Usai mengalami kemerosotan selama tiga bulan berturut-turut sejak Maret 2022 lalu yaitu US$139,1 miliar, per akhir Juni 2022 Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa Indonesia kembali naik ke posisi US$136,4 miliar. Jumlah ini naik US$0,8 miliar dibandingkan bulan lalu, US$135,6 miliar.
Erwin Haryono Kepala Departemen Komunikasi BI menyampaikan, peningkatan jumlah cadangan devisa (cadev) dipengaruhi oleh penerbitan global bond pemerintah, penerimaan pajak, dan jasa.
“Kenaikan posisi cadangan devisa ini setara dengan pembiayaan 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor,” tulis Erwin dalam keterangannya, Kamis (7/7).
BI menilai cadev ini mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. BI juga melihat kedepannya cadev tetap memadai, didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga, seiring dengan berbagai respons kebijakan dalam mendorong pemulihan ekonomi.
Menanggapi hal tersebut, Telisa Aulia Faliyanty Chief Economist BRI Danareksa Sekuritas menyebut dengan meningkatnya tren ekspor negara tentu saja mempengaruhi peningkatan cadev. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia secara kumulatif Januari-Mei 2022 mencapai US$114,97 miliar. Jika dibanding periode yang sama di tahun 2021, terjadi kenaikan 36,34 persen. Hal serupa juga terjadi pada ekspor nonmigas yang mengalami kenaikan 36,36 persen menjadi US$108,74 miliar.
“Kenaikan cadangan devisa ini menjadi hal yang positif ya, terlepas sesuai ekspektasi atau tidak. Saat ini kita butuh sentiment yang positif, karena adanya capital outflow. Jadi kita memang benar-benar butuh adanya penjaga atau devisa bumper kita,” tutur Telisa dalam acara Power Lunch di CNBC TV Indonesia, Jumat (8/7).
Walau cadev alami kenaikan yang tipis, Telisa berharap ini akan terus berlanjut ke depannya agar bisa menjaga stabilitas rupiah yang saat ini sedang mengalami tekanan depresiasi. Mengutip data Refinitiv, rupiah saat ini berada di posisi Rp14,980 per US$ pada pukul 13:40 WIB.
Lebih lanjut, Telisa menyebut cadev Indonesia bergantung pada beberapa faktor yaitu, kinerja neraca dagang, kebijakan bagi eksportir untuk menanam devisa hasil ekspor di Indonesia, dan menjaga capital flows.
Telisa mengharapkan neraca dagang yang terus surplus sehingga bisa menguat. BPS mencatatkan neraca dagang Indonesia untuk bulan Mei 2022 alami surplus US$2,9 miliar (yoy) dibanding Mei 2021 yaitu US$2,37 miliar. Namun menurut Telisa, neraca dagang yang positif tidak menjamin ada kenaikan di cadev, hal ini bisa terjadi jika devisa hasil ekspor diletakkan di luar negeri.
“Cadangan devisa yang diletakkan di luar negeri misal seperti Singapura dan Swiss, ini karena eksportir percaya pada instrumen-instrumen yang ada untuk menanam devisa di sana,” jelas Telisa.
Untuk meminimalisasi hal tersebut, Telisa menyarankan agar BI mengkaji ulang terkait kebijakan devisa hasil ekspor. Sehingga devisa hasil ekspor yang ditanam di Indonesia dapat tercatat dalam kenaikan cadev Indonesia
“Memang BI sudah ada kebijakan devisa hasil ekspor, tapi sejauh ini hanya kepencatatan saja, bukan yang benar-benar dicatat dulu baru hasil besoknya udah bisa pindah ke negara lain. Nah itu yang harus kita jaga,” imbuhnya.
Berikutnya, perolehan cadev juga dipengaruhi capital flow sehingga pemerintah diharap mampu membuat kebijakan moneter dan fiskal untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya peningkatan inflasi ke depan.
“Kalau Indonesia punya kebijakan yang tangguh untuk hadapi inflasi, ini bisa menjaga kepercayaan investor, kepercayaan pasar baik dalam maupun luar negeri yang berdampak baik pada kenaikan cadev kita,” ujar Telisa.