close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi biaya pendidikan. Foto Freepik.
icon caption
Ilustrasi biaya pendidikan. Foto Freepik.
Bisnis
Selasa, 30 Januari 2024 19:48

Biaya pendidikan tinggi dalam pusaran pinjol

Kebijakan pembayaran uang sekolah melalui skema pinjol menuai kontra. Apa risikonya?
swipe

Senin (30/1), ratusan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) menggelar demonstrasi untuk menuntut pencabutan kebijakan pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) melalui skema pinjaman online (pinjol). Sayangnya, setelah beberapa perwakilan Kabinet Keluarga Mahasiswa (KM) ITB diundang berdialog dengan beberapa petinggi rektorat, tak ada hasil dari polemik ini.

Ketua KM ITB Muhammad Yogi Syahputra bilang, setelah memasuki ruang diskusi, perwakilan mahasiswa hanya sempat menyampaikan tuntutan dan mereka kepada pihak rektorat dan membacakan rilis pers saja, tanpa sempat bernegosiasi.

Alasan para petinggi rektorat yang hadir dalam dialog tidak membuka ruang negosiasi ialah karena mereka harus segera menghadiri rapat lainnya. Tidak hanya itu, rektorat pun sudah memiliki solusi terkait masalah ini.

“Solusinya pun tak pernah dibahas,” imbuh dia, saat dikonfirmasi Alinea.id, Senin (29/1).

Sementara itu, menurut mahasiswa Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan itu, tuntutan yang dilayangkan oleh mahasiswa-mahasiswa ITB tidak hanya semata-mata untuk memperjuangkan nasib 206 teman mereka yang terancam tidak bisa kuliah karena menunggak pembayaran UKT. Melainkan juga untuk memperjuangkan penghapusan komersialisasi pendidikan.

“Batas waktu pembayaran UKT dan pengisian FRS terakhir hari ini. Sekarang, setelah dibilang rektorat kemarin, ternyata ada 206 (teman) yang terancam tidak bisa kuliah. Solusinya, mereka harus mengajukan cuti kuliah atau mengajukan pinjaman online,” jelas Yogi.

Pinjaman online yang ditawarkan oleh kampus adalah melalui platform fintech lending Danacita, dengan besaran pinjaman sebesar Rp12,5 juta dan bunga 20%. Meski pembayaran dapat dicicil selama 12 bulan, namun hal ini justru lebih memberatkan mahasiswa, apalagi, UKT yang harus dibayarkan justru kebanyakan lebih kecil ketimbang jumlah pinjaman yang ditawarkan.

Menanggapi polemik ini, Ketua Dewan Komisaris Otoritas Jasa Keauangan (OJK) Mahendra Siregar menilai, masalah pantas atau tidaknya pembayaran UKT menggunakan pinjaman online, tergantung kemampuan dan kemauan masing-masing mahasiswa. Meski begitu, sebagai regulator, OJK telah memanggil Danacita.

“Kami sebagai regulator telah memanggil Danacita untuk mendalami apakah ada hal-hal yang dilanggar terkait proses penetapan pihak yang dapat diperkenankan untuk mendapat pinjaman dan apakah ada hal-hal yang dilanggar berkaitan langkah-langkah dari pengembalian utang itu,” kata dia dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Selasa (30/1).

Mahendra mengakui, kalau ada kerja sama antara Danacita dengan ITB terkait penyaluran pinjaman biaya kuliah. Tidak hanya itu, perusahaan pinjol yang dipimpin oleh Alfonsus Dwianto Wibowo itu juga menjalin kerja sama serupa dengan banyak universitas lainnya, dan untuk menjalankan kerja sama ini, perusahaan yang telah resmi terdaftar di OJK, tidak memerlukan perizinan khusus dari regulator.

Namun, OJK tetap meminta Danacita untuk tetap memperhatikan dan menjalankan dengan baik seluruh proses kehati-hatian dan transparansi dalam penyalurannya pinjaman. Selain itu, yang paling penting, perusahaan peer to peer (P2P) lending dapat terus meningkatkan edukasi kepada mahasiswa mengenai hak, kewajiban dan risiko konsumen.

“Termasuk juga mengetengahkan aspek perlindungan konsumen,” tegas dia.

Picu kredit macet

Penelusuran Alinea.id, ITB bukan satu-satunya perguruan tinggi yang bekerja sama dengan perusahaan pinjol untuk memberikan pinjaman biaya UKT kepada mahasiswanya. Danacita misalnya, perusahaan yang memiliki fokus penyaluran pinjaman biaya kuliah, kursus dan pendidikan ini telah bekerja sama dengan universitas-universitas seperti Universitas Bina Sarana Informatika (BSI), Universitas Presiden (UP), Universitas Nusa Mandiri (UNM), Institut Teknologi PLN (IT PLN), Universitas Tarumanegara (Untar), Universitas Pembangunan Jaya (UPJ), Universitas Ciputra (UC), Universitas Paramadina, Sampoerna University.

Kemudian, ada pula Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran, Universitas Negeri Semarang, Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Surakarta, dan lain sebagainya. Dari segi pinjaman, Danacita mematok bunga sebesar 1,75% per bulan dan biaya persetujuan 3% dalam memberikan pinjaman untuk pembayaran UKT.

Direktur Ekonomi Digital Center of Ecenomic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai, selain memberatkan mahasiswa, pinjaman online yang diberikan untuk pembayaran UKT justru akan memicu pertumbuhan kredit macet.

“Karena, biasanya yang membutuhkan pinjaman ini adalah mahasiswa dengan kemampuan ekonomi kurang. Padahal, kalau pinjol harus dibayarnya tiap bulan,” ujar Huda, saat dihubungi Alinea.id, Selasa (30/1).

Tidak hanya itu, Huda juga khawatir, jika pinjaman online digunakan oleh mahasiswa tanpa pengawasan orang tua. Karena itu, alih-alih pemberian pinjaman online untuk biaya kuliah, Huda menyarankan agar pemerintah memfasilitasi pinjaman mahasiswa atau student loan dengan dana Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Hal ini pun diamini Pengamat Pendidikan Doni Koesoema. Menurutnya, student loan dari dana LPDB atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) lebih ringan bagi mahasiswa. Karena pembayaran utang biaya pendidikan dapat dibayarkan ketika mahasiswa sudah lulus kuliah dan bekerja.

“Kalau mahasiswa enggak bisa kuliah karena biaya, terus ditawari pinjol, itu enggak bener. Pemerintah harus turun tangan untuk mengatasi masalah ini,” katanya, kepada Alinea.id, Selasa (30/1).

Di sisi lain, menurut Doni, tidak seharusnya universitas membuka kerja sama dengan perusahaan pinjaman online untuk pemenuhan akses biaya pendidikan tinggi. Sebab, kebijakan ini bisa mereduksi persoalan akses pendidikan tinggi yang sampai saat ini masih belum inklusif.

“Seharusnya, kampus bisa berdialog dengan Kemendikbudristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi). Setelah itu, mereka bisa meneruskan dialog ini dengan Kemenko (Kementerian Koordinator Bidang) PMK (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) untuk mencari alternatif pembiayaan lain,” lanjutnya.

Terpisah, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal (Plt Dirjen) Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi (Diktiristek) Nizam telah meminta rektor ITB untuk mencari alternatif pembiayaan lain, selain pinjol. Sebab, menurutnya, baik pemerintah maupun pihak universitas itu sendiri memiliki visi sama, yakni menyediakan pendidikan tinggi yang berkualitas dan inklusif.

“Jadi, jangan sampai nanti mahasiswa malah terjerat utang karena utang yang nilainya di atas kemampuan mereka,” tutur Nizam.

Perluasan fungsi LPDP

Sementara itu, dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan, pihaknya kini sedang mengkaji perluasan fungsi LPDP untuk pemberian pinjaman biaya pendidikan kepada mahasiswa. Wacana ini disiapkan menyusul semakin tingginya kebutuhan biaya pendidikan kepada para mahasiswa.

Meski begitu, sebelum meluncurkan student loan, pemerintah perlu waspada dengan risiko yang mungkin ditimbulkan oleh skema pembiayaan ini. Seperti yang kini tengah terjadi di negara-negara maju misalnya, student loan justru menimbulkan kerugian jangka panjang bagi negara.

“Kami sebetulnya sedang membahas, di dalam Dewan Pengawas LPDP. Meminta LPDP melakukan develop yang namanya student loan. Tapi kami juga waspada, di negara maju seperti Amerika, itu sudah dilakukan dan menimbulkan masalah jangka panjang,” kata Sri Mulyani.

Kini, LPDP sedang membahas wacana ini bersama perbankan tentang bagaimana skema pembiayaan ini tidak akan memberatkan mahasiswa dan tetap memberikan afirmasi kepada mahasiswa kurang mampu. Namun di sisi lain, tidak menimbulkan moral hazard bagi industri keuangan maupun pemerintah.

“Itu semua kombinasi yang harus kami capture dalam desainnya. Saat ini LPDP sedang membahasnya untuk kemudian bisa kami sampaikan dan kami putuskan di dalam Dewan Pengawas,” lanjut dia.

Menurut Sri Mulyani, pemberian bantuan pendidikan ini penting untuk mewujudkan mimpi Indonesia sebagai negara maju, yang identik dengan sumber daya manusia (SDM) berkualitas baik.

“Maka, kita juga harus fokus pada upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk perwujudan sumber daya manusia, khususnya dari sisi pendidikan,” tukasnya.

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan