close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi sawah. Foto Freepik.
icon caption
Ilustrasi sawah. Foto Freepik.
Bisnis - Pangan
Jumat, 11 Oktober 2024 17:40

Buang-buang triliunan rupiah proyek cetak sawah

Menjelang akhir masa jabatannya, Jokowi membuka program cetak sawah baru. Pdahal program serupa sebelumnya gagal.
swipe

Menjelang akhir masa jabatannya, pemerintahan Presiden Joko Widodo menciptakan program baru berjudul Optimasi Lahan dan Cetak Sawah Nasional. Pemerintah mencetak sawah baru 400.000 hektare (ha) alias hampir seluas Pulau Bali. Padahal, program serupa sebelumnya jalan di tempat. 

Alokasi aggaran cetak sawah nasional tersebut mencapai Rp16 triliun. Pelaksanaanya hampir di seluruh Pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Sumatera. 

Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan secara garis besar program serupa sudah berlangsung lama bahkan dari tahun 1970, ketika orde baru. Pada saat itu, pemerintah tidak berhasil mengembangkannya dengan baik.

Kemudian pada tahun 2020, lahir program food estate karena krisis pangan yang disebabkan oleh pandemi Covid-19. Pembangunan  berjalan di Kalimantan Tengah dengan lahan gambut yang pernah digarap pada tahun 1995-1996 dengan ratus ribu hektare. Kemudian, berjalan ke wilayah Sumatera, Nusa Tenggara Timur (NTT) , hingga Papua.

"Selain lahan lama yang sudah digarap sejak dahulu, lahan baru juga dibuka untuk mewujudkan program ini. Sayangnya, kedua model tersebut tetap tidak berhasil karena pemerintah tidak belajar dari kasus sebelumnya, " Kata Khudori kepada Alinea.id, Kamis (10/10). 

Gagalnya program disebabkan oleh sifat pemerintahan Jokowi yang terburu-buru. Eksekusi dilakukan sebelum adanya perencanaan. Hal itu terlihat dari pembangunan infrastruktur dan jalan yang sudah berjalan, tapi data terkait justru tidak dikumpulkan.

“Sebetulnya food estate bisa menjadi harapan. Tapi kalau praktiknya seperti sekarang grasak-grusuk tidak ada mengumpulkan data terkait sifat tanah, hidrologi, sosiologi masyarakat, baru disusun lumbung pangannya. Bahkan tahun 2020 itu yang bekerja di lapangan kerja duluan baru belakangan tim pengumpulan data berjalan padahal harusnya kebalik,” katanya. 

Pemerintah juga tak belajar dari kesalahan. Padahal, ujarnya, Kementerian Pertanian menyimpan sederet dokumen terkait food estate yang tidak berhasil di masa lalu. 

Era Prabowo

Ia mengakui, cetak sawah dengan infrastrukturnya butuh waktu dan anggaran yang besar. Apalagi akan dilanjutkan oleh Prabowo sebagai presiden terpilih. 

Menurutnya, pemerintah harus langsung merehabilitasi lahan yang telah dibuka dalam program sebelumnya dan tak berhasil. Sebab, jangan sampai warga setempat menikmati hutan yang terbabat habis. Sementara, kehidupan mereka tidak lepas dari hutan tersebut.

Misalnya program food estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah yang melenceng. Lahan di kawasan tersebut mayoritas pasir kuarsa yang nyaris nol unsur hara sehingga tak bisa digunakan untuk pertanian. 

"Lahan itu tidak subur, pembukaan lahan membuat masyarakat kena banjir dan yang selama ini menggantungkan kebutuhan pangannya dari hutan menjadi tidak bisa lagi karena hutannya sudah tidak ada,” jelasnya.

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menyebut program cetak sawah sebagai bom waktu yang ditinggalkan Jokowi pada Prabowo. Sebab jika program tersebut gagal, maka pemerintahan selanjutnya yang harus menanggung akibatnya.

"Jokowi masih cawe-cawe “memaksakan” program ‘lose-lose’ food estate. Dan peluang gagal sangat besar, " katanya. 

Dia bilang, pembukaan lahan besar-besaran merupakan manuver bahaya Jokowi. Dia menganggap langkah itu jalan pintas guna mendongkrak produksi pangan karena dilakukan tanpa pertimbangan matang. Perkiraan tingkat keberhasilannya juga sangat rendah. 

“Proyek food estate sebelumnya di sejumlah daerah gagal total, seperti di Kalimantan. Dana triliunan rupiah menguap. Sayangnya Jokowi tidak belajar dari pengalaman kegagalan sebelumnya, dengan menyiapkan proyek yang jauh lebih besar lagi," ujarnya. 

Menurutnya, upaya meningkatkan produksi pangan melalui program cetak sawah mencerminkan kebijakan frustrasi dan juga spekulatif. Dia bilang, masalah pangan bukan hanya soal produksi atau swasembada, namun juga terkait kesejahteraan petani. 

“Artinya, masalah utama pangan adalah bagaimana meningkatkan produksi pangan, yang sekaligus juga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Faktor terakhir ini, kesejahteraan petani, bahkan jauh lebih penting, dan harus menjadi prioritas utama. Sedangkan proyek cetak sawah food estate, yang akan menelan dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) puluhan triliun rupiah, tidak bisa memenuhi kedua tujuan di atas secara bersamaan,” ungkapnya.

Sebaliknya, lanjut Anthony, proyek cetak tanah berpotensi membuat pendapatan dan kesejahteraan petani turun. Program ini menciptakan dua klaster produksi padi dengan karakteristik sangat berbeda, yakni dilakukan oleh dua pelaku usaha yang juga berbeda.

Klaster pertama, produksi padi dilakukan oleh petani guram dengan cara tradisional seperti yang selama ini dilakukan oleh para petani, dengan struktur biaya produksi relatif cukup tinggi. Klaster kedua, produksi padi dilakukan di area food estate yang sangat luas, dilakukan oleh badan usaha baik swasta atau negara, dengan metode full mekanisasi, dan penggunaan aplikasi pertanian modern.

Alhasil, kondisi ini membuat biaya tanam di food estate, klaster kedua, akan jauh lebih rendah dari biaya tanam di klaster pertama.

"Dampak dari dua klaster produksi ini sangat memprihatinkan. Harga gabah nasional akan tertekan, mengikuti biaya produksi padi di food estate yang lebih rendah. Hal ini membuat pendapatan petani di klaster pertama (non-food estate) tertekan, membuat kesejahteraan petani anjlok," katanya.

Ia mengingatkan, dampak ini bersifat permanen. Dampak lanjutannya, petani padi akan beralih ke tanaman lain sehingga membuat produksi padi nasional anjlok ke tingkat yang dapat menetralisir kenaikan produksi padi di food estate, bahkan lebih rendah. 

"Kalau program ini gagal, semua akan kembali ke titik nol: produksi padi dan kesejahteraan petani stagnan. Tetapi, biaya kebijakan gagal ini sangat besar. Dana APBN puluhan triliun rupiah menguap tanpa hasil, yang mungkin bisa dianggap menjadi kerugian negara, tergantung apakah pengeluaran uang rakyat tersebut sesuai peraturan perundang-undangan," lanjutnya.

Meningkatkan produktivitas

Menurutnya, pemerintah harus mencari solusi pangan yang berkelanjutan atau sustainable, dengan meningkatkan produksi padi secara berkelanjutan, yang sekaligus akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.

Selain itu, harus menghentikan penyusutan lahan sawah produktif, terutama akibat alih fungsi lahan sawah produktif dengan kedok proyek strategis nasional (PSN) seperti di Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.

"Untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi harusnya tidak terlalu sulit, asal pemerintah mau sungguh-sungguh menanganinya. Karena, produktivitas padi Indonesia saat ini jauh lebih rendah dibandingkan Vietnam, apalagi China. Produktivitas padi Vietnam dan China paling tidak 20% dan 40% lebih tinggi dari Indonesia," ujarnya.

Menurut data Foreign Agricultural Services Kementerian Pertanian Amerika Serikat (FAS USDA), Produktivitas padi tahun produksi 2023/2024 Indonesia hanya mencapai 4,8 ton per ha, sedangkan Vietnam dan China masing-masing mencapai 6,1 ton per ha dan 7,1 ton per ha, atau 27% dan 48% lebih tinggi dari Indonesia.

“Kalau produktivitas padi Indonesia dapat menyamai Vietnam, maka produksi padi nasional akan meningkat, mungkin lebih besar dari kenaikan produksi padi dari hasil program cetak sawah. Kenaikan produktivitas padi pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani secara instan, meningkatkan daya beli petani, yang pada gilirannya akan membuat pertumbuhan ekonomi melonjak,” lanjutnya.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan