BUMN Karya: Utang melambung tak bikin untung
Presiden Joko Widodo menggenjot pembangunan infrastruktur melalui penugasan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sejak memimpin Indonesia pada 2014.
Tampaknya, penugasan kepada BUMN itu berdampak besar bagi kinerja keuangan emiten pelat merah dalam lima tahun terakhir.
Hasil riset Alinea.id terhadap kinerja keuangan empat BUMN Karya menunjukkan, laju pertumbuhan nilai utang melesat lebih kencang ketimbang lonjakan pendapatan dan laba bersih.
Empat emiten BUMN Karya tersebut adalah PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Untuk selanjutnya, masing-masing akan disebut sesuai kode saham yang tercatat di PT Bursa Efek Indonesia, yakni ADHI, PTPP, WIKA, dan WSKT.
Analisis berangkat dari data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SUNLI) yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI) pada 15 Oktober 2019. Secara keseluruhan, utang luar negeri Indonesia tumbuh 9,8% year-on-year (yoy) menjadi US$393,5 miliar setara Rp5.505 triliun per Agustus 2019.
Khusus utang luar negeri BUMN per Agustus 2019, nilainya mencapai US$51,07 miliar setara Rp714,98 triliun. Utang tersebut dimiliki oleh BUMN perbankan, lembaga keuangan non bank, dan lembaga non keuangan.
Jika diteliti lebih dalam, pertumbuhan utang luar negeri BUMN selama lima tahun mencapai 66,35%. Laju pertumbuhan utang tercepat terjadi pada lembaga keuangan non bank yang melonjak 151,23% dalam lima tahun terakhir.
Akan tetapi secara nominal, BUMN non lembaga keuangan memiliki utang luar negeri terbanyak senilai US$39,51 miliar setara Rp553,14 triliun. Pertumbuhan utang kelompok BUMN non keuangan ini mencapai 57,83% sejak 2014 hingga 2019.
Presiden Joko Widodo menggenjot pembangunan infrastruktur melalui penugasan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sejak memimpin Indonesia pada 2014.
Tampaknya, penugasan kepada BUMN itu berdampak besar bagi kinerja keuangan emiten pelat merah dalam lima tahun terakhir.
Hasil riset Alinea.id terhadap kinerja keuangan empat BUMN Karya menunjukkan, laju pertumbuhan nilai utang melesat lebih kencang ketimbang lonjakan pendapatan dan laba bersih.
Empat emiten BUMN Karya tersebut adalah PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Untuk selanjutnya, masing-masing akan disebut sesuai kode saham yang tercatat di PT Bursa Efek Indonesia, yakni ADHI, PTPP, WIKA, dan WSKT.
Analisis berangkat dari data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SUNLI) yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI) pada 15 Oktober 2019. Secara keseluruhan, utang luar negeri Indonesia tumbuh 9,8% year-on-year (yoy) menjadi US$393,5 miliar setara Rp5.505 triliun per Agustus 2019.
Khusus utang luar negeri BUMN per Agustus 2019, nilainya mencapai US$51,07 miliar setara Rp714,98 triliun. Utang tersebut dimiliki oleh BUMN perbankan, lembaga keuangan non bank, dan lembaga non keuangan.
Jika diteliti lebih dalam, pertumbuhan utang luar negeri BUMN selama lima tahun mencapai 66,35%. Laju pertumbuhan utang tercepat terjadi pada lembaga keuangan non bank yang melonjak 151,23% dalam lima tahun terakhir.
Akan tetapi secara nominal, BUMN non lembaga keuangan memiliki utang luar negeri terbanyak senilai US$39,51 miliar setara Rp553,14 triliun. Pertumbuhan utang kelompok BUMN non keuangan ini mencapai 57,83% sejak 2014 hingga 2019.
Terjerat utang
Lembaga pemeringkat utang global Moody's Investor Service baru-baru ini merilis laporan terkait utang BUMN di Asia Pasifik. Khusus Indonesia, Moody's menyoroti enam BUMN yang ditengarai dapat menjadi sumber risiko ketidakpastian terutama perolehan laba dan rugi pada neraca pemerintah. Risiko itu muncul salah satunya diakibatkan oleh utang yang ditanggung oleh perusahaan milik negara.
Moody's menyebut, sejumlah BUMN di Tanah Air menunjukkan prospek yang mengkhawatirkan. Indikator yang digunakan oleh Moody's untuk melihat risiko kontijensi itu antara lain rasio utang terhadap modal (debt to equity ratio/DER), kemampuan bayar utang (interest coverage ratio/ICR), dan persentase utang terhadap product domestic bruto (PDB) BUMN.
Dua dari enam perusahaan pelat merah yang disorot oleh Moody's adalah emiten BUMN Karya. Kedua BUMN Karya tersebut adalah ADHI dan WSKT. Sedangkan, empat BUMN lain yakni PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Kimia Farma (Persero) Tbk., PT Indofarma (Persero) Tbk., dan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.
Khusus dua BUMN Karya, Moody's menyoroti rasio utang terhadap modal WSKT yang tertinggi mencapai 359,1% dibandingkan dengan perusahaan pelat merah lainnya. Sedangkan, DER ADHI tercatat mencapai 137,5%.
Rasio utang keduanya terbilang mengkhawatirkan. Sebab, kenaikan utang berimbas pada semakin besarnya beban bunga yang harus dibayarkan oleh emiten tersebut.
Dalam 5 tahun terakhir, utang WSKT meroket 1.943% atau bertambah lebih dari 20 kali lipat. Utang WSKT hanya Rp3,16 triliun pada Desember 2014 menjadi Rp64,64 triliun pada akhir tahun 2018. Rerata pertumbuhan utang WSKT mencapai 121,93% setiap tahun.
Utang yang dimaksud adalah pinjaman perbankan, baik berelasi maupun pihak ketiga, obligasi, sukuk, hingga medium term notes (MTN), berjangka pendek maupun panjang.
Meski laju utang lebih lambat ketimbang WSKT, WIKA juga mencatat lonjakan pertumbuhan pinjaman hingga 349,66% dalam lima tahun terakhir. Utang WIKA melompat dari Rp2,96 triliun pada 2014 menjadi Rp13,33 triliun pada 2018. Rerata, utang WIKA naik 48,31% setap tahunnya.
Setali tiga uang, PTPP juga mencatat lonjakan pertumbuhan utang dalam lima tahun terakhir. Utang PTPP naik 287,58% dari Rp3,03 triliun pada 2014 menjadi Rp11,75 triliun per Desember 2018. Sedangkan secara rata-rata, utang PTPP tumbuh 42,21% saban tahun.
Terakhir, ADHI tak luput dari lonjakan jumlah utang dalam 5 tahun. Pertumbuhan utang ADHI mencapai 276,95% dari Rp2,26 triliun pada 2014 menjadi Rp8,55 triliun per Desember 2018. Utang ADHI rerata tumbuh 43,36% setiap tahunnya.
Kepala Riset PT Koneksi Kapital Alfred Nainggolan menjelaskan hasil pengamatannya terhadap kinerja keuangan emiten BUMN Karya. Dia menilai, laju pertumbuhan utang BUMN Karya tak sebanding dengan profitabilitas yang diperoleh perusahaan milik negara itu.
Menurut Alfred, Jika dihitung pertumbuhan majemuk tahunan (compound annual growth rate/CAGR), pertumbuhan utang tiga dari empat BUMN Karya terbilang lebih kencang ketimbang kenaikan laba bersih.
Lagi-lagi, WSKT menjadi emiten paling agresif dalam menambah utang. CAGR utang WSKT mencapai 98%. Disusul oleh WIKA 42%, PTPP 31%, dan ADHI 30%.
"BUMN ini memang dimanfaatkan oleh pemerintah, banyak penugasan (kepada BUMN) untuk membangun infrastruktur," ujarnya saat berbincang dengan Alinea.id pada akhir pekan belum lama ini.
Profitabilitas kedodoran
Dari sisi profitabilitas, pendapatan emiten BUMN Karya dalam lima tahun terakhir juga melejit. WSKT menjadi BUMN Karya paling gemilang dari sisi profitabilitas dibandingkan dengan tiga emiten lainnya.
Laba WSKT melesat 690,15% dari Rp501,5 miliar pada 2014 menjadi Rp3,96 triliun per akhir 2018. Pun demikian dengan pendapatan WSKT yang melonjak 374,29% menjadi Rp48,78 triliun pada 2018 dari Rp10,28 triliun per akhir 2014. Rerata laba WSKT tumbuh 75,27% dan pendapatan 50,9% setiap tahun.
Akan tetapi, meskipun laba dan pendapatan WSKT melejit jauh melampaui BUMN Karya yang lain, ternyata lonjakannya justru dikalahkan oleh pertumbuhan utang yang lebih melambung.
Alfred membandingkan, saat laba WSKT rerata CAGR tumbuh 98%, utangnya juga melonjak pada angka yang sama 98%.
Saat bersamaan, ketika utang ADHI tumbuh 30% per tahun, laba bersihnya hanya mampu naik 17%. Sedangkan, ketika laba bersih PTPP naik 51% per tahun CAGR, ternyata utangnya juga tumbuh 31%.
Terakhir, ketika rata-rata laba WIKA tumbuh 25% setiap tahun CAGR, ternyata nilai utangnya juga naik 42%. Artinya, mayoritas utang BUMN Karya tak mampu mendongkrak kinerja perseroan.
Memang, dalam 5 tahun terakhir, BUMN seperti harus menanggung beban target infrastruktur yang digenjot oleh Presiden Jokowi. Bagaimana tidak, APBN yang dikelola pemerintah sangat terbatas.
Mayoritas belanja APBN digunakan untuk pengeluaran rutin yang membuat ruang fiskal menjadi menyempit. Maka, mau tidak mau, BUMN harus membantu pemerintah demi merealisasikan pembangunan infrastruktur.
Kendati demikian, langkah pemerintah untuk merevaluasi aset BUMN pada 2015 terbilang sebagai jurus jitu. Penghitungan itu membuat nilai aset dan ekuitas perusahaan pelat merah menjadi naik.
Akibatnya, leverage alias daya jangkau BUMN terhadap pinjaman kian lebar. Rasio utang BUMN terhadap ekuitas mereka pun turun signifikan. Saat itu terjadi, maka BUMN lebih leluasa untuk mengincar pendanaan, baik dari pasar modal, maupun perbankan.
Bagi Alfred, pemerintah yang kini dikomandoi oleh Menteri BUMN Erick Thohir, harus bisa memisahkan antara listed dan non-listed company. Sebab, pada perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, pemerintah punya partner pemegang saham lainnya, yakni publik.
"Jika BUMN non-listed, 100% (saham) milik pemerintah, maka itu hak penuh pemerintah," tutur Alfred.
Contohnya saja, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang harus menanggung kerugian lantaran pemerintah tak mengizinkan penaikkan tarif dasar listrik. Kemudian, PT Pertamina (Persero) yang harus rela menerapkan Bahan Bakar Minyak (BBM) satu harga di seluruh Indonesia.
Posisi itu tentu berbeda dengan emiten BUMN. Bagi pemegang saham publik, setiap aksi korporasi dan program yang dijalankan oleh emiten, harus memberikan dampak keuntungan.
Bagi emiten BUMN Karya, kondisi neraca keuangan yang tengah lampu kuning hingga merah, Alfred menyarankan agar tak terlalu agresif mengincar utang. Pasalnya, kondisi leverage saat ini sudah tak lagi sama dengan 3-5 tahun lalu.
"Kondisi leverage sudah tinggi, sudah pasti neraca akan drop (kalau agresif menambah utang)," kata dia.
Pemerintah sebaiknya tidak turut mencampuri operasional emiten lebih dalam. Misalnya saja, intervensi harga gas, semen, dan instrumen lain yang menyangkut operasional masing-masing emiten.
Pemerintah dinilai ingin mendorong agar sejumlah tarif lebih murah agar iklim ekonomi lebih kondusif. Namun, korban yang dirugikan dari kebijakan itu adalah pemegang saham publik.
Bagi investor, campur tangan pemerintah terhadap operasional emiten pelat merah harus dituangkan dalam kepastian aturan.
Jika dalam 5 tahun periode kedua Presiden Jokowi kembali memberikan penugasan bagi BUMN infrastruktur, maka pemerintah harus menyuntikkan permodalan. Pendanaan yang bersumber dari utang harus dikurangi lantaran bisnis organik tak akan mampu menurunkan beban bunga dalam waktu yang singkat.
Pundi-pundi keuntungan perusahaan pelat merah belum cukup untuk mengurangi lonjakan beban utang yang terjadi dalam 5 tahun terakhir. Apalagi, pemerintah menargetkan setoran dividen BUMN terus bertambah sebagai pemasukkan dalam APBN. "Itu konyol. Modal enggak mau nambah," tutur Alfred.
Selain Penyertaan Modal Negara (PMN), penjualan aset juga menjadi pilihan agar emiten BUMN Karya dapat mengurangi beban utang. Penjualan aset selain dapat menambah cash flow, juga mampu menurunkan beban utang, dengan catatan aset yang dijual merupakan komponen penyebab pinjaman itu timbul.
Untuk itu, pemerintah hendaknya melakukan penambahan modal melalui mekanisme rights issue. Pemerintah juga harus turut menyerap saham baru hasil rights issue agar kepemilikan negara di dalam emiten BUMN Karya tidak terdilusi.
Kinerja kuartal III-2019
Kinerja empat emiten BUMN Karya pada kuartal III-2019 tidak cukup menggembirakan. Tiga dari empat emiten itu harus membukukan penurunan pendapatan dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Tiga emiten BUMN Karya yang membukukan koreksi pendapatan adalah WSKT, WIKA, dan ADHI. Pendapatan WSKT pada periode Januari-September 2019 anjlok 39,24% menjadi Rp22,01 triliun dari Rp36,23 triliun.
Senasib, WIKA juga membukukan koreksi pendapatan 12,89% pada kuartal III-2019 menjadi Rp18,29 triliun dari Rp21 triliun. Sedangkan, koreksi pendapatan ADHI sebesar 5,2% menjadi Rp8,94 triliun dari Rp9,43 triliun.
Kondisi berkebalikan terjadi pada PTPP yang berhasil membukukan pertumbuhan pendapatan 8,63% menjadi Rp16,06 triliun dari Rp14,78 triliun. Namun sayang, laba bersih PTPP harus terkoreksi 37,75% pada kuartal III-2019 menjadi Rp544,46 miliar dari sebelumnya Rp874,67 miliar.
Tak hanya pendapatan yang anjlok, laba bersih WSKT juga ternyata terperosok. Pada periode Januari-September 2019, laba bersih WSKT terjun bebas 69,36% ke level Rp1,15 triliun dari Rp3,75 triliun.
Sebaliknya, WIKA dan ADHI membukukan pertumbuhan laba bersih yang positif. WIKA berhasil meraup kenaikan laba bersih 57,18% menjadi Rp1,35 triliun dari Rp860,4 miliar, sedangkan laba bersih ADHI naik 4,68% menjadi Rp351,22 miliar dari Rp335,53 miliar.
Parwanto Noegroho, Sekretaris Perusahaan ADHI, mengatakan kontribusi pendapatan ADHI masih didominasi oleh sektor konstruksi sebesar 80% pada kuartal III-2019. Disusul oleh properti 12% dan sisanya dari bisnis lain sebesar 8%.
"Belanja modal ADHI hingga September 2019 sebesar Rp1,5 triliun (68%) dari target Rp2,2 triliun," kata dia dalam keterangan resmi.
Terpisah, Direktur Keuangan WSKT Haris Gunawan, mengatakan total pinjaman perseroan saat ini digunakan untuk mendukung pengembangan bisnis. Posisi gearing ratio WSKT per Juni 2019 sebesar 2,68 kali, masih berada di bawah ambang batas (covenant) sebesar 3 kali.
"Kami yakin dapat menjaga rasio ini ke 2,3 kali pada akhir 2019," kata Haris.
Sepanjang tahun ini, WSKT akan menerima arus kas sebesar Rp40 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari pembayaran proyek turnkey Rp26 triliun yang selesai tahun ini, dan Rp14 triliun dari proyek konvensional dengan skema pembayaran sesuai progres.