close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.
Bisnis
Kamis, 08 April 2021 09:00

Sempat anjlok, bisnis pesan-antar makanan kini berjaya di era Corona

Moncernya bisnis pengantaran makanan membuat sektor ini dilirik pengusaha sektor logistik.
swipe

Jasa pengantaran makanan menjadi salah satu jenis bisnis yang tak mati meski dihantam pagebluk Covid-19. Kinerja bisnis yang sempat anjlok akibat isu kesehatan kini justru berbalik makin cemerlang dibanding tahun-tahun sebelumnya. 

Bagaimana tidak? Sejak virus SARS-C0V-2 masuk ke Tanah Air pada 2 Maret 2020 lalu, pemerintah langsung memutuskan untuk menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dengan aturan itu, mobilitas masyarakat praktis dibatasi. 

Secara bersamaan, Presiden Joko Widodo juga menginstruksikan kepada seluruh warung makan dan restoran untuk menutup sementara layanan makan di tempat atau dine in. Kondisi ini mendorong jasa pengantaran makanan menjadi satu-satunya pilihan bagi masyarakat yang ingin membeli makanan di luar.

Hingga kini, bisnis jasa pengantaran makanan masih didominasi oleh Gojek dan Grab. Peningkatan kinerja jasa pengantaran makanan itu pun terlihat dari pendapatan layanan pesan antar makanan Gojek.

Fitur GoFood mengalami kenaikan hingga 20 kali lipat selama empat tahun terakhir. Transaksi bruto (Gross Merchandise Value/GMV) Gojek hingga akhir tahun lalu bahkan mencapai US$2 miliar atau sekitar Rp28 triliun hingga akhir tahun lalu.

Begitu juga dengan dekakorn pesaingnya, Grab. Perusahaan asal Singapura itu bahkan dapat mencatatkan GMV lebih besar yakni mencapai US$5,9 miliar atau sekitar Rp83 triliun melalui GrabFood sepanjang 2020. 

“Jasa pesan-antar makanan menyumbang 50% ke pendapatan. Dengan ini, pemulihan bisnis kami terus berlanjut. Dengan pendapatan grup pada kuartal-III naik 95% dibandingkan posisi sebelum Covid-19,” kata Presiden Grab Ming Maa, Oktober lalu, seperti dikutip Reuters.

Peningkatan pendapatan membuat startup jumbo itu menjadi penyumbang hampir setengah dari total GMV jasa pengantaran makanan di Asia Tenggara. Adapun kontribusi Indonesia dalam bisnis ini secara total menjadi yang terbesar di kawasan regional, yakni mencapai US$3,7 miliar.

Mitra pengemudi GrabFood mengenakan masker saat mengantarkan pesanan makanan di jalanan Jakarta, Juli 2020. Foto Reuters/Ajeng Dinar Ulfiana.

Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi menguraikan, meningkatnya transaksi GrabFood disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, masyarakat telah terbiasa menggunakan layanan online selama pandemi. Kebiasaan tersebut membuat mitra penjual (merchant) lebih mudah menggaet pelanggan. 

“Ini akan terus tumbuh dan sifatnya jangka panjang,” kata dia, kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.

Kedua, banyaknya konsumen yang memasak di rumah untuk keamanan dan kebersihan makanan jelas memberikan tantangan tersendiri bagi perusahaan. Karena itulah Grab menerapkan berbagai inisiatif untuk memperkuat layanan protokol kesehatan dalam layanan pengantaran makanan. 

“Diantaranya berupa pengantaran tanpa kontak, pernyataan kesehatan mitra pengantar, hingga kemasan yang terkunci rapat,” tegas dia.

Selanjutnya, Grab juga mencari celah dari tren konsumen yang mencari produk dengan harga miring. Karenanya, untuk menarik minat konsumen, Grab telah mengeluarkan paket hemat, yang diberi nama ‘Hematlicious’.

Beda lagi dengan aplikasi karya anak bangsa, Gojek. Untuk menarik minat dan meyakinkan konsumen akan keamanan dan kebersihan makanan, dekakorn ini telah menyediakan fitur contactless delivery, GoFood PickUp dan bundle untuk keluarga. 

Hingga akhir 2020, masing-masing layanan tersebut mencatatkan kenaikan pengguna sebanyak 5 kali lipat untuk contactless delivery, 30 kali lipat untuk layanan GoFood PickUp dan 40% dari total transaksi GoFood untuk layanan bundle keluarga.

Mitra pengemudi menunggu pembayaran pesanan makanan dengan Go-Pay di Go-Food Festival, Jakarta, Oktober 2018. Foto Reuters/Beawiharta.

“Kontribusi ini menunjukkan GoFood semakin menjadi andalan untuk dipesan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari seluruh anggota keluarga,” kata Vice President (VP) of Corporate Communication Gojek Audrey Progastama Petriny melalui pesan singkat, kepada Alinea.id, Selasa (30/3).

Selain itu, sejak Juli lalu Gojek juga telah menerapkan protokol kesehatan ketat dengan menerapkan program Jaga Kesehatan, Kebersihan dan Keamanan atau J3K kepada seluruh ekosistem Gojek, baik mitra pengemudi, mitra dagang hingga konsumen.

Khusus untuk layanan GoFood, Jaga Kesehatan diterapkan kepada mitra driver dan pedagang agar wajib melakukan pengecekan suhu. Sedangkan Jaga Kebersihan yang diberlakukan untuk layanan pesan-antar makanan ini adalah dengan mewajibkan mitra usaha untuk menjaga kebersihan. 

“Prosedur Jaga Keamanan juga sangat dioptimalkan untuk layanan GoFood, mulai dari dihadirkannya layanan GoFood PickUp hingga pengantaran tanpa kontak fisik,” imbuhnya.

Kinerja sempat anjlok

Pada kesempatan terpisah, Wakil Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto mengatakan, penerapan protokol kesehatan itu merupakan buntut dari isu terkait risiko penularan virus Covid-19 pada makanan pesan-antar. Bahkan, dengan adanya berita tersebut, kinerja bisnis layanan pengantaran makanan sempat anjlok pada Maret hingga April tahun lalu. 

“Karena dengan adanya isu itu, membuat konsumen bertanya-tanya, makanan dari pesan antar itu bersih atau enggak? Gimana penanganannya? Dan sebagainya,” urainya, kepada Alinea.id, melalui sambungan telepon, Senin (5/4). 

Untungnya, kinerja buruk itu tak bertahan lama. Setelah munculnya isu tersebut, asosiasi-asosiasi logistik, termasuk ALI melakukan pertemuan dengan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 untuk membahas  protokol kesehatan pada bisnis pengantaran makanan.

Tujuannya tak lain untuk kembali membangkitkan keyakinan konsumen. Layanan pesan-antar makanan dipastikan dapat memenuhi standar kebersihan dengan diberlakukannya syarat-syarat tertentu.

“Yang paling penting adalah mengurangi kontak fisik antara driver dengan konsumen. Di restoran kebersihan makanan sampai pengemasan juga sudah dijamin,” imbuhnya.

Mahendra bilang, setelah protokol kesehatan diberlakukan, bisnis ini langsung kembali melejit dalam waktu singkat. Bahkan menurutnya, hingga akhir 2020 delivery food service telah mencatatkan kenaikan setidaknya 40% dibandingkan tahun sebelunya. 

Mitra pengemudi Gojek menjalani pengecekan suhu tubuh. Foto Antara/Edwin Dala.

Pandemi Covid-19 yang belum juga usai, menurutnya, akan membuat kinerja positif sektor ini terus berlanjut hingga tahun ini. Tidak hanya itu, manisnya bisnis jasa pengantaran makanan membuat sektor ini dilirik pengusaha sektor lain.

Pengusaha logistik yang menghadapi kelesuan pun tertarik untuk menjajal bisnis jasa antar makanan. Maka tak heran, jika akhir-akhir ini semakin banyak platform pengantaran makanan baru bermunculan. 

“Coba liat aja, e-commerce besar seperti Shopee sekarang juga terjun ke bisnis ini. Lalu terbaru ada dari Air Asia, meski belum masuk ke Indonesia. Paling banyak jasa kurir yang saat ini juga ke makanan,” jelas dia.

Batas bawah tarif

Banyaknya platform-platform pengantaran yang bermunculan tentu saja membuat persaingan bisnis di sektor ini semakin ketat. Karena itu, Mahendra meminta pemerintah untuk menerbitkan aturan khusus terkait jasa pengantaran makanan. 

Kata Mahendra, setidaknya ada dua aturan inti yang harus segera diterbitkan Presiden Jokowi. Pertama, menerbitkan aturan tentang food safety suply chain atau keamanan rantai pasok makanan. Dengan aturan ini pemerintah harus mengatur seluruh proses penyediaan makanan.

Mulai saat makanan atau minuman tersebut masih berupa bahan pokok, hingga makanan atau minuman sudah disajikan di atas meja makan. Dengan  begitu, keamanan makanan dan minuman dari bisnis pesan-antar pun dapat terjamin.

“Jadi, kalau misalkan daging, ya dari dia masih berbentuk sapi, kemudian disembelih, sudah dimasak, sampai bisa disantap. Itu harus diatur semua keamanannya,” ujar dia. 

Selanjutnya, pemerintah juga harus menerbitkan aturan tentang batas bawah tarif pengiriman makanan. Hal ini untuk menghindari adanya satu perusahaan yang mendominasi pasar di tengah banyaknya pemain. Bukan tidak mungkin, ada satu perusahaan yang memasang tarif pengantaran makanan jauh lebih murah daripada perusahaan jasa pesan-antar makanan lainnya.

“Lebih parah lagi kalau perusahaan yang mendominasi pasar itu perusahaan luar negeri. Bisa habis kita,” tegas Mahendra.

Padahal, jika dimaksimalkan, kontribusi jasa pengantaran makanan bagi perekonomian Indonesia akan sangat besar. Menurut data Momentum Works, layanan pesan-antar makanan nasional hanya sebesar 1% dari pasar layanan makanan saja. Seharusnya, pada 2019 lalu pasar layanan makanan Tanah Air dapat mencapai US$6 miliar. 

“Walau hal ini menggambarkan ruang pertumbuhan yang signifikan bagi perusahaan layanan pesan-antar makanan di Indonesia, fakta ini juga mencerminkan kurangnya kesiapan pasar dalam mengadopsi layanan pesan-antar makanan di kota-kota tier kedua dan ketiga,” kata Chief Excecutive Officer Momentum Work Jianggan Li dalam konferensi virtual, Kamis (28/1) lalu. 

Dia menambahkan pendapatan rumah tangga dan angka belanja konsumen untuk layanan makanan dan minuman di Indonesia juga termasuk yang terendah di kawasan Asia Tenggara. Pasalnya, infrastruktur di Indonesia memiliki kesenjangan antara satu kota dengan kota lainnya.

Akibat dari keterbatasan faktor-faktor penunjang ini, para penyedia layanan pesan-antar makanan harus memiliki perencanaan jangka panjang saat berinvestasi di Indonesia. Dus, perusahaan pengembang layanan pesan-antar makanan dapat tumbuh di tengah keterbatasan tersebut. 

Menurutnya, perusahaan dapat menerapkan sejumlah strategi potensial seperti meningkatkan volume transaksi segmen konsumen kelas menengah ke atas. Perusahaan juga bisa menekan biaya layanan pesan-antar makanan untuk mengimbangi harga makanan dan nilai pesanan yang rendah. 

Selain itu, perusahaan juga dapat meningkatkan literasi digital, supaya restoran atau rumah makan skala kecil dengan sumber daya dan kemampuan terbatas dapat mengadopsi layanan pengiriman makanan. 

“Berinvestasi dalam infrastruktur yang diperlukan untuk mendorong adopsi layanan pesan antar makanan di kota-kota tier 2 dan 3,” kata dia. 

Menjawab pertanyaan itu, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rudy Salahuddin mengatakan, saat ini pemerintah bersama dengan asosiasi-asosiasi sedang mengembangkan Strategi Nasional (Stranas) Ekonomi Digital. Hal ini tak lain dilakukan untuk mendorong perkembangan ekonomi digital dan digitalisasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

“Stranas ekonomi diginal ini ada empat pilar, talenta digital, riset dan inovasi, infrastruktur fisik dan digital, serta regulasi dan kebijakan yang mendukung. Ini sedang kita kembangkan supaya bisa mendorong layanan pesan-antar di daerah,” ujarnya, kepada Alinea.id, Rabu (7/4).

Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.
 

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan