Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tengah menyiapkan sistem big data untuk rantai pasok industri jasa konstruksi nasional yang disesuaikan dengan Revolusi Industri 4.0.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan hal ini dilakukan untuk meningkatkan kompetensi di bidang jasa konstruksi. Sehingga, Indonesia bisa bersaing secara global.
“Dalam era kompetisi yang sangat terbuka ini, bukan proteksi yang diutamakan, tapi kompetensi khususnya di bidang konstruksi. Untuk memenangkan kompetisi global, kita harus lebih cepat, lebih murah dan lebih baik,” kata Basuki dalam keterangan resmi yang diterima Alinea.id di Jakarta, Jumat (22/2).
Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Dewi Chomistriana menyatakan sistem informasi jasa konstruksi yang terintegrasi sudah diamanatkan dalam UU 2/2017 tentang Jasa Konstruksi.
Dewi mengungkapkan big data ini nantinya akan menyediakan data yang dibutuhkan di seluruh tahapan penyelenggaraan konstruksi, mulai dari perencanaan, pelelangan, konstruksi, pengoperasian dan pemeliharaan.
“Sekarang banyak sistem informasi yang masih tersegmentasi dan sedang kami integrasikan. Salah satunya adalah data terkait tenaga kerja konstruksi yang akan berkembang dengan mekanisme sertifikasi digital,” kata Dewi.
Dewi juga menyebut Kementerian PUPR akan menggandeng Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri agar seluruh data tenaga kerja konstruksi terakses dalam data kependudukan.
Jika sistem ini sudah beroperasi, pada saat pelelangan (tender) proyek, penyedia jasa tidak perlu lagi menyertakan data-data tenaga ahlinya. Perusahaan jasa konstruksi cukup menggunakan Nomor Induk Kepegawaian (NIK), maka data-data yang dibutuhkan bisa diakses oleh Pokja Pengadaan Barang dan Jasa.
Selain itu, tenaga ahli yang boleh mengikuti lelang hanya yang teregistrasi dan telah melalui proses validasi. Dengan demikian, akan meminimalkan tenaga ahli yang menggunakan NIK dan sertifikat keahlian palsu.
Selain data tenaga kerja, Kementerian PUPR juga tengah mengumpulkan data alat berat dan material konstruksi dalam Sistem Informasi Material dan Peralatan Konstruksi (SIMPK).
“Karena jumlahnya yang banyak, kami lakukan secara bertahap. Ke depan, alat berat yang boleh digunakan untuk pekerjaan konstruksi hanya alat berat yang sudah teregistrasi dan sudah diuji layak fungsinya,” ujarnya.
Untuk menggarap program ini, kata Dewi, tantangannya adalah mengintegrasikan data tenaga kerja, material dan alat berat tersebut, termasuk dengan Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE).
“Keberhasilan pengintegrasian data tentunya membutuhkan keterlibatan para penyedia jasa, vendor, tenaga kerja konstruksi dalam pengisian dan pembaharuan data,” katanya.