Bank Indonesia menyatakan pelemahan rupiah yang terjadi saat ini berbeda dengan saat krisis moneter Asia pada 1998 dan krisis global tahun 2008.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan, saat krisis 1998, pelemahan rupiah dipicu oleh penarikan investasi yang dilakukan investor yang mengakibatkan kebangkrutan bank-bank nasional. Krisisi ini juga turut meruntuhkan nilai tukar rupiah hingga delapan kali lipat, dari Rp2.500 per dolar Amerika Serikat (AS) menjadi Rp16.000 per dolar AS.
"Mohon maaf, dibandingkan Rp16.000 sekarang, ingat Rp16.000 itu dari Rp2.500 ke Rp16.000 berarti berapa kali lipat? Hampir delapan kali lipat," katanya dalam video conference, di Jakarta, Kamis (25/3).
Perry menuturkan depresiasi rupiah hingga Rp16.900 per dolar AS beberapa hari lalu dipicu oleh kepanikan pasar global akibat pandemi coronavirus yang cepat menyebar.
"Yang terjadi sekarang sangat berbeda dengan krisis 1998 dan 2008, sekarang yang terjadi adalah pandemi yang eskalasinya sangat cepat yang menyebabkan panik, dan mereka lepas asetnya," ujarnya.
Aksi tarik aset sejumlah investor tersebut, kata Perry, kemudian memicu naiknya nilai mata uang dolar AS terhadap sejumlah mata uang negara lain, termasuk Indonesia.
Namun demikian, dia mengatakan, saat ini perbankan di Indonesia jauh lebih kuat dibandingkan dengan tahun 1998 dan 2008. Hal ini terlihat dari non performing loan (NPL) atau tingkat kredit macet yang mengalami penurunan menjadi 1,3%.
Tak hanya itu, rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan juga tergolong tinggi yaitu sebesar 23%.
"Perbankan kita jauh lebih kuat. Di dunia juga. CAR 23% dan NPL sblm covid-19 2,5% secara gross neto, sekarang 1,3%," ucapnya.
Di samping itu, BI pun terus melakukan intervensi di pasar keuangan dengan melakukan injeksi likuiditas sebesar Rp300 triliun, dan menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin di angka 4,75%.
Selain itu, sejumlah bank sentral dunia juga telah melakukan intervensi dengan menurunkan suku bunga acuan dan menggelontorkan sejumlah stimulus untuk meredakan kepanikan pasar global. Sehingga sistem keuangan akan sedikit terjaga stabilitasnya.
"Secara global seluruh dunia dengan langkah bank sentral melonggarkan likuiditas dan telah memberikan stimulus lainnya makanya. Sekarang kepanikan pasar global mereda, bukan berakhir, tapi mereda dari kondisi minggu lalu atau sejak dua minggu terakhir," terang Perry.