Anggota Komite BPH Migas, Abdul Halim mengungkapkan, produksi minyak dan gas bumi (migas) Indonesia terus mengalami declining atau penurunan setiap tahunnya. Hal tersebut membuat Indonesia terpaksa memerlukan impor dalam memenuhi kebutuhan migasnya.
Dari data BPH migas yang Abdul sampaikan, terlihat adanya penurunan produksi minyak bumi dari tahun 2016 sebesar 831 million barrel oil per day (MBOPD) terus turun menjadi 612 MBOPD di 2022. Sejalan dengan penurunan produksi gas bumi, tahun 2016 sebesar 1.403 million barrel oil of equivalent per day (MBOEPD) menurun di 2022 menjadi 1.147 MBOEPD.
“Adanya penurunan ini membuat kita berupaya melakukan hal-hal untuk menemukan ladang-ladang minyak baru di seluruh Indonesia. Karena penurunan produksi ini memicu kita untuk impor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri,” kata Abdul dalam pemaparannya di webinar Diskusi Publik INDEF: Urgensi Reformasi Subsidi Energi, Selasa (14/2).
Jika Indonesia tidak menemukan sumber pengeboran-pengeboran baru, maka Abdul menilai hal tersebut akan menjadi dilema dan masalah besar bagi Indonesia. Untuk mencegah hal tersebut, maka Abdul menyarankan beberapa upaya yang perlu segera dilakukan Indonesia, antara lain mengoptimasi produksi pada lapangan saat ini, melakukan transformasi resources to production, mempercepat chemical enhanced oil recovery (EOR).
“Indonesia perlu mengeksplorasi secara masif untuk menemukan cadangan migas baru dan memberikan kemudahan investasi dan pemberian insentif,” tutur Abdul menambahkan.
Lebih lanjut, terkait produksi Jenis BBM Tertentu (JBT) dan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP), disampaikan Abdul bahwa Indonesia hanya mampu memproduksi minyak bensin sebanyak 13.685.499 kilo liter (KL), sisanya sebanyak 21.612.052 KL dipenuhi melalui impor.
Pada kesempatan yang berbeda, Sekretaris Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas, Shinta Damayanti juga menegaskan, Indonesia harus terus melakukan eksplorasi pengeboran sumur migas. Alasannya, produksi dari eksplorasi tidak bisa langsung atau instan dirasakan di tahun yang sama. Bahkan manfaatnya baru dirasakan oleh wilayah sekitar pengeboran pada lima tahun kemudian. Sehingga selisih waktu tersebut yang mendorong agar Indonesia terus melakukan eksplorasi mulai saat ini.
Shinta melaporkan, pengeboran sumur eksplorasi tajak di 2022 mencapai 30 sumur atau meningkat 7% dibandingkan 2021. Peningkatan ini juga akan terus ditambah di 2023 hingga 57 sumur atau naik 90%.
“Investasi eksplorasi 2022 sudah mencapai US$0,8 miliar, ini naik dari 2021 sebesar 33%. Untuk 2023 kita menargetkan naik 112% atau senilai US$1,7 miliar,” kata Shinta dalam diskusi investasi hulu migas tahun 2023, Selasa (14/2).