Masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau yang lebih akrab disapa Jokowi segera berakhir. Total dua kali Jokowi terpilih menjadi presiden.
Dalam satu dekade kepemimpinannya, Jokowi menyisakan sederet pekerjaan rumah. Institute For Development of Economics and Finance (Indef) mencatat ada regresi demokrasi yang berdampak pada bidang ekonomi.
Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti mengatakan regresi itu terlihat dari pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang membuat korupsi merajalela. Belum lagi, ada kebijakan yang seakan dibuat khusus untuk oligarki seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Pun demikian dengan kucuran bantuan sosial alias bansos yang dianggap tidak memberikan dampak efektif terhadap tingkat kemiskinan karena hanya turun 2% dalam 10 tahun.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2013 mencapai 28,17 juta orang dengan persentase penduduk miskin sebesar 11,38%. Pada Maret 2024, angkanya tak beda jauh atau sebesar 25,22 juta orang dengan persentase penduduk miskin 9,03%.
Esther bilang, pemerintah seharusnya meningkatkan bidang pendidikan ketimbang memberikan bansos kepada masyarakat.
“Pemberian bansos beratus miliar bukan solusi, harusnya tingkat pendidikan ditingkatkan,” kata Esther, baru-baru ini.
Bila dilihat secara teori maupun praktik, menurutnya, menaikkan kualitas pendidikan bisa menjadi solusi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Khususnya, untuk membangun sumber daya manusia (SDM). Langkah ini dianggap bisa mengatasi skill gap pada tenaga kerja.
Diketahui, tenaga kerja di Indonesia masih didominasi oleh pekerja berkeahlian rendah atau low skill.
Alhasil, investasi pun dinilai tidak ramah terhadap tenaga kerja karena masih ada kekurangan SDM yang mumpuni.
Di sisi lain, menjelang akhir masa jabatan Jokowi, terjadi kontraksi fiskal dan moneter. Ini merupakan pertama kalinya dalam satu dekade kepemimpinan eks Gubernur DKI Jakarta itu.
Dari sisi fiskal, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) melonjak hingga tiga kali lipat dan tidak diimbangi dengan moncernya kinerja penerimaan pajak dan nonpajak. Bujet banyak dialokasikan untuk pengeluran rutin dan bukan belanja modal.
"Adapun di sisi moneter, tingkat suku bunga tinggi dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) merosot atau mengalami depresiasi. Artinya fiskal dan moneter ini terus terkontraksi,” lanjutnya.
Pertumbuhan ekonomi
Plusnya, ekonomi selama satu dekade terakhir tumbuh stabil dengan rata-rata per tahun sebesar 4,3%. Angka itu memang tak tinggi, sebab pemerintahan Jokowi sempat menghadapi pagebluk akibat Covid yang memaksa ekonomi terkontraksi atau minus 2,07% di tahun 2020.
Adapun pada semester I-2024, ekonomi tumbuh 5,08% dibandingkan periode yang sama tahun 2023. Angka itu hampir menyentuh outlook pertumbuhan ekonomi 2024 yang sebesar 5,2%.
Namun, realisasi pertumbuhan ekonomi dalam 10 tahun terakhir tak pernah mencapai target. Misalnya, pada tahun pertama setelah Jokowi menjabat sebagai presiden di 2014, ekonomi hanya tumbuh 5,02% atau di bawah target ambisius 6%. Demikian juga dengan tahun-tahun berikutnya.
"Tampaknya target pertumbuhan ekonomi sulit tercapai, bahkan belum ada yang tercapai. Jadi memang ini menjadi satu catatan penting bagaimana realisasi pertumbuhan ekonomi dalam satu dekade jauh dari harapan meskipun tumbuh,” ujarnya.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi banyak ditopang oleh konsumsi rumah tangga hingga mencapai hampir 58%. Tren kenaikan konsumsi masyarakat ini juga serupa dengan pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi juga didorong oleh belanja negara atau konsumsi pemerintah.