PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) mencatat laba bersih sebesar Rp7,63 triliun pada semester I-2019. Laba bersih ini tumbuh sebesar 2,7% dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp7,44 triliun.
"Kenaikan tipis laba bersih ini karena tertekan oleh interest expense yang tercermin dari cost of fund yang meningkat menjadi 3,2% di paruh pertama 2019 dari 2,8% pada periode yang sama tahun lalu," kata Direktur BNI Anggoro Eko Cahyo dalam paparan publik di Jakarta,
Anggoro mengatakan non interest income atau fee based income BNI pada semester I-2019 tumbuh 11,6% (yoy). Sebesar 96,5% Non Interest Income BNI ditopang oleh recurring fee yang mencatatkan pertumbuhan 16,6% YOY, menjadi Rp5,2 triliun. Pertumbuhan ini berkontribusi sebesar 21,6% terhadap total operating income BNI pada semester I-2019.
Kenaikan non interest income BNI pada semester I-2019 didorong oleh kontribusi fee dari segmen business banking, antara lain fee dari trade finance yang tumbuh 15,8%, fee sindikasi yang tumbuh 76,5% dan fee bank garansi yang tumbuh 1,3%.
Kemudian sisa pertumbuhan tersebut didorong dari bisnis consumer & retail antara lain fee pengelolaan kartu debit dengan pertumbuhan 65,3%, dan fee bisnis kartu yang tumbuh 12,9%.
Selain non interest income, BNI juga mencatat pendapatan bunga bersih Rp17,45 triliun pada semester I-2019 dari, atau naik sebesar 1% dari periode yang sama tahun lalu.
Sementara, dari sisi kualitas aset, NPL Gross BNI tercatat membaik menjadi 1,8% pada semester I-2019 dari periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar 2,1%.
Credit cost juga menunjukkan perbaikan dengan turun dari 1,7% pada Semester I 2018 menjadi 1,4% pada semester I-2019. Sementara coverage ratio terus meningkat dari 150,2% di Semester I 2018 menjadi 156,5% pada akhir Semester I 2019.
Kredit tumbuh
Sementara itu, BBNI mencatatkan pertumbuhan kredit sebesar 20% year on year (yoy) menjadi Rp549,23 triliun pada semester I-2019, dari Rp457,81 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
Anggoro mengatakan pertumbuhan kredit BNI didorong pembiayaan korporasi yang mencapai 51,9% dari total portfolio kredit BNI. Fokus pembiayaan korporasi ini, kata Anggoro, terletak pada sektor-sektor unggulan yang memiliki risiko relatif rendah seperti sektor manufaktur, perdagangan, restoran dan hotel, serta jasa dunia usaha.
"Hal ini sejalan dengan strategi yang telah ditetapkan BNI, yaitu menjaga komposisi kredit korporasi dalam kisaran 50% hingga 55% dari total kredit," kata Anggoro.
Adapun kredit korporasi BNI tersalurkan pada korporasi swasta dan BUMN, yang masing-masing tumbuh 27,8% dan 24,9% (yoy).
Anggoro melanjutkan, kredit yang dialirkan pada segmen usaha kecil juga mencatatkan pertumbuhan yang baik yaitu 21,5% (yoy), termasuk di dalamnya penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sementara, untuk kredit segmen menengah tetap dijaga pertumbuhannya secara moderat yaitu sebesar 7,6% (yoy).
Sementara, pada segmen konsumen, Kredit Tanpa Agunan berbasis payroll masih menjadi kontributor utama pertumbuhan sebesar 12,8% (yoy).
"Untuk mortgage dan credit card masih mencatatkan pertumbuhannya itu masing-masing sebesar 8,9% dan 4% (yoy)," ujar Anggoro.
Adapun Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh 13% secara YOY, dari Rp526,48 triliun pada semester I-2018 menjadi Rp595,07 triliun pada semester I-2019. Anggoro mengatakan BNI juga mampu menjaga rasio dana murah yang ditunjukkan dari komposisi CASA yang mencapai 64,6% dari total DPK.