Bank Indonesia memutuskan mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate dilevel 4,25%, dengan suku bunga Depositi Facility tetap sebesar 3,50% dan Lending Facility sebesar 5,00%. Semuanya berlaku efektif sejak 23 Maret 2018.
Direktur Eksekutif Bank Indonesia Agusman menjelaskan kebijakan tersebut konsisten dengan upaya menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta turut mendukung pemulihan ekonomi domestik. Bank Indonesia memandang bahwa pelonggaran kebijakan moneter yang ditempuh sebelumnya tetap memadai untuk terus mendorong momentum pemulihan ekonomi domestik.
"Bank Indonesia tetap fokus menjaga stabilitas perekonomian yang menjadi landasan utama. Bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan," Agusman kepada wartawan, Kamis (22/3).
Sejumlah risiko tetap perlu diwaspadai, baik yang bersumber dari eksternal seperti peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global dan kecenderungan penerapan inward-oriented trade policy di sejumlah negara, maupun dari dalam negeri terkait kenaikan inflasi.
Untuk itu, Bank Indonesia terus mengoptimalkan bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan dengan proses pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung, khususnya dengan memitigasi peningkatan risiko jangka pendek.
Bank Indonesia juga semakin memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta penguatan pelaksanaan reformasi struktural.
Peningkatan investasi terutama terjadi pada sektor konstruksi seiring penyelesaian proyek infrastruktur, konsumsi didukung daya beli masyarskat yang terjaga dan peningkatan pengeluaran terkait Pilkada dan sebagainya. "Dengan perkembangan tersebut, untuk keseluruhan 2018, perekonomian Indonesia diperkirakan tumbuh pada kisaran 5,1-5,5% (yoy)," ujar Agusman.
Kondisi sistem keuangan juga diperkirakan dalam kondisi stabil di tengah intermediasi perbankan yang belum kuat. Terjaganya stabilitas sistem keuangan tercermin pada rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan yang cukup tinggi mencapai 23,2% dan rasio likuiditas (AL/DPK) sebesar 23,2% pada Januari 2018. Sementara itu, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) sedikit meningkat menjadi 2,9% (gross) atau 1,3% (net) pada Januari 2018.
Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial Linda Maulidina juga menyampaikan sejak awal periode pelonggaran kebijakan moneter hingga Januari 2018. Suku bunga deposito dan kredit terus menurun masing-masing sebesar 196 bps dan 151 bps. Meski demikian, transimis melalui jalur kredit masih belum tinggi dan perliaku bank yang masih selektif dalam memberikan kredit baru.
BI berupaya mendorong mediasi dari sisi kebijakan makro prudential, dimana pihaknya akan mengeluarkan instrumen berupa 'magician of prudential'. Disini bank akan memberikan kredit dengan mengeluarkan surat-surat berharaga yang diterbitkan oleh perusahaan-perusahaan yang mencari dana di pasar modal maupun pasar obligasi. Meskipun tidak dalam bentuk kredit, tapi berupa pembiayaan oleh perbankan terhadap korporasi yang membutuhkan dana juga akan lebih meningkat.
Di tengah pertumbuhan kredit yang masih terbatas, pembiayaan ekonomi melalui pasar modal, seperti penerbitan saham (IPO dan rights issue), obligasi korporasi, dan medium term notes (MTN) terus mengalami peningkatan sebesar 99,8% (yoy) pada Januari 2018. Hal itu sejalan dengan program pendalaman pasar keuangan. Bank Indonesia memperakirakan pertumbuhan Kredit dan DPK akan lebih baik pada 2018, masing-masing dalam kisaran 10,0-12,0% (yoy) dan 9,0-11,0% (yoy).
Pada kesempatan yang sama, Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, Yoga Affandi, menyampakan pelonggaran kebijakan moneter yang ditempuh tetap memadai untuk terus mendorong momentum pemulihan ekonomi domestik. Ke depan, Bank Indonesia tetap fokus menjaga stabilitas perekonomian yang menjadi landasan utama bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan.
"Kalau kita melihat dari kacamata makro, sebenarnya justru impor yang dilakukan Indonesia adalah barang baku dan barang modal. Impor yang tinggi tidak selalu berdampak buruh pada perekonomian, justru Indonesia bisa mendorong kapasitas perekonomian. Impor bahan baku dan barang modal seperti infrastruktur, alat komunikasi, peralatan elektrikal juga meningkat. Hal ini membuat kita optimis bahwa tahun ini pertumbuhan perekonomian akan lebih tinggi dari tahun lalu, perkiraan kami akan berada 5,1%-5,5%," papar Yoga Affandi.