Bola liar wacana ekspor benih lobster dan usaha pembudidayaan
Sore itu, Cuncun Setiawan tengah sibuk memantau kolam lobster miliknya. Cuncun merupakan pengusaha lobster air tawar. Ia membudidayakan lobsternya di tempat, yang ia namakan Bintaro Fish Center Mini Farm. Ia menjadikan tempat ini sebagai lokasi wisata edukasi agrobisnis.
Di tempat seluas 4.000 meter persegi ini, terdapat 15 kolam yang dijadikan tempat budi daya lobster dan ikan. Lobster-lobster itu punya ukuran beragam, rata-rata mencapai 50 gram. Di salah satu bak kecil, Cuncun menaruh benih lobster yang baru berusia dua bulan.
Cuncun memulai bisnis lobster air tawar sejak 2002. Jenis lobster yang dibudidayakannya adalah red clown, berasal dari Australia. Biasanya, Cuncun menjual lobster untuk dibudidayakan kembali oleh para pembelinya.
“Lobster di dalam kolam, harganya kisaran Rp300.000-Rp1 juta per setnya. Satu set lobster berisi delapan ekor,” kata Cuncun saat ditemui reporter Alinea.id di BFC Mini Farm, Tangerang Selatan, Senin (23/12).
Menurut Cuncun, harga lobster air laut jauh lebih tinggi dibandingkan air tawar. Sebab, lobster air laut berukuran lebih besar. Lobster air tawar, kata dia, kisaran harganya Rp175.000-Rp250.000 per kilogram. Sedangkan lobster air laut bisa mencapai Rp2 juta per kilogram.
"Tergantung jenisnya. Ada lobster mutiara, bambu, hijau, beda-beda harganya. Yang paling mahal itu yang mutiara, harganya bisa jutaan," ucapnya.
Cuncun mengatakan, China merupakan salah satu negara yang memperebutkan lobster dari Indonesia. Negeri Tirai Bambu itu sangat butuh pasokan lobster, terutama saat musim dingin.
"Kalau musim dingin, mereka tidak bisa pelihara lobster," katanya. "Dalam kondisi itu, mereka butuh lobster untuk konsumsi, bukan benih."
Ia membenarkan, benih lobster laut Indonesia banyak diambil Vietnam. Begitu pula dengan lobster air tawar.
"Mereka juga butuh lobster air tawar, untuk mereka ternakan di sana, dan kemudian diekspor dari negaranya ke China," ucap dia.
Ekspor benih tak untung, malah buntung
Wacana ekspor benih lobster menjadi polemik. Pada awal Desember 2019, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengatakan, akan membuka kembali keran ekspor benih lobster.
Menurut Edhy, lobster yang akan diekspor merupakan benih-benih yang punya nilai tambah dengan harga jual tinggi. Ia berdalih, kesempatan hidup benih lobster hanya 1% dari jumlah populasinya di laut. Lagi pula, kata Edhy, sebagian benih lobster tersebut juga ditangkap oleh nelayan dan diperjualbelikan.
Wacana Edhy ini bertentangan dengan kebijakan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Di akun Twitter miliknya, Susi memprotes keras wacana itu.
Menurut Susi, kurang lebih 8.000 ekor bibit lobster setara dengan dua sepeda motor Harley-Davidson atau 60 sepeda Brompton. Jika bibit lobster tidak diambil, kata dia, di laut menjadi besar dan nilainya bisa menjadi minimal 20 sepeda motor Harley-Davidson atau 600 sepeda Brompton.
“Tidak usah kasih makan, Tuhan yang memelihara. Manusia bersabar, menjaga pengambilannya. Tuhan lipatgandakan,” kata Susi melalui akun Twitternya, Sabtu (14/12).
Susi berkisah, ia mendapatkan informasi pengambilan bibit lobster pada 1995 di Lombok dan mulai menyebar ke daerah lain pada 2000-an. Sebelum tahun 2000, kata Susi, Indonesia ekspor ribuan ton lobster rebus ke Jepang.
Menurutnya, Vietnam budi daya hanya membesarkan, dan hanya dari Indonesia negara tetangga itu bisa mendapatkannya, melalui Singapura atau yang langsung.
“Negara lain yang punya bibit, tidak mau jual bibitnya, kecuali kita karena bodoh,” ujar Susi melalui akun Twitternya, Kamis (12/12).
Merujuk data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada triwulan III tahun 2019 nilai ekspor lobster Indonesia sebesar US$18.088.087, dengan volume 862.086 kilogram. Nilai ini lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya.
Pada 2018, nilainya US$28.452.601, dengan volume 1.514.653 kilogram. Sementara pada 2017, nilainya US$17.290.559, dengan volume 1.512.594 kilogram.
Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat, sejak 2012-2018 nilai ekspor lobster Indonesia rata-rata tumbuh 20,42%. Namun, sempat menurun pada awal pemberlakuan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016, persisnya pada Januari-Februari 2017. Akan tetapi, nilai itu kembali naik hingga 2019. Hal itu ditopang adanya peningkatan ekspor lobster hidup ukuran konsumsi.
FAO mencatat, Indonesia berada di urutan enam negara produsen lobster tangkap dunia. Posisi ini berada di bawah Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Australia, Chili, dan Irlandia.
Menurut Tenaga Ahli Individual Bidang Ekonomi Kelautan dan Perikanan Suhana, pada periode 2010-2017, produksi lobster dunia rata-rata tumbuh 2,30% per tahun. Ia mengatakan, produksi lobster dunia pada 2017 mencapai 322.066 ton, sebanyak 319.996 ton bersumber dari perikanan tangkap. Hanya 2.070 ton yang berasal dari perikanan budi daya.
Lebih lanjut, Suhana menjelaskan, sumbangan perikanan budi daya terhadap lobster dunia terlihat cenderung stagnan, sekitar 0,48% dari perikanan tangkap.
“Artinya, budi daya lobster di dunia sampai saat ini tidak berkembang dengan baik, produksi lobster masih mengandalkan produksi dari alam,” ujar Suhana saat dihubungi, Senin (23/12).
Pada Kamis (26/12) di depan nelayan pembudidaya lobster di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), Edhy kemudian membatalkan wacana ekspor benih lobster. Ia melihat pembudidayaan lobster berlangsung dengan baik. Melihat kenyataan itu, ia mengatakan, ekspor cuma cerita. Akan tetapi, wacana itu kadung menjadi bola liar.
Sebagai pengusaha lobster, Cuncun tak keberatan dengan ekspor benih lobster. Asalkan, kata dia, benih itu disisakan untuk dibudidayakan masyarakat. Hal itu, menurut Cuncun, sangat berguna untuk menjaga populasi lobster dalam negeri, dan menghindari benih lobster dimakan predator laut.
"Lobster laut itu sekali bertelur bisa ratusan ribu, bentuknya kecil sekali mirip kabut. Kalau lobster air tawar itu hanya ribuan saja kalau bertelur, bentuknya mirip biji beras," kata dia.
Ia mengatakan, dari ratusan ribu di laut, yang tersisa hanya 10%. Selebihnya, dimakan predator. "Makanya ekspor benih harus dibarengi teknik pembesaran," tuturnya.
Suhana mengatakan, ekspor benih lobster merupakan langkah yang keliru. Ia menilai, kebijakan itu justru akan membahayakan keberlanjutan ekonomi dan kesejahteraan nelayan penangkap lobster konsumsi.
Suhana khawatir, jika izin ekspor benih lobster itu dibuka, maka akan terjadi eksploitasi besar-besaran. “Itu akan mempercepat kepunahan komoditas lobster Indonesia,” kata Suhana.
Suhana mengatakan, pemerintah harus belajar dari punahnya nener atau bibit ikan bandeng. Saat ini, kata Suhana, nener sulit ditemukan karena banyak ditangkap nelayan, lalu dibesarkan di tambak.
"Dalam 30 tahun terakhir ini, nener dan bandeng hilang di alam," kata dia. "Untungnya, nener bisa dibenihkan secara buatan, sehingga pasokan bandeng masih tersedia dari budi daya."
Suhana menuturkan, kelemahan budi daya lobster saat ini adalah pembenihan. Benih lobster, masih mengandalkan pasokan dari alam.
"Karena masih murni dari alam, lobster jadi termasuk plasma nuftah yang harus dilindungi negara, supaya kelestariannya tetap terjaga. Bahaya kalau dieksploitasi benihnya," ujar dia.
Sementara itu, Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti mengatakan, tidak sepakat dengan izin ekspor benih lobster. Mengekspor benih lobster, kata Esther, tidak akan memberikan nilai tambah.
"Benih lobster dijual per ekor hanya Rp130.000-Rp140.000 per ekor, sementara kita ekspor lobster dengan berat 12-14 kilogram, maka harganya bisa mencapai Rp4 juta-Rp5 juta per ekor," kata Esther saat dihubungi, Senin (23/12).
Esther mengatakan, pemerintah seharusnya mendorong komoditas ekspor agar punya nilai tambah. Bukan mengekspor komoditas mentah atau benih.
“Sehingga margin profitnya juga lebih besar," kata dia.
Mengekspor lobster dewasa, kata Esther, akan memberi dampak positif, terutama pada kesejahteraan nelayan. Ia menjelaskan, pemerintah harus membentuk kelompok nelayan dan memberi pembekalan berupa pelatihan untuk membudidayakan lobster.
“Agar masyarakat juga dapat menghasilkan lobster yang berkualitas,” ucapnya.
Ketika reporter Alinea.id mencoba mengonfirmasi Direktur Jenderal Perikanan dan Budi Daya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto, Sekretaris Jenderal KKP Nilanto Perbowo, dan Kepala Biro Kerja Sama dan Humas KKP Lilly Aprilya Pregiwati, semuanya tak ada yang memberikan keterangan.
Fokus pembenihan lobster laut
Pada 2016, di masa Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti, pemerintah membatasi ekspor lobster melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Wilayah RI.
Di sisi lain, Edhy Prabowo mengatakan, dirinya akan merevisi peraturan yang diteken Susi. Pasalnya, di dalam beleid itu ada peraturan yang melarang nelayan membesarkan benih lobster dari hasil tangkapan di laut. Hal itu, dinilai Edhy, malah menyusahkan nelayan yang menjadikannya sebagai mata pencaharian.
Cuncun pun mengaku, keinginan rekan-rekannya untuk melakukan budi daya lobster air laut terbentur dengan beleid itu. Di dalam Pasal 7 ayat 1 Permen KP 56/2016 disebutkan, setiap orang dilarang menjual benih lobster untuk budi daya.
Di dalam Pasal 7 ayat 3 disebutkan, setiap orang yang mengeluarkan lobster, kepiting, dan rajungan dalam kondisi yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4, dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Jangankan diekspor, di dalam negeri pun tidak bisa diperdagangkan. Jadi, kalau kita bawa benih lobster laut di jalan, terus tertangkap polisi, ya bisa dimasukin penjara," kata Cuncun.
Ia menilai, bila aturan itu dicabut, kemungkinan akan banyak masyarakat yang tertarik kembali membudidayakan lobster air laut.
"Yang penting di undang-undangnya diatur dulu bahwa itu tidak melanggar aturan," ucap dia. "Mereka kan takut. Apalagi kalau industri besar, perusahaan melakukan pembesaran yang ilegal, kan bisa bahaya."
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengatakan, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo harus melakukan kajian yang matang, terutama dalam membahas Permen KP 56/2016.
“Harus mengkaji dari mulai berapa jumlah stok lobster di Indonesia? Di mana saja sebarannya? Dan sejauh mana tingkat pemanfaatannya? Itu harus dijawab, sebelum melemparkan wacana ekspor benih lobster,” ujar Abdul saat dihubungi, Senin (23/12).
Abdul mengingatkan, jangan sampai ekspor benih lobster malah menguntungkan negara lain, seperti Vietnam. Ia menyarankan Edhy agar tak terburu-buru mengeluarkan kebijakan. KKP, ujar Abdul, harus melibatkan para ahli yang kredibel untuk menghadirkan kepastian usaha perikanan komoditas lobster laut.
"Biar tetap ada keberlanjutan, terutama untuk kelangsungan nelayan," kata dia.
Abdul menilai, pembudidayaan lobster oleh masyarakat tidak akan berdampak buruk, selama pemanfaatannya terdata dengan baik. Kata dia, pemerintah hanya perlu melakukan pengecekan kelengkapan dokumen perizinan bagi masyarakat yang ingin membudidayakan lobster.
Ia mengatakan, dalam evaluasi, KKP perlu membahas perbaikan mekanisme pencatatan lobster yang sudah berhasil dibesarkan sebelum dipasarkan. Abdul membeberkan empat hal strategis yang perlu dilakukan KKP.
Pertama, kepastian alokasi ruang bagi usaha pembudidayaan lobster. Kedua, alokasi tadi perlu disesuaikan dengan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) di setiap provinsi.
Ketiga, kelengkapan dokumen perizinan, mulai dari Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan (Kusuka) hingga sertifikat cara pembesaran ikan yang baik (CBIB) untuk lobster yang dibesarkan.
“Terakhir, KKP perlu memperbaiki mekanisme pencatatan benih lobster yang dimanfaatkan dan berhasil dibesarkan sebelum dipasarkan,” ujar Abdul.
Sementara Suhana mengatakan, larangan ekspor benih lobster di dalam Permen KP 56/2016 harus diikuti dengan ketatnya pengawasan di dalam negeri.
"Jangan sampai juga menjadi peluang adanya ekspor ilegal benih lobster," kata Suhana.
Menurutnya, revisi Permen KP 56/2016 harus lebih fokus pada pengembangan riset pembenihan lobster di Indonesia. Kata Suhana, pemerintah mesti memberi ruang para peneliti untuk mengkaji teknologi pembenihan lobster.
"Itu sangat diperlukan, supaya benih lobster yang ada saat ini tidak tergantung pada pasokan alam saja," ucapnya.
Suhana tidak sepakat bila lobster dibesarkan di keramba atau kolam. Ia mengatakan, daripada menangkap benih lobster, lebih baik nelayan langsung menangkap lobster ukuran besar.
"Kalau para ahli itu merekomendasikan, menangkap lobster yang berukuran 300 gram," katanya.
Mayoritas, menurut Suhana, penangkap lobster adalah nelayan kecil. Maka, ketika mereka menangkap lobster berukuran besar di alam, hal itu menjadi nilai tambah yang bisa dinikmati langsung hasilnya oleh nelayan.
“Sangat mudah membudidayakan lobster di laut. Sepanjang, perairan tidak tercemar limbah," ucap dia.