Nilai tukar rupiah menunjukkan penguatan 18 poin dibandingkan hari sebelumnya, dari Rp 13.757 ke Rp 13.739. Hal itu berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar (JISDOR) BI.
Menurut Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Doddy Zulverdi, fluktuasi nilai tukar rupiah yang terjadi belakangan ini lebih dipengaruhi faktor eksternal, seperti munculnya data-data pertumbuhan ekonomi AS terkait inflasi dan upah buruh.
Faktor geopolitik mengenai pertemuan Presiden Donald Trump dengan pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, dan adanya perubahan salah satu kabinet di pemerintahan tersebut, juga menjadi faktor lainnya.
"Tentu kita berupaya tren positif ini bisa dipertahankan dan dapat kembali ke level yang aman dan kembali ke level fundamental rupiah kita," ujar Doddy, di Jakarta, Rabu (14/3).
Jika ada proyeksi dari lembaga di luar BI mengenai depresiasi rupiah yang dalam, masyarakat harus mengetahui kalau angka yang muncul hanya merupakan angka psikologis berdasarkan uji ketahanan (stress test).
Dengan kondisi fundamental Indonesia seperti sekarang. Berapapun angka psikologis yang muncul, nampaknya kecil kemungkinan akan terjadi.
Kendati demikian, BI akan terus berada di pasar uang sebab rupiah belum mencerminkan fundamental perekonomian Indonesia. Pada Februari lalu, cadangan devisa turun dari US$ 131,98 miliar menjadi US$ 128,06 miliar. Hal itu membuktikan bahwa BI melakukan stabilisasi rupiah dan penyediaan valas untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Posisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berada di kisaran Rp13.700 per dollar AS. Nilai tersebut sudah tidak mencerminkan fundamental perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, seharusnya nilai tukar rupiah terhadap dollar lebih kuat daripada saat ini. "Fundamental ekonomi Indonesia cukup positif," tukas Doddy.
Sejak 1 Maret hingga 14 Maret, kurs rupiah terdepresiasi sebesar 0,27% (month to date). Sementara jika dihitung sejak 1 Januari hingga 1 Maret 2018, rupiah terdepresiasi 1,5%.