Bank Indonesia (BI) memastikan, akan terus memantau berbagai perkembangan terkini terkait arah kebijakan dari pemulihan perekonomian secara global.
"Pada 2022 kami memperkirakan, ekonomi akan tumbuh lebih seimbang. Meskipun kami juga memahami ada sejumlah risiko termasuk kenaikan suku bunga Fed, harga komoditas maupun inflasi yang tinggi," kata Perry dalam rapat dengan Komisi XI DPR, Kamis (27/1).
Perry memaparkan, volume perdagangan dan harga komoditas yang meningkat dapat menopang prospek ekspor negara. Meskipun hal itu diiringi dengan normalisasi kebijakan moneter The Fed yang lebih cepat dan lebih kuat, sebagai respons tekanan inflasi Amerika Serikat yang tinggi karena kenaikan permintaan dan gangguan pasokan, serta tingginya penyebaran Covid-19 varian Omicron.
"Meskipun ada pengaruh dari The Fed dan Omicron, ekonomi tumbuh karena di dukung oleh kinerja ekspor dan membaiknya konsumsi dan investasi dalam penanganan resiko. Terutama karena normalisasi dari kebijakan monoter dari Bank Sentral negara maju," jelas Perry.
Apalagi sejak vaksinasi, terjadi peningkatan mobilitas masyarakat, peningkatan aktivitas ekonomi, dan peningkatan konsumsi pribadi. Bahkan bila dibandingkan tahun sebelumnya, investasi baik pada proyek infrastruktur nasional maupun tujuan korporasi mulai meningkat, di samping pertumbuhan ekspor yang masih kuat.
“Bagaimana dengan 2022? Faktor dasarnya relatif positif terhadap nilai tukar. Yang berarti inflasi masih rendah, pertumbuhan baik dan neraca pembayaran terjaga,” kata Perry.
Dengan sasaran inflasi sebesar 2% -1%, ekspektasi inflasi tetap terjaga karena penawaran agregat masih lebih tinggi dari pertumbuhan permintaan agregat.