Bonus demografi hanya sekali, jangan sampai gagal!
Sambil menerawang, Nureta (25) bercerita kepada Alinea.id, sembilan tahun lagi dia berharap sudah bisa membuka bisnis kafe bukunya sendiri. Itu adalah impiannya sejak Sekolah Menengah Atas (SMA).
Menurutnya, membuka sebuah bisnis, tidak hanya dapat memberikan pundi-pundi rupiah untuknya saja. Namun juga bisa membuka lapangan kerja dan menolong orang-orang yang membutuhkan pekerjaan.
“Buat ngewujudin itu, aku sudah mulai nabung sedikit-sedikit dari SMA, ya bukunya, ya uangnya. Aku juga nyari tambahan lewat investasi. Semoga aja, setelah sembilan tahunan nanti bisa buka (kafe buku),” ujar perempuan yang kesehariannya bekerja sebagai ASN di Magelang itu, Selasa (9/3).
Sembilan tahun lagi, yakni 2030, pemerintah memprediksikan Indonesia akan mencapai puncak bonus demografi. Menurut United Nations Population Fund, bonus demografi adalah kondisi ketika masyarakat berusia produktif lebih banyak daripada masyarakat berusia nonproduktif.
Usia produktif yang dimaksud ialah 15-64 tahun. Sedangkan masyarakat nonproduktif adalah mereka yang berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun. Tidak hanya itu, jumlah masyarakat berusia produktif ini menguasai 70% populasi suatu negara. Sementara jumlah masyarakat berusia nonproduktif hanya 30%.
Pada saat itu terjadi, 100 penduduk produktif hanya akan menanggung beban dari paling banyak 50 orang usia nonproduktif. Kondisi inilah yang memungkinkan suatu negara lompat menjadi negara kaya, akibat kecilnya beban yang ditanggung. Namun sayangnya, peristiwa ini hanya terjadi sekali dalam sejarah suatu negara.
Indonesia sendiri sebenarnya telah memasuki era bonus demografi sejak 2012 dan diperkirakan akan berakhir pada 2037. Kondisi ini diperkuat oleh hasil Sensus Penduduk 2020 (SP2020) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada September lalu.
Hasil SP2020 mencatat, penduduk Indonesia pada September 2020 sebesar 270.203.917 jiwa. Artinya, dalam satu dasawarsa telah terjadi penambahan jumlah penduduk sebesar 32.562.591 jiwa atau rata-rata 3,26 juta jiwa per tahun.
Sedangkan laju pertumbuhan penduduk Indonesia selama kurun waktu 2010-2020 sebesar 1,25% per tahun. Angka ini mengalami penurunan sebesar 0,24% jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk pada periode 2000–2010 yang sebesar 1,49% per tahun. Sebaliknya, peningkatan justru terjadi pada kategori penduduk usia produktif (15-64 tahun) yang mencapai 70,72% dan 29,28% sisanya adalah penduduk usia nonproduktif.
Kelompok usia | Keterangan | Jumlah persentase |
Post Generasi Z | Lahir tahun 2013, dst. Perkiraan usianya sekarang sampai 7 tahun. | 10,88% |
Generasi Z | Lahir tahun 1997-2012. Perkiraan usia 8-23 tahun. | 27,94% |
Milenial | Lahir tahun 1981-1996. Perkiraan usia 24-39 tahun. | 25,87% |
Generasi X | Lahir tahun 1965-1980. Perkiraan usia 40-55 tahun. | 21,88% |
Baby Boomer | Lahir tahun 1946-1964. Perkiraan usia 56-74 tahun. | 11,56% |
Pre-boomer | Lahir sebelum tahun 1945. Perkiraan usia 75 tahun ke atas. | 1,87% |
Kendalikan angka kelahiran
Negara seperti Venezuella, Meksiko dan Afrika tercatat telah melewatkan bonus demografinya. Belajar dari kegagalan itu, pemerintah melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sampai saat ini terus berupaya untuk mengendalikan tingkat kelahiran.
Bukan hanya soal jumlah kelahirannya, tetapi juga menjaga jarak kelahiran bayi. BKKBN menyarankan jarak ideal antara kelahiran pertama dengan kelahiran selanjutnya adalah tiga tahun.
Sejalan dengan itu, BKKBN juga masih terus berusaha untuk menekan angka stunting nasional, untuk dapat menciptakan tenaga kerja yang berkualitas di masa depan. Sebab, menurut Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Dwi Listyawardani, kualitas SDM sangat ditentukan pada 1.000 hari kehidupan pertamanya.
“Kalau dari awal sudah tidak berkualitas, nanti terancam. Kecerdasannya kurang, kesehatannya juga kurang optimal. Kalau pendidikannya kurang, tidak bisa bersaing, kurang sehat, dan peluang ekonominya terhambat, itu justru enggak bisa memanfaatkan,” katanya, saat berbincang dengan Alinea.id, melalui sambungan telepon, Rabu (10/3).
Meski begitu, pihaknya khawatir tingkat stunting Indonesia akan kembali meningkat karena pandemi, seiring dengan melemahnya daya beli masyarakat. Padahal, sebelumnya berdasarkan Prevelensi Data Stunting, angka stunting nasional telah mencapai 27,67% pada 2019. Turun 3,1% dari tahun sebelumnya.
“Tapi mudah-mudahan saja masyarakat sadar, meskipun mengalami gangguan daya beli, tapi prioritas (pemenuhan gizi) kepada anak-anak balita ini tetap enggak ketinggalan,” ujar perempuan yang karib disapa Dani itu.
Guru Besar sekaligus Peneliti Senior Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Omas Bulan Samosir menjelaskan, manfaat bonus demografi bisa didapatkan Indonesia apabila penduduk usia produktif dapat memenuhi beberapa syarat, yakni sehat, terdidik, produktif, bekerja di sektor-sektor yang dibayar, dan berinvestasi.
Penduduk usia produktif yang dimaksud adalah mereka yang sekarang ini disebut sebagai generasi Z dan generasi milenial. Jika berbagai syarat tersebut telah terpenuhi, secara otomatis investasi sumber daya manusia (SDM) dan investasi modal akan meningkat.
“Dan ini efeknya adalah kontribusinya ke ekonomi sangat besar. Tapi itu tadi, ada syaratnya. Manfaat bonus demografi tidak bisa didapatkan secara otomatis,” katanya kepada Alinea.id, Senin (8/3).
Omas memaparkan bonus demografi terbagi ke dalam dua fase. Pertama, terjadi pada saat angka kelahiran dan kematian mulai terjadi, sehingga menyebabkan penduduk usia produktif mengalami peningkatan. Kemudian tahap kedua akan terjadi apabila penduduk usia produktif yang ada sekarang ini, sudah tidak lagi menjadi penduduk usia produktif. Artinya, mereka sudah akan memasuki usia di atas 64 tahun pada masa yang akan datang.
Menurut mantan Kepala Lembaga Demografi FEB UI ini, bonus demografi fase satu diperkirakan akan berakhir pada 2025-2030 nanti. Kala itu, rasio angka kelahiran semakin menurun, tapi jumlah penduduk di atas usia 64 tahun kian melonjak. Kemudian, setelah itu akan langsung digantikan dengan bonus demografi fase dua.
“Fase satu yang sedang terjadi sekarang ini dan ini jendelanya (masa berlangsung-red) pendek. Karena setelah ini rasio tingkat ketergantungan akan naik lagi. Fase dua itu yang jendelanya tak terbatas,” ujarnya.
Dengan dipenuhinya berbagai syarat itu, di masa depan nanti penduduk usia produktif yang sudah memasuki usia senja tidak perlu lagi menggantungkan diri pada keturunannya. “Karena mereka sudah punya investasi itu tadi,” lanjut Omas.
Di sisi lain, keberhasilan pemanfaatan bonus demografi juga dipengaruhi oleh pelaksanaan program Keluarga Berencana. Sebab, untuk menurunkan dan mengontrol angka kelahiran, hanya bisa dilakukan dengan program ini.
Peluang besar
Dihubungi terpisah, Direktur Research Institute of Socio-Economic Development (RISED) Tegar Rismanuar Nuryitmawan mengungkapkan, peluang Indonesia dapat memanfaatkan bonus demografi masih sangat besar.
Terlebih, tahun ini merupakan periode terbaik bonus demografi dengan rasio ketergantungan (dependency ratio) penduduk Indonesia adalah 100:41. Artinya, dari 100 penduduk produktif, menanggung 41 penduduk tidak produktif.
Saat bonus demografi bisa dimanfaatkan dengan maksimal, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pun bisa terkerek naik paling sedikit 2%. Dengan begitu, Indonesia masih akan tetap aman sebagai anggota dari negara G20 atau 20 kelompok utama perekonomian besar di dunia.
“Tapi sekarang ini kan polemiknya adalah pandemi. Jadi, tantangannya sebenarnya ada dua. Pertama shifting (pergeseran) demografi, kedua pandemi,” urainya kepada Alinea.id, Selasa (9/3).
Tegar bilang, dengan adanya pagebluk Covid-19, banyak sektor-sektor formal seperti perusahaan, pabrik, dan lain sebagainya yang mengurangi pegawai demi menjaga nafas usahanya.
Hal itulah yang membuat jumlah pengangguran melonjak pada 2020 menjadi 9,77 juta orang. Tercatat, jumlah pengangguran terbuka mencapai 7,07% dari total pengangguran. Padahal, pada tahun sebelumnya, total pengangguran hanya sebanyak 7,05 juta jiwa.
“Itu mereka pengangguran baru yang baru selesai sekolah atau pengangguran yang sedang menunggu. Dia punya potensi, skill, tapi masih menunggu untuk masuk ke lapangan kerja. Atau pengangguran karena PHK. Ini yang harus diketahui. Karena masing-masing treatmentnya berbeda,” jelasnya.
Namun demikian, agar penduduk usia produktif dapat dimanfaatkan dengan optimal, pemerintah harus memutar otak agar bisa membuka lapangan kerja baru. Baik melalui pengoptimalan UMKM maupun memanfaatkan sektor ekonomi digital.
Pemerintah juga bisa menggunakan skema PPP (Public-Private Partnership) dalam inkubasi bisnis baru. Dengan skema ini, diharapkan nantinya akan tercipta pengusaha-pengusaha baru, utamanya yang berbasis teknologi. Sejalan dengan itu, pemerintah pun dapat pula meningkatkan jumlah pengusaha di Indonesia.
Tegar bilang, pada 2019, jumlah pengusaha Indonesia tidak mencapai 2% dari total penduduk. Padahal, negara yang 2% penduduknya adalah pengusaha memiliki tingkat resilience lebih tinggi ketimbang negara dengan jumlah pengusaha di bawah 2%.
“Makanya, kalau pemerintah sudah tidak bisa lagi membuat lapangan kerja yang sifatnya makro, maka boosternya adalah menciptakan pengusaha baru,” tutur ekonom dari Universitas Airlangga itu.
Dia menambahkan, meskipun jarang terjadi, namun tidak menutup kemungkinan bagi suatu negara untuk melewatkan bonus demografinya. Salah satu faktor yang menjadi penyebab pemanfaatan bonus demografi gagal ialah karena lapangan pekerjaan tidak bisa menyerap tenaga kerja. Banyaknya pengangguran otomatis membuat penduduk usia produktif tak berpenghasilan.
Faktor lain adalah gagalnya pengendalian penduduk oleh negara tersebut. Hal itu lantas membuat tingkat kelahiran atau fertilitas meningkat yang dibarengi juga dengan melonjaknya jumlah penduduk usia di atas 64 tahun.
Seiring dengan itu, tingkat ketergantungan pun akan ikut meningkat. Jika hal itu terjadi, beban negara justru akan semakin besar, lantaran harus menjamin kesejahteraan orang-orang di usia yang sudah tak lagi produktif itu.
“Akan ada gap yang sangat besar antara anak-anak produktif menuju tua. Enggak kekejar, dan itu bisa jadi ancaman,”tegasnya.