan semakin tinggi dengan semakin terkereknya harga gabah dan beras di pasar.
“Juli tren (penyerapan) memang akan menurun. Yang bisa diharapkan Mei-Juni trennya dipertahankan seperti Maret, dan pasokan (bisa) 380-400 ribu di Mei-Juni. Dengan tambahan bansos sampai Agustus, jumlah penyerapan itu juga pas-pasan,” tuturnya.
Diakui Yayat, harga gabah setelah memasuki panen raya Maret-April ini bergerak turun, namun masih tetap di atas HPP yang dipatok pemerintah. Dari kisaran Rp5.800 per kilogram (kg) menjadi Rp5.200 per kg. Ia pun mengkhawatirkan harga gabah dan beras bisa kembali melonjak kala musim panen telah lewat.
Tidak hanya itu, kendala lain adalah musim panen yang datang bersamaan dengan musim hujan sehingga membuat kualitas gabah kurang baik. Apalagi, petani tidak memiliki fasilitas pengeringan. Karena gabah yang diserap Bulog harus memenuhi kriteria HPP, yaitu kadar air maksimum 25% dan kadar hampa 10%.
Belum lagi, banyak petani di daerah yang menerima uang muka dari pihak swasta dengan sistem ijon dan tebasan. Hal ini kian mempersulit Bulog menyerap gabah langsung dari petani.
Karenanya, ia mengharapkan impor beras 500 ribu ton yang masuk akan menambah CBP untuk memenuhi penyaluran bansos beras tambahan. “Mudah-mudahan itu bisa jadi penguat terutama untuk bantuan pangan dan penguatan CBP,” tambahnya.
Peningkatan produksi
Sementara itu, Koordinator Padi Irigasi dan Rawa Direktorat Serealia Kementerian Pertanian (Kementan), Rachmat mengatakan pihaknya selalu meningkatkan produksi beras dari tahun ke tahun. Namun, peningkatan produksi itu selalu berhadapan dengan peningkatan konsumsi beras nasional.
Peningkatan produksi dilakukan dengan menggenjot produktivitas dan perluasan luas tanam/panen. Peningkatan produktivitas di antaranya dilakukan dengan penggunaan benih varietas unggul dan inovasi teknologi. Sementara untuk perluasan areal tanam dilakukan dengan tumpang sari, pemanfaatan peremajaan hingga penggunaan lahan bekas tambang. Kementan juga mempercepat masa tanam kedua untuk antisipasi kemarau panjang atau El Nino.
Mengenai potensi luas panen, paparnya, dari Januari sampai Mei 2023 diperkirakan mencapai 5,12 juta hektare. Dari luas panen itu bisa diproduksi gabah kering 26,88 juta ton yang setara 15,48 juta ton beras. Dari lokasi-lokasi panen yang terdata di BPS, kata Rachmat, diharapkan Bapanas dan Bulog dapat berkoordinasi dengan pihak terkait.
“Jangan sampai terulang di 2021 pada Maret saat panen raya serapan Bulog hanya 40 ribu-an, 2022 juga cuma 48 ribu. Harapannya tahun ini bisa maksimal serapan dimanfaatkan untuk memenuhi CBP,” bebernya.
Diakui Rachmat, produksi padi setiap bulan tak selalu surplus. Ada kalanya bulan-bulan tertentu mengalami defisit. Namun, bulan-bulan defisit itu bisa dipenuhi oleh hasil produksi pada saat surplus. “Makanya tata kelola serapan gabah harus dioptimalkan. Kalau penyerapan saat panen terlewat, enggak terserap ini akan mengganggu stok CBP,” sebutnya.
Dia juga meminta ada koordinasi untuk memetakan lebih detail lokasi-lokasi yang terjadi panen. Lokasi-lokasi ini harus dioptimalkan menjadi CBP oleh Bulog.
Sementara itu, pengamat pertanian Agus Saifullah menjelaskan telah terjadi penurunan volume pengadaan dan penyaluran beras Bulog sejak pagu Raskin dikurangi pada era 2017-2019. Efek terhadap stok karena penghapusan Raskin itu pun terasa hingga saat ini. “Pengurangan saluran hilir mempengaruhi kapasitas Bulog untuk menjaga CBP,” sebut Agus pada acara yang sama.
Buktinya, jelas Agus, mulai 2019 untuk pengadaan, penyaluran, dan stok terus mengalami penurunan. Namun, penyaluran masih lebih besar daripada pengadaan yang membuat CBP terus menurun sampai saat ini.
"Perubahan kebijakan sangat berpengaruh sekali terhadap kondisi perberasan yang dikelola oleh Bulog," urai Agus.
Agus juga menilai ada hubungan penting antara harga beras, harga gabah, dan harga pasar. Pada masa panen, jelas dia, perdagangan beras terjadi ke pasar umum dan Bulog sebagai CBP. Namun, Agus menjelaskan, dalam beberapa tahun terakhir harga gabah dan beras cenderung di atas harga pembelian pemerintah (HPP) kala panen raya. Bulog pun kesulitan untuk membeli di atas HPP.
Menurutnya, hal ini karena ada kecenderungan rasio HPP beras dengan HPP gabah kering panen (GKP) semakin menurun. Pada 2015, rasionya sekitar 2 namun tahun 2021-2022 turun jadi 1,97, namun kembali naik menjadi 1,99. Hal ini membuat margin untuk memproses gabah menjadi beras semakin mengecil untuk dimasukkan ke pengadaan Bulog.
Menurut mantan Direktur SDM dan Umum Bulog ini, rasio yang cukup menarik mestinya minimal 2,02 ke atas. "Itu akan menarik bagi pedagang untuk memproses gabah yang dibeli dari petani untuk dimasukkan ke pengadaan Bulog. Karena memiliki margin yang cukup untuk biaya pengolahan, transpor, dan lainnya,” tuturnya.
Terakhir, penguatan CBP juga perlu dilakukan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Untuk jangka pendek, kata dia, harga sangat penting dengan kondisi panen yang eksisting seperti saat ini. Jika ingin memperbesar penyerapan, perlu strategi harga dengan memodifikasi.
"Artinya, saat musim panen ketika surplus musimannya cukup besar, pedagang didorong untuk melakukan perdagangan baik kepada pasar umum atau Bulog. Tapi jika margin jual ke Bulog kurang cukup, maka pedagang akan condong ke pasar umum," kata Agus.
Adapun untuk jangka panjang, Agus memandang faktor kelembagaan sangat penting. Dengan adanya Bapanas, operasional Bulog akan dirancang dengan baik, termasuk penetapan CBP.
“Kalau CBP enggak sesuai jumlah, penyaluran lebih besar dari penyerapan, Bapanas harus memiikirkan caranya. Bulog harus mengajukan berbagai rancangan berapa kualitas yang akan diakumulasikan pada akhir tahun, sehingga kebijakan-kebijakan bisa diusulkan berikut anggarannya,” bebernya.
Selain itu, masalah anggaran untuk pengadaan juga perlu disiapkan dengan baik. Misalnya bila ada kasus over stocking yang bisa menurunkan kualitas beras karena masa simpan yang lama.