BI Rate naik, rupiah & IHSG kompak bergerak negatif
Nilai tukar rupiah dan Indeks harga saham gabungan (IHSG) bereaksi negatif terhadap kenaikan suku bunga BI Rate menjadi 4,75%.
Di pasar spot dari data Bloomberg, disebutkan nilai tukar rupiah kembali melemah 0,01% sebesar 2 poin ke level Rp13.993 per dollar AS. Rupiah sempat menguat di bawah Rp14.000 per dollar AS dalam beberapa waktu terakhir.
Kurs tengah Bank Indonesia mematok nilai tukar rupiah menguat ke level Rp14.032 dari sehari sebelumnya Rp14.064 per dollar AS. Sedangkan, kurs transaksi mematok harga jual dollar AS pada level Rp14.102 dan beli Rp13.962 per dollar AS.
Dari lantai bursa, IHSG ditutup melemah tipis 0,94% sebesar 57,27 poin ke level 6.011,05 dari hari sebelumnya 6.068,32. IHSG pada perdagangan Rabu (30/5), sempat menyentuh level tertinggi 6.095,83 dengan kenaikan 0,45%.
Hampir seluruh sektor saham yang ditransaksikan di BEI berakhir di zona merah. Hanya sektor pertambangan yang menghijau dengan kenaikan 0,26% sebesar 4,91 poin.
Koreksi IHSG terjadi seiring dengan kondisi pasar saham regional dan global. Seluruh bursa saham utama di Asean dan Asia Pasifik berakhir terkoreksi ke zona merah.
Tekanan terhadap IHSG terjadi lantaran investor asing melepaskan portofolio. Tercatat, investor asing mengakumulasi aksi jual (nett sell) senilai Rp212,12 miliar dan mempertebal capaian jual bersih sejak awal tahun menjadi Rp39,86 triliun.
Bank Indonesia memutuskan untuk kembali mengerek suku bunga acuan BI 7-days reverse repo rate (BI 7-DRRR) sebesar 25 basis poin menjadi 4,75%. BI juga menaikkan suku bunga Deposit Facility juga ditetapkan naik sebesar 25 basis poin menjadi 4%, dan suku bunga Lending Facility naik sebesar 25 basis poin menjadi 5,5%. Keputusan itu berlaku efektif sejak 31 Mei 2018.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memberikan keterangan pers hasil Rapat Dewan Gubernur tambahan di kantor pusat BI, Jakarta, Rabu (30/5). Bank Indonesia memutuskan kembali menaikkan suku bunga acuan BI 7-days repo rate 25 basis poin menjadi 4,75 persen untuk mengantisipasi risiko eksternal terutama kenaikan suku bunga acuan kedua The Fed pada 13 Juni mendatang. (Antara Foto)
Peluang naik lagi
Gubernur BI Perry Warjiyo mengawali kepemimpinannya dengan mengubah arah kebijakan moneter menjadi "bias ketat" dari "netral", dan memberi sinyalemen kemungkinan menaikkan kembali suku bunga acuan untuk ketiga kali pada 2018.
"Kami terus mengalibrasi perkembangan baik domestik maupun global untuk memanfaatkan masih ada ruang untuk kenaikan suku bunga secara terukur," kata Perry dalam jumpa pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan yang dilakukan untuk kedua kali pada Mei 2018 di Jakarta, dilansir Antara, Rabu (30/5).
Dalam RDG bulanan ekstra yang diselenggarakan pertama kali oleh Bank Sentral sejak 2013, BI menaikkan suku bunga acuan BI 7-DRRR sebesar 0,25% menjadi 4,75%.
Kenaikan suku bunga itu melengkapi pengetatan kedua kali suku bunga kebijakan BI hanya dalam tempo dua pekan, di tengah pelemahan rupiah yang sudah jauh di bawah nilai fundamental.
Rupiah di penghujung Mei 2018 sudah melewati batas psikologis Rp14.000 per dollar AS dengan level depresiasi di 3,9%-4% (year to date/ytd).
Pengetatan kebijakan moneter pada akhir Mei 2018 juga untuk mengantisipasi tekanan arus modal keluar (capital reverseal) yang bisa disebabkan ekspetasi pelaku pasar tentang kenaikan kedua kalinya suku bunga acuan The Federal Reserve pada 13 Juni 2018 menjadi 1,75%-2%.
Perry yang kerap mengkampanyekan kebijakna moneter pro-stabilitas dan pro-pertumbuhan menekankan bahawa dirinya ingin menerpakan kebijakan moneter yang antisipatif terhadap tekanan yang bisa menggangu stabilitas perekonomian domestik.
"Ini merupakan kebijakan pre-emptive (antisipatif), dan ahead of the curve (selangkah lebih maju) dan frontloading untuk merespons risiko dan tekanan eksternal," ujar Perry yang menghabiskan lima tahun terakhirnya menjadi Deputi Gubernur BBI.
Di sisa tahun, Perry mengakui ancaman arus modal keluar masih membayangi stabilitas pasar keuangan domestik.
Sumber ancaman itu adalah kenaikan suku bunga The Fed yang diramalkan terjadi 3-4 kali tahun ini, pelebaran defisit fiskal pemerintah AS yang memicu kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS, dan juga dinamika geopolitik global. Olah karena itu, Perry menilai arah kebijakan moneter BI harus berubah dari yang "netral" menjadi "bias ketat".
Sementara itu, kata Perry, kondisi perekonomian domestik berjalan baik, ditandai dengan proyeksi inflasi hingga akhir tahun yang sebesar 3,6% (year-on-year/yoy) atau masih dalam sasaran inflasi BI di 2,5%-4,5% (yoy). Kemudian indikator defisit transaksi berjalan diperkirakan masih di bawah 2,5% PDB.
Bank Sentral juga sedang menyiapkan relaksasi kebijakan makroprudensial di bidang pembiayaan perumahan, dan juga pendalaman pasar keuangan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, agar minimal menyentuh 5,2% (yoy).
Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto mengatakan kenaikan suku bunga acuan ini memang akan memberi pengaruh kepada suku bunga kredit perbankan.
Namun Erwin meyakini kenaikan suku bunga kredit tidak akan terjadi secara serta-merta dan dalam waktu cepat. BI masih meyakini pertumbuhan kredit perbankan tahun ini di 10%-12% (yoy).
"Kenaikan ini tidak serta merta diikuti dengan jumlah yang sama. Bagaiamana perkiraan pertumbuhan kredit ini? Kalau kita melihat pertumbuhan kredit ini, kita belum memberikan perubahan untuk target pertumbuhan kredit," ujar dia.
Berikut data pergerakan BI Rate:
1. 30 Mei 2018: 4,75%
2. 17 Mei 2018: 4,50%
3. 19 April 2018: 4,25%
4. 22 Maret 2018: 4,25%
5. 15 Februari 2018: 4,25%
6. 18 Januari 2018: 4,25%
7. 14 Desember 2017: 4,25%
8. 16 Nopember 2017: 4,25%
9. 19 Oktober 2017: 4,25%
10. 22 September 2017: 4,25%
11. 22 Agustus 2017: 4,50%
12. 20 Juli 2017: 4,75%
13. 15 Juni 2017: 4,75%
14. 18 Mei 2017: 4,75%
*Sumber: Bank Indonesia, diolah.