close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Endy Dwi Tjahjono menyatakan, ketidakpastian global telah menyebabkan ekspor sejumlah negara anjlok. Alinea.id/Nanda Aria
icon caption
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Endy Dwi Tjahjono menyatakan, ketidakpastian global telah menyebabkan ekspor sejumlah negara anjlok. Alinea.id/Nanda Aria
Bisnis
Senin, 23 September 2019 19:41

BI waspadai ancaman perang devaluasi mata uang

Situasi perekonomian global kian rumit. Perang dagang belum menunjukan tanda-tanda akan berakhir bahkan berlanjut perang devaluasi.
swipe

Situasi perekonomian global kian rumit. Perang dagang belum menunjukan tanda-tanda akan berakhir. Sejumlah negara melakukan pelonggaran kebijakan moneter dan terancam masuk ke parang baru, yakni perang devaluasi mata uang.

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Endy Dwi Tjahjono menyatakan, ketidakpastian global telah menyebabkan ekspor sejumlah negara anjlok. 

Untuk itu, lanjutnya, sejumlah negara melakukan pelemahan terhadap nilai mata uangnya untuk dapat mendongkrak ekspor.

"Mencermati kondisi global yang memburuk dan kondisi dunia yang mengalami tekanan pertumbuhan, bank-bank sentral juga melakukan kebijakan yang lebih downbase tanpa menurunkan suku bunganya. Ini akan terjadi risiko perang devaluasi," katanya di acara Indonesia Economics Outlook Forum di Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (23/9).

Dia melanjutkan, langkah tersebut diambil sejumlah negara untuk mendorong daya saing masing-masing negara dalam perebutan jumlah ekspor dunia yang semakin menurun. 

Di sisi lain, ujar Endy, negara-negara tujuan impor tengah melakukan proteksionisme dengan membatasi masuknya produk dari negara lain.

"Masing-masing negara mencari selamat dengan melakukan proteksionisme. Ekspor kita mengalami kontraksi karena permintaan turun," ujarnya.

Di samping itu dari sisi neraca pembayaran Indonesia, lanjut Endy, terus mengalami pemburukan. Pada kuartal II-2019, neraca pembayaran Indonesia mengalami defisit sebesar US$8,4 miliar atau setara 3% dari produk domestik bruto (PDB).

"Ini sudah lampu merah sebenarnya. Kita harus segera menurunkan current account deficit," ucapnya.

Defisit neraca pembayaran tersebut, katanya, didorong oleh menurunnya pendapatan primer dan sekunder.

"Karena biasanya bulan Juni untuk orang bayar utang luar negeri, kemudian pembelanjaan dividen. Kemudian untuk membayar investasi yang dilakukan orang asing ke Indonesia itu harus dibayar, itu yang membuat kita defisit sangat besar," jelasnya.

Ia pun menuturkan current account deficit (CAD) atau defisit neraca transaksi berjalan adalah salah satu kendala besar yang harus diselesaikan terlebih dahulu, jika Indonesia ingin mendapatkan pertumbuhan di atas 5%. 

"Kalau kita ingin tumbuh di atas 5%, CAD harus diturunkan. Karena setiap kita  tumbuh di atas 5% itu CAD-nya juga meningkat lebih tinggi. Itu yang kemudian menyebabkan rupiah tertekan dan membuat BI harus menaikan suku bunga dan pada akhirnya pertumbuhan turun lagi," tuturnya.

img
Nanda Aria Putra
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan