close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Foto Pixabay.
icon caption
Ilustrasi. Foto Pixabay.
Bisnis
Sabtu, 16 Januari 2021 20:13

Biang kerok kenaikan tarif angkutan dan jeritan pelaku ekspor

Tarif angkutan (freight) dari Pelabuhan Tanjung Priok ke berbagai pelabuhan internasional naik rata-rata 600%. 
swipe

Negara-negara dunia masih berkutat dengan persoalan pandemi Covid-19. Di sisi lain, China pulih lebih cepat dengan mesin-mesin produksi yang mulai bergerak.

Roda perekonomian negeri tirai bambu tersebut mulai menggeliat, dengan tingkat produksi yang luar biasa besar dan memulai ekspansi ekspornya ke berbagai negara di belahan dunia.

Ekspor terbesar China justru mengalir ke negara adikuasa Amerika Serikat (AS) yang juga masih disibukkan dengan persoalan politik dalam negeri, di samping upaya keras pemerintahan Presiden Donald Trump menekan tingkat penularan Covid-19.

Tak tanggung-tanggung, berdasarkan data Reuters, China telah mengumumkan peningkatan ekspornya ke AS pada November 2020 yang mencapai 46% secara tahunan (year on year/yoy) dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Peningkatan ekspor China tersebut, telah menyedot ketersediaan kontainer di seluruh dunia, dan memicu kenaikan tarif angkutan barang (freight). 

Dalam laporan yang sama, disebutkan pelabuhan di Los Angeles pada Oktober 2020 mengalami peningkatan impor sebesar 27,3% (yoy), dan tertinggi sejak 114 tahun terakhir.

Hal senada juga terjadi di pelabuhan lainnya di AS, seperti Pelabuhan Port of Long Beach yang mencatat kenaikan impor hingga 19,4% (yoy), dan di Pelabuhan Houston yang mengalami kenaikan 22% (yoy).

Berdasarkan data dari Freightos Baltic Index (FBX), biaya angkut kontainer 40 kaki telah menyentuh angka US$3.764 per 8 Januari 2021. Biaya ini telah melonjak 142% dibandingkan dengan 10 Januari 2020 yang sebesar US$1.555.

Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok, Capt. Mugen Sartoto membenarkan terjadinya kenaikan tarif angkutan barang di pelabuhan sebesar 300% hingga 400% dari tarif sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Hanya saja, dia belum dapat memastikan besaran nominal dari kenaikan tarif angkutan tersebut.

"Dari sumber yang saya dapat dari Pelindo, memang betul mengalami kenaikan yang variatif, 300-an%. Nanti saya cek lagi tabelnya, tadi saya dapat," katanya saat dihubungi Alinea.id, Kamis (14/1).

Catatan Alinea.id, tarif pelayaran raksasa dunia (main line operator/MLO) mengalami kenaikan. Pada periode Desember 2020 hingga minggu kedua Januari 2021, tarif di Pelabuhan Tanjung Priok ke berbagai pelabuhan internasional tercatat naik rata-rata 600%. 

Untuk tujuan pelabuhan Shanghai, kenaikannya bahkan mencapai 2.500%. Hal itu terjadi pada kontainer ukuran 20 kaki, dari sebelumnya US$20 menjadi US$500 pada pekan kedua Januari 2021. 

Data kenaikan freight internasional.

Mugen menjelaskan, kenaikan tarif tersebut dipicu oleh peningkatan produksi industri di China dan masifnya ekspor dalam negeri ke berbagai negara di dunia, sehingga membutuhkan kontainer-kontainer yang banyak.

Penurunan produksi picu penumpukan kontainer 

Di sisi lain, tingkat produksi yang terganggu di sejumlah sentra-sentra produksi di berbagai dunia akibat pandemi Covid-19, telah menyebabkan pengapalan barang terhenti. sejumlah kontainer juga tertahan di pelabuhan-pelabuhan di negara tersebut. Akibatnya, ketersediaan kontainer yang siap memuat barang berkurang. 

Apalagi menurut laporan pusat data harga pengiriman dan logistik The Journal of Commerce (JOF), lebih banyak kapal yang bersandar di pelabuhan. Di saat bersamaan, terjadi kekurangan tenaga kerja di pelabuhan yang menyebabkan pengangkutan dan proses bongkar muat barang menjadi lebih lamban dari biasanya.

Berkurangnya ketersediaan kontainer, lanjut Mugen, telah mendorong terciptanya hukum supply dan demand. Tarif angkutan barang kemudian ditentukan oleh mekanisme pasar. Dengan mekanisme tersebut, para pengekspor dipaksa adu kuat untuk menawarkan harga yang lebih tinggi dari harga normal.

"Dengan adanya fenomena itu tinggal kuat-kuatan. Sekarang teman-teman pengekspor berani enggak bayar segitu, berani enggak rebutan dengan harga lebih tinggi? Jadi kalau dibilang enggak ada, ya ada, tapi memang ketika di sana itu berani bayar lebih mahal dari biasanya, ya MLO tinggal reposisi dari negara-negara sekitar ke sana," ujarnya.

Ilustrasi perdagangan. Foto Pixabay.

Segendang sepenarian dengan lonjakan tarif tadi, telah dimanfaatkan pula oleh perusahaan MLO untuk mengangkut kontainer-kontainer kosongnya di Tanjung Priok ke China, karena mampu menawarkan harga yang lebih tinggi.

"Kalau ndak (tidak) salah, saya dapat laporan di pelabuhan itu banyak juga perusahaan MLO yang reposisi, kontainer kosongnya di sini dibawa semua ke sana (China)," ucapnya.

Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Didi Sumedi mengamini terjadinya kenaikan tarif angkutan barang di Pelabuhan Tanjung Priok ke berbagai negara di dunia, akibat terjadinya penumpukan kontainer di negara-negara pengekspor.

Kenaikan tersebut, ucapnya, lebih disebabkan oleh kontraksi perdagangan dunia yang menyebabkan pengapalan barang berkurang dan memicu terjadinya evaluasi biaya transportasi. Sementara kontainer tak bergerak ke mana-mana, menumpuk di pelabuhan, seperti yang terjadi di pelabuhan di Singapura.

"Penumpukan artinya si kontainer enggak kemana mana, jadi langka di pelabuhan negara lain. Infonya penumpukan antara lain ada di Singapura," ucapnya kepada Alinea.id, Kamis (14/1).

Negara-negara dunia masih berkutat dengan persoalan pandemi Covid-19. Di sisi lain, China pulih lebih cepat dengan mesin-mesin produksi yang mulai bergerak.

Roda perekonomian negeri tirai bambu tersebut mulai menggeliat, dengan tingkat produksi yang luar biasa besar dan memulai ekspansi ekspornya ke berbagai negara di belahan dunia.

Ekspor terbesar China justru mengalir ke negara adikuasa Amerika Serikat (AS) yang juga masih disibukkan dengan persoalan politik dalam negeri, di samping upaya keras pemerintahan Presiden Donald Trump menekan tingkat penularan Covid-19.

Tak tanggung-tanggung, berdasarkan data Reuters, China telah mengumumkan peningkatan ekspornya ke AS pada November 2020 yang mencapai 46% secara tahunan (year on year/yoy) dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Peningkatan ekspor China tersebut, telah menyedot ketersediaan kontainer di seluruh dunia, dan memicu kenaikan tarif angkutan barang (freight). 

Dalam laporan yang sama, disebutkan pelabuhan di Los Angeles pada Oktober 2020 mengalami peningkatan impor sebesar 27,3% (yoy), dan tertinggi sejak 114 tahun terakhir.

Hal senada juga terjadi di pelabuhan lainnya di AS, seperti Pelabuhan Port of Long Beach yang mencatat kenaikan impor hingga 19,4% (yoy), dan di Pelabuhan Houston yang mengalami kenaikan 22% (yoy).

Berdasarkan data dari Freightos Baltic Index (FBX), biaya angkut kontainer 40 kaki telah menyentuh angka US$3.764 per 8 Januari 2021. Biaya ini telah melonjak 142% dibandingkan dengan 10 Januari 2020 yang sebesar US$1.555.

Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok, Capt. Mugen Sartoto membenarkan terjadinya kenaikan tarif angkutan barang di pelabuhan sebesar 300% hingga 400% dari tarif sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Hanya saja, dia belum dapat memastikan besaran nominal dari kenaikan tarif angkutan tersebut.

"Dari sumber yang saya dapat dari Pelindo, memang betul mengalami kenaikan yang variatif, 300-an%. Nanti saya cek lagi tabelnya, tadi saya dapat," katanya saat dihubungi Alinea.id, Kamis (14/1).

Catatan Alinea.id, tarif pelayaran raksasa dunia (main line operator/MLO) mengalami kenaikan. Pada periode Desember 2020 hingga minggu kedua Januari 2021, tarif di Pelabuhan Tanjung Priok ke berbagai pelabuhan internasional tercatat naik rata-rata 600%. 

Untuk tujuan pelabuhan Shanghai, kenaikannya bahkan mencapai 2.500%. Hal itu terjadi pada kontainer ukuran 20 kaki, dari sebelumnya US$20 menjadi US$500 pada pekan kedua Januari 2021. 

Data kenaikan freight internasional.

Mugen menjelaskan, kenaikan tarif tersebut dipicu oleh peningkatan produksi industri di China dan masifnya ekspor dalam negeri ke berbagai negara di dunia, sehingga membutuhkan kontainer-kontainer yang banyak.

Penurunan produksi picu penumpukan kontainer 

Di sisi lain, tingkat produksi yang terganggu di sejumlah sentra-sentra produksi di berbagai dunia akibat pandemi Covid-19, telah menyebabkan pengapalan barang terhenti. sejumlah kontainer juga tertahan di pelabuhan-pelabuhan di negara tersebut. Akibatnya, ketersediaan kontainer yang siap memuat barang berkurang. 

Apalagi menurut laporan pusat data harga pengiriman dan logistik The Journal of Commerce (JOF), lebih banyak kapal yang bersandar di pelabuhan. Di saat bersamaan, terjadi kekurangan tenaga kerja di pelabuhan yang menyebabkan pengangkutan dan proses bongkar muat barang menjadi lebih lamban dari biasanya.

Berkurangnya ketersediaan kontainer, lanjut Mugen, telah mendorong terciptanya hukum supply dan demand. Tarif angkutan barang kemudian ditentukan oleh mekanisme pasar. Dengan mekanisme tersebut, para pengekspor dipaksa adu kuat untuk menawarkan harga yang lebih tinggi dari harga normal.

"Dengan adanya fenomena itu tinggal kuat-kuatan. Sekarang teman-teman pengekspor berani enggak bayar segitu, berani enggak rebutan dengan harga lebih tinggi? Jadi kalau dibilang enggak ada, ya ada, tapi memang ketika di sana itu berani bayar lebih mahal dari biasanya, ya MLO tinggal reposisi dari negara-negara sekitar ke sana," ujarnya.

Ilustrasi perdagangan. Foto Pixabay.

Segendang sepenarian dengan lonjakan tarif tadi, telah dimanfaatkan pula oleh perusahaan MLO untuk mengangkut kontainer-kontainer kosongnya di Tanjung Priok ke China, karena mampu menawarkan harga yang lebih tinggi.

"Kalau ndak (tidak) salah, saya dapat laporan di pelabuhan itu banyak juga perusahaan MLO yang reposisi, kontainer kosongnya di sini dibawa semua ke sana (China)," ucapnya.

Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Didi Sumedi mengamini terjadinya kenaikan tarif angkutan barang di Pelabuhan Tanjung Priok ke berbagai negara di dunia, akibat terjadinya penumpukan kontainer di negara-negara pengekspor.

Kenaikan tersebut, ucapnya, lebih disebabkan oleh kontraksi perdagangan dunia yang menyebabkan pengapalan barang berkurang dan memicu terjadinya evaluasi biaya transportasi. Sementara kontainer tak bergerak ke mana-mana, menumpuk di pelabuhan, seperti yang terjadi di pelabuhan di Singapura.

"Penumpukan artinya si kontainer enggak kemana mana, jadi langka di pelabuhan negara lain. Infonya penumpukan antara lain ada di Singapura," ucapnya kepada Alinea.id, Kamis (14/1).

Negosiasi ulang

Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno menuturkan, akibat dari kenaikan biaya angkutan ini, pengusaha ekspor harus melakukan negosiasi harga ulang.

"Kami juga harus mencari titik tengah, di mana kenaikan biaya angkut dibagi dua antara pengekspor dan importir," tutur Benny saat dihubungi, Kamis (14/1).

Benny melanjutkan, pengusaha ekspor berharap kepada pemerintah agar bisa memberikan keringanan biaya di pelabuhan. 

Namun, pemerintah tak bisa ikut campur karena kenaikan biaya angkutan diatur oleh pasar. Mugen mengatakan pemerintah tidak mampu mengintervensi mekanisme pasar.

Apalagi, Mugen menyebut, industri dalam negeri tidak memiliki posisi tawar yang besar karena tingkat produksi dan ekspor yang rendah dibandingkan negara lain.

"Wong sekarang MLO itu kapal asing, bagaimana pemerintah mau mengintervensi dengan kewenangan?  Enggak bisa. Mau subsidi? Kami mau subsidi berapa untuk pengekspor? Kalau saya pribadi subsidi pengekspor itu sangat naif," kata dia.

Belum lagi, kemampuan untuk membayar atau willingness to pay para pengekspor di Indonesia dinilai sangat rendah. Menurut Mugen, para pengekspor belum siap untuk bersaing dengan negara lain karena masih kerap menunda-nunda pengiriman barang.

"Willingness to pay dari pengekspor itu masih sangat rendah. kalau enggak betul-betul menguntungkan dan enggak dikejar waktu, masih ditunda-tunda. Nah istilahnya kalah bersaing," ujarnya.

Mugen menyebut, kenaikan tarif freight seharusnya bisa menjadi pendorong industri dalam negeri untuk memproduksi kontainer sendiri serta meningkatkan produksi produk-produk berkualitas ekspor. Jika produk ekspor Indonesia meningkat, kapal-kapal pengangkut barang disebut akan masuk ke Indonesia, tanpa adanya intervensi pemerintah.

"Menjadi lucu jika di saat industri dalam negeri belum memiliki pijakan yang kuat, lalu pemerintah mengintervensi perusahaan MLO internasional," kata Mugen. Apalagi, lanjutnya, sebelumnya pemerintah harus bekerja ekstra keras untuk memasukkan kapal-kapal besar tersebut agar mau berlabuh di Indonesia,

"Wong kami menyuruh kapal gede masuk saja dengan merayu-rayu. Sulit. Yang jelas kapal itu driven by market. Kalau diintervensi jadi lucu nanti, kami jadi terlihat menggarami lautan. Memang negara harus hadir, cuma hadirnya di mana?," tuturnya.

img
Annisa Saumi
Reporter
img
Nanda Aria Putra
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan