close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pakar kebijakan publik dari Narasi Institute Achmad Nur Hidayat. Foto: partaigelora.id
icon caption
Pakar kebijakan publik dari Narasi Institute Achmad Nur Hidayat. Foto: partaigelora.id
Bisnis
Sabtu, 16 Juli 2022 16:29

Berkaca pada Sri Lanka, Indonesia jangan jumawa

Indonesia juga harus membangun kemandirian pangan dan energi dan memberikan kekuatan BUMN-BUMN yang terkait langsung dengan pangan.
swipe

Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyampaikan Indonesia tahan resesi dan tidak akan seperti Sri Lanka mendapatkan respons dari berbagai pihak. Salah satunya dari pakar kebijakan publik dari Narasi Institute Achmad Nur Hidayat. Menurut dia, Indonesia berada pada urutan 14 dari 15 negara yang rentan mengalami resesi ekonomi berdasarkan Survey Bloomberg.

Achmad Nur Hidayat menyebutkan, yang diklaim oleh Sri Mulyani tidak fair, karena yang meramu kebijakan tentunya akan selalu mengatakan apapun yang mereka ramu pasti yang terbaik

"Resiko Indonesia hanya 3% dan Indonesia negara yang cukup kuat. Tetapi itu adalah half truth atau separuh kebenaran karena kenyataannya dalam ekoomi itu tidak ada yang bisa mengklaim 100% benar," kata Achmad dalam keterangan, Sabtu (16/7).

Achmad mengingatkan, pemerintah harus melihat data-data yang kredibel. Apalagi Indonesia berpotensi mempunyai trajektori yang sama seperti Sri Lanka. 

Sri Lanka mempunyai banyak pengeluaran, berani berutang untuk membiayai APBN dan pembangunan, tetapi melupakan pendapata atau penerimaan negara. Bahkan kesalahan fatalnya adalah memangkas rate pajak dari 10% menjadi 8%.

Indonesia untuk beberapa extens mempunyai trajektori yang sama. Seperti pada perkembangan tax ratio terhadap PDB mengalami penurunan secara terus menerus dari 2011. Di mana Indonesia berada di double digit 11,16% dan turun terus hingga single digit di tahun ini di kisaran 9,30%. 

"Dan ini adalah tax ratio terendah di antara negara-negara ASEAN. Artinya kita perlu waspadai bagaimana tax ratio ini akan mempersempit ruang gerak Indonesia untuk membayar utang yang akhirnya menambah kerentanan Indonesia sebagai negara. Artinya Indonesia melakukan trajektori yang sama seperti halnya Sri Lanka," ujarnya.

Achmad mengungkapkan, hanya Indonesia satu-satunya negara ASEAN yang tax ratio terhadap PDB-nya hanya single digit. Hal itu menunjukkan penerimaan negara lebih rendah dari negara lain sementara di antara negara ASEAN.

Indonesia terkenal dengan keaktifan untuk melakukan projek pembangunan infrastruktur besar-besaran salah satunya pembangunan IKN. Apalagi dilakukan di tahun-tahun pascapandemi covid yang masih harus melakukan pemulihan.

Penerimaan negara itu harusnya dikumpulkan dari produktivitas industrialisasinya dan Indonesia punya kerentanan yang jarang dibicarakan. Kerentanan tersebut adalah Indonesia sedang mengalami apa yang disebut deindustrialisasi yaitu peran manufaktur kepada PDB terus mengalami penurunan.

Berdasarkan, sumber BPS tentang peranan manufaktur terhadap PDB yang terus turun. Pada 2001 Indonesia berada di 29%, jauh sekali dari zaman orde baru sehingga dulu disebut bahwa Indonesia sebagai Macan Asia. 

"Artinya Indonesia mengalami deindustrialisasi, jika Indonesia ingin menjadi negara yang kuat harusnya angka ini yang diperbesar," ucapnya.

Ia menyarankan, Indonesia harus sangat ekstra waspada manakala kasus Sri Lanka ini bisa terjadi pada Indonesia. Bisa dilihat dari Debt Service Ratio (DSR), Total Debt Service Indonesia dengan Sri Lanka mempunyai trajektori yang sama. 

Sri Lanka memiliki DSR yang berada di 39,3% dan Indonesia di 36,7%, dan ini yang harus diwaspadai. Angka DSR dibandingkan PDB ini kerap menjadi kekeliruan. 

"Seperti hutang publik di 1977 terlihat masih aman, tetapi ternyata 1997 dan 1998 terjadi krisis yang parah. Itu karena Indonesia tidak menghitung DSR. Jadi ini bukan pernyataan pesimistis, tetapi Indonesia harus benar-benar waspada," jelasnya.

Maka, kata Achmad, Indonesia harus berhati-hati menempatkan prioritas pengeluaran anggaran. Apabila Indonesia sadar dengan kehati-hatian tersebut maka proyek-proyek infrastruktur yang tidak memberikan pengembalian kepada return kepada perekonomian seperti pemindahan IKN contohnya dapat dibatalkan.

Kemudian pada vaksin booster yang dibiayai negara dengan anggaran Rp11 triliun harus dialokasikan ke aspek lainnya apalagi kondisi Indonesia sudah herd imunity. Jika masyarakat ingin mendapatkan ketenangan dengan vaksin booster tentunya masyarakat bisa membiayai sendiri, sehingga tidak perlu syarat-syarat perjalanan harus divaksin booster.

"Tidak menyia-nyiakan APBN untuk hal-hal yang tidak berguna," tuturnya.

Indonesia juga harus membangun kemandirian pangan dan energi dan memberikan kekuatan BUMN-BUMN yang terkait langsung dengan pangan, diberi modal yang baik dan diberi target. Saat ini Indonesia memberikan penyertaan modal PMN, tetapi PMN ini mayoritas diberikan kepada BUMN-BUMN karya-karya, tidak diberikan kepada BUMN energi dan pangan.

"Tiga hal tersebut akan membuat Indonesia terbebas dari kerentanan hutang dan juga terbebas menjadi negara gagal seperti Sri Lanka," tandasnya.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan