Pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) nasional menjadi salah satu sektor usaha yang paling terdampak dari Pandemi Covid-19. Dari 64 juta pelaku UMKM, menurut Asian Development Bank (ADB) sebanyak 50% terancam gulung tikar. Selain itu, sebanyak 88% sudah tidak memiliki tabungan.
Asisten Deputi Pengembangan Kawasan dan Rantai Pasok Kementerian Koperasi dan UKM Ari Anindya Hartika menjelaskan, persoalan yang dihadapi UMKM di masa pandemi tidak hanya mengenai permodalan. Melainkan juga seperti pemasaran atau penjualan, ketersediaan bahan baku, hingga persoalan logistik yang mahal ketika mendapatkan pesanan.
Dari catatannya, sebanyak 22,90% UMKM mengalami masalah penurunan penjualan. Kemudian sebanyak 20,01% mengalami persoalan distribusi logistik dan ketersediaan bahan baku. Isu permodalan dialami oleh sekitar 19,39% UMKM.
Sementara, sektor yang paling terdampak yaitu pedagang besar dan eceran 40,92%, penyedia akomodasi dan makanan dan minuman 26,86%. Adapun sektor pengolahan yang terdampak sebanyak 14,25%.
"Jadi persoalan lain yang utama itu, masih ada beberapa pelaku UMKM yang bergantung bahan baku impor. Sementara, ongkos logistiknya mahal di saat yang sama terjadi penurunan daya beli masyarakat," kata Ari dalam siaran pers Supply Chain Indonesia (SCI), Rabu (24/2).
Menanggapi biaya logistik tersebut, Chief Commercial Officer SiCepat Ekspress Imam Sedayu, tidak memungkiri selama ini biaya logistik yang mahal menjadi persoalan bagi kebanyakan UMKM.
Pihaknya sendiri sejak tahun lalu telah meluncurkan layanan HALU, dengan biaya paket mulai Rp5.000 untuk membantu UMKM. Layanan ini menjamin pengiriman ke seluruh wilayah di Indonesia dengan rentang pengiriman paket sama dengan kelas reguler.
"Kami kerja sama dengan beberapa platfrom, agar kami punya jasa dengan biaya murah. Kami juga belum lama ini meluncurkan layanan kargo kilat (Gokil) dengan tarif mulai Rp25.000 per 10 Kg," tutur dia.
Sementara itu, Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi mengatakan, perlu ada upaya khusus agar skala ekonomi UMKM bisa ditingkatkan. Pasalnya, ketika pengiriman produk masih bersifat mandiri, hal itu yang menyebabkan biaya logistik mahal.
"Dengan keterbatasan volume produksi dan sebagainya, sehingga tidak mampu memenuhi skala ekonomi, maka sulit bagi UMKM bisa berdaya saing dengan produk luar negeri. Jadi skala ekonomi harus dipecahkan karena jika tidak bisa diselesaikan, mereka akan kalah saing," ujar dia.
Untuk itu, dia berharap nantinya akan ada sebuah sistem terpadu yang dibangun pemerintah seperti supply chain center. Dengan keberadaan sistem terpadu tersebut, menurutnya biaya logistik, biaya pengadaan bahan baku, biaya produksi, hingga inventory bisa ditekan dan lebih hemat.
Pada akhirnya, kata dia, keberadaan supply chain akan mampu mendorong penurunan harga produk UMKM dengan tanpa mengabaikan kualitasnya.