Sudah ditambal, BPJS masih tekor dan harus bayar utang Rp7,2 T
Meski telah diberi dana talangan oleh pemerintah senilai Rp4,9 triliun, BPJS Kesehatan masih harus melunasi tunggakan utang Rp7,2 triliun.
Jalan keluar untuk menambal defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, nampaknya belum menemukan titik temu.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga belum mengumumkan mengenai audit laporan keuangan BPJS tahap selanjutnya, yang ditargetkan akan rampung pada 5 November 2018 lalu.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Maruf menjelaskan, belum ada perkembangan mengenai audit lanjutan dari BPKP perihal solusi yang harus dicanangkan untuk menambal defisit BPJS. Utang jatuh tempo BPJS mencapai Rp7,2 triliun.
"Ini belum ada (review terbaru dari BPKP). Yang sudah itu, yang pada 24 September dana sudah dicairkan (Rp4,9 triliun) dan sudah dibayarkan ke Rumah Sakit yang menunggu. Kalau yang sesudahnya, masih dalam proses," ujar Iqbal kepada Alinea.id, Selasa (6/11).
Sebelumnya, Kepala BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan, total utang jatuh tempo BPJS mencapai Rp7,2 triliun. Dana bantuan sebesar Rp4,9 triliun dari pemerintah, sudah dibayarkan sepenuhnya untuk membayar tunggakan sebelumnya.
Menurut Iqbal, dana tunai yang dimiliki BPJS saat ini masih belum cukup untuk menutup kebutuhan dana tunggakan tersebut. Dana tunai berasal dari penerimaan pembayaran dari peserta BPJS Kesehatan.
"Artinya, pasti ada yang namanya iuran terkumpul. Enggak sebanding dana iuran dengan yang dibayarkan," jelasnya.
Lagi pula, imbuh Iqbal, tidak semua peserta BPJS Kesehatan membayar iurannya secara tepat waktu. Sehingga, tentu dana tunai yang dimiliki BPJS tidak bisa dipastikan jumlahnya.
"Sekarang tanggal 6 November. Paling lambat orang bayar iuran tanggal 10 November. Itu kan penuh dinamika. Tergantung yang membayar iuran," imbuhnya.
Pada 2017 silam, BPJS mendapatkan alokasi dana sebesar Rp74 triliun dan pada 2018 alokasi dana untuk BPJS diakui Iqbal lebih besar dari tahun lalu. Meski demikian, dia enggan menyebut berapa besarannya.
Dia menjelaskan, meski anggaran dana yang dimiliki BPJS Kesehatan pada 2018 lebih besar, tetapi beban pengeluaran juga membengkak.
Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX DPR pada 29 Oktober 2018 lalu, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, menyampaikan, defisit keuangan BPJS terjadi pada layanan untuk peserta BPJS kategori pekerja informal, peserta didaftarkan pemerintah daerah (Pemda) dan bukan pekerja.
"Yang membuat worse adalah pekerja informal menghabiskan Rp13,3 triliun sendiri dari awal tahun hingga September ini," ujarnya kala itu di Ruang Rapat Komisi IX DPR, Senin (29/10).
Angka Rp13,3 triliun ini merupakan selisih negatif lantaran iuran yang dibayarkan sebesar Rp8,5 triliun. Jauh lebih kecil dibandingkan dengan beban yang ditanggung BPJS sebesar Rp20,3 triliun.
Selisih negatif juga dialami peserta kategori bukan pekerja yaitu sebesar Rp4,35 triliun, dan peserta yang disalurkan Pemda sebesar Rp1,44 triliun.
Di sisi lain, Penerima Bantuan Iuran (PBI) justru mencatatkan selisih positif alias surplus sebesar 3,2 triliun.
Surplus juga terjadi dengan peserta kategori Aparatur Sipil Negara, TNI dan Polri Rp706,7 miliar, dan pekerja formal swasta surplus Rp7,8 triliun. Dengan perkembangan tersebut, maka total selisih negatif sebesar Rp7,2 triliun.
Adapun berdasarkan prognosis BPJS Kesehatan, defisit arus kas bisa mencapai Rp16,58 triliun tahun ini, termasuk akumulasi defisit tahun lalu senilai Rp4,4 triliun.
Pada sisi lain, BPKP memperkirakan defisit lebih kecil yakni sebesar Rp10,98 triliun.
Jurus tutupi tekor
Lantas, apa sebenarnya yang sudah dilakukan BPJS dan pemerintah untuk menutupi utang jatuh tempo ini?
Iqbal menjelaskan, pihaknya sudah memperbaiki sistem operasional, seperti yang sudah di amanatkan oleh Presiden Joko Widodo.
"Menata rujukan. Ada program rujuk balik. Artinya, biaya-biaya yang bisa diselesaikan di tingkat I itu bisa di optimalkan, tidak perlu digeser ke rujukan untuk biaya baru," jelas Iqbal.
Hanya saja, kata dia, penataan rujukan itu harus melibatkan peserta atau pasien dan fasilitas kesehatan yang ada.
"Nah, ini yang kita perbaiki, ada kapabilitas-kapabilitas komitmen, yang berkaitan dengan hal-hal yang harus sudah diperjanjikan dan sudah harus dipenuhi. Kalau tidak, ada risiko pembayaran iurannya tidak sebesar 100%," jelas Iqbal.
Kemudian, BPJS memiliki supply chain financing (SCF) yang merupakan program pembiayaan oleh bank atau lembaga keuangan mitra BPJS Kesehatan, yang khusus diberikan kepada Faskes provider BPJS Kesehatan untuk membantu percepatan penerimaan piutang.
BPJS telah bekerja sama dengan 13 perbankan dan dua multifinance dalam pelaksanaan kebijakan SFC.
"Artinya dia (Faskes) bisa menggunakan penggunaan dana jangka pendek dengan bank-bank yang telah bekerja sama dengan BPJS. Bisa menerima piutang dari fasilitas kesehatan. Ada ratusan lebih Rumah Sakit yang sudah pakai pola piutang itu," jelas Iqbal.
Sementara dari Kementerian Keuangan, telah menyiapkan setidaknya tujuh kebijakan yang untuk menambal defisit BPJS yang sudah melambung ini, di luar bantuan dana cadangan APBN.
Terdapat bauran kebijakan, yaitu melunasi tunggakan iuran BPJS Kesehatan di Pemda dengan target Rp264 miliar pada tahun 2018.
Realisasi pelunasan tunggakan iuran di Pemda hingga akhir Oktober 2018 sebesar Rp229,75 miliar dan akan dipenuhi lagi Rp17,7 miliar bulan November serta Rp16,7 miliar bulan Desember.
Juga ada potongan pajak rokok untuk menutup defisit BPJS Kesehatan. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 128 tahun 2018, yang diterbitkan 25 September 2018.
Dalam hal potongan pajak rokok, Rp1,34 triliun telah ditransfer ke rekening Dana Jaminan Sosial Kesehatan untuk 28 provinsi periode kuartal III-2018. Hal itu disampaikan oleh Mardiasmo pada RDP bersama Komisi IX DPR Oktober lalu.
Besaran transfer itu akan diperhitungkan pada periode berikutnya sebagai iuran Jamkesda atau yang lainnya oleh pemda terkait. Dalam waktu dekat, akan kembali ditransfer Rp83,61 miliar untuk enam provinsi lainnya.
Selain upaya-upaya tersebut, Kemenkeu bersama kementerian/lembaga terkait turut melakukan langkah promotif preventif atau pencegahan kesehatan dengan pakai minimal 50% Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT).
Selain itu, DBH CHT juga dipakai untuk penyediaan hingga perbaikan sarana fasilitas kesehatan di daerah.
Sampai 18 Oktober 2018, penyaluran DBH CHT tercatat Rp2,22 triliun untuk 354 daerah di 18 provinsi. Mardiasmo mengungkapkan, rencananya sampai Desember masih ada tambahan DBH CHT sebesar Rp750 miliar.
Yang jelas, kata Iqbal, setelah audit dari BPKP selesai, akan terlihat berapa besaran dana disarakan kepada pemerintah untuk menalangi defisit BPJS ini.
Iqbal memperkirakan pemerintah akan menyuntikkan dananya lagi di kisaran Rp10,9 triliun sampai Rp16,5 triliun.
"Kalau proyeksi BPJS saja Rp16,5 triliun. BPKP review-nya Rp10,9 triliun. Ya range-nya antara itu lah. Tentu atas dasar data," pungkas Iqbal.