close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.
Bisnis
Rabu, 13 September 2023 17:49

Candu pinjol anak muda dan ancaman kredit macet

Jumlah kredit macet terus melonjak seiring dengan peningkatan peminjam online di kalangan anak muda.
swipe

Caca, perempuan muda berusia 20 tahun terjerat lingkaran setan pinjaman online (pinjol). Mahasiswi yang masih duduk di tahun ketiga salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta ini mengaku, mengenal fitur beli sekarang bayar nanti atau paylater di marketplace dari teman dekatnya, 2021 lalu. 

“Awalnya enggak tertarik, tapi karena waktu itu OOTD (outfit of the day) lagi hype banget dan aku pingin kelihatan trendi, jadi aku mulai beli-beli baju, tas, sepatu yang lagi hit. Pertama si pakai uang saku sendiri, tapi lama-lama enggak cukup, jadi aktivasi akun di salah satu e-commerce,” katanya, kepada Alinea.id, Rabu (6/9).

Saat pertama mengaktivasi akun paylater-nya, Caca mendapatkan limit pinjaman sebesar Rp1,8 juta. Setelah berbulan-bulan, cicilan yang semula paling besar Rp200.000, naik menjadi Rp700.000. Ia mengaku masih mampu membayar utang tersebut dengan uang sakunya. Namun lambat laun, limit utang tersebut dirasanya masih kurang dan ia pun kembali mengaktivasi akun paylater di aplikasi e-commerce lainnya. 

“Waktu itu aku masih pede (percaya diri), kalau nyicil per bulan Rp1 jutaan, masih oke lah, masih gampang. Tapi ternyata pinjamanku semakin besar. Akhirnya aplikasi yang tadinya cuma dua, beranak jadi 16,” kisahnya. 

Tidak hanya itu, setelah lama tidak pernah menghitung berapa total utang digitalnya, pada Mei lalu, bungsu dari 3 bersaudara ini baru mengetahui, kalau cicilannya dari 16 aplikasi fintech (teknologi finansial) peer to peer (P2P) lending sudah mencapai Rp45 juta. 

“Kalau ditanya buat apa, ya buat foya-foya. Nongkrong, beli barang branded, beli skincare, nonton konser, dan masih banyak lagi hal useless yang aku lakukan,” rinci Caca. 

Dengan melihat nominal yang sangat besar tersebut, Caca lantas bertekad untuk berhenti berutang. Selain menjual seluruh barang branded dan barang-barang lain yang masih dapat dijual, ia juga pontang-panting bekerja paruh waktu. Alhasil, dia pun dapat membayar sebagian utangnya, hingga hanya tersisa Rp33 juta. 

Namun, tak dinyana pada Juni lalu, ada utangnya sebesar Rp10 juta yang sudah melebihi jatuh tempo. Pada titik inilah Caca mulai kembali kelimpungan dan semakin tidak kuat untuk menanggung beban utangnya sendiri. 
“Akhirnya mutusin buat beraniin diri bilang ke ortu (orang tua). Alhamdulillah dibantuin sama, mamah, papah dan kakak. Sekarang tinggal sisa Rp15 juta cicilannya. Jujur, aku enggak mau ngebebanin semua ke keluarga, jadi aku mulai buka online shop sama jadi affiliates di Tiktok, buat bantu nyicil,” pungkas Caca. 

Ilustrasi Unsplash.com.

Caca menjadi salah satu contoh nyata jeratan pinjol di kalangan anak muda yang berpotensi menaikkan kredit macet di tanah air. Seiring itu pula, sebuah postingan yang menceritakan beberapa fresh graduate (lulusan baru) tidak lolos seleksi penerimaan karyawan baru ramai di lini media sosial belakangan ini. Musababnya, mereka tercatat memiliki skor kredit buruk pada Sistem Layanan Informasi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (SLIK OJK). Dari akun X (sebelumnya Twitter-red) @kawtuz, diketahui bahwa para pelamar tersebut memiliki skor SLIK OJK dengan status kolektabilitas (kol) 5. 

Dalam penilaian kualitas aset bank umum, kol 5 dapat dikategorikan sebagai kredit macet, karena debitur menunggak pembayaran pokok dan/atau bunga lebih dari 180 hari atau 6 bulan. Dengan status ini, debitur masuk ke dalam daftar hitam (blacklist) SLIK OJK dan menyebabkannya tidak dapat mengajukan pinjaman di bank atau layanan beli sekarang bayar nanti alias paylater dari perusahaan teknologi finansial (tekfin). 

“Sekarang pinjam-meminjam semakin mudah dilakukan. Cuma modal KTP (Kartu Tanda Penduduk) saja, kita sudah bisa dapat pinjaman uang dari aplikasi pinjol. Bahkan untuk paylater itu cuma butuh waktu 15 menit sudah jadi. Enggak perlu ngecek SLIK segala,” kata Economics and Public Policy Researcher Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda, kepada Alinea.id, Rabu (6/9). 

Kemudahan inilah yang kemudian menyebabkan candu pinjol menjerat anak-anak muda, baik yang sudah bekerja dan memiliki penghasilan maupun yang masih duduk di bangku perguruan tinggi. Sayangnya, jika menilik karakteristik generasi muda Indonesia, banyak yang masih berpenghasilan rendah, bahkan masih banyak pula yang tidak atau bahkan belum bekerja. 

Perbandingan pengguna fintech berdasarkan usia 

2021 2022
< 18 tahun   1%    
18 - 25 tahun  2% 18-25 tahun  6,10%
25 - 35 tahun 73% 26-35 tahun 70,80%
35 - 50 tahun 23% 36 - 50 tahun 23,10%
> 50 tahun 1%    

Sumber: Annual Members Survey (AMS) yang dirilis Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH).

Sementara itu, mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, rata-rata penghasilan penduduk usia muda di perkotaan sebesar Rp2,29 juta dan Rp1,57 juta di pedesaan. Sementara rata-rata pinjaman online untuk pemuda di usia 19-24 tahun di Januari 2021 mencapai Rp740,749. Pada Juli 2022, rata-rata pinjaman meningkat menjadi Rp2,28 juta dan di Juni 2023 Rp2,46 juta. 

“Kalau dibandingkan usia di bawah 19 tahun, rata-rata pinjaman pemuda usia 19-24 tahun memang relatif lebih besar. Tapi yang perlu kita highlight adalah pinjaman dari pemuda usia di bawah 19 tahun. Karena peningkatannya cukup signifikan dari awal 2021 sampai pertengahan 2023,” jelasnya. 

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rata-rata pinjaman per Januari 2021 untuk pemuda usia di bawah 19 tahun, ialah sebesar Rp700.002. Kemudian, pada Juli 2022, rata-rata pinjaman melonjak menjadi Rp2,7 juta dan mencapai Rp2,3 juta per Juni 2023. 

“Kalau untuk usia di bawah 19 tahun, kan biasanya mereka masih pada kuliah atau kalau pun bekerja, pasti penghasilannya juga enggak besar. Inilah yang membuat tren kredit macet di kalangan anak muda relatif tinggi,” tambah Huda. 

Sementara itu, untuk rata-rata kredit macet di pinjaman digital untuk masyarakat usia di bawah 19 tahun, pada 2022 mencapai Rp1,99 juta. Selanjutnya, untuk usia 19-24 tahun, kredit macet lebih tinggi, menjadi Rp2,21 juta. “Peningkatan kredit macet ini terjadi dari awal tahun 2022 dan puncaknya di pertengahan 2022,” ungkapnya. 

Pengguna fintech berdasarkan pendapatan

2021 2022/2023
< Rp5 Juta 23% Rp2,5 Juta - Rp5 Juta 20,00%
Rp5 Juta - Rp15 Juta 36% Rp5 Juta - Rp10 Juta 41,50%
Rp15 Juta - Rp30 Juta 18% Rp10 Juta - Rp25 Juta 20,00%
Rp30 Juta - Rp50 Juta 6% Rp25 Juta - Rp50 Juta 18,25%
< Rp50 Juta 17%    

Sumber: Annual Members Survey (AMS) yang dirilis Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH).

Kurang literasi

Sayangnya, menurut Huda, banyak generasi muda yang justru menggunakan uang pinjaman digital untuk keperluan konsumtif, seperti belanja online atau bahkan judi online. Dengan pengeluaran konsumtif ini, tak jarang generasi muda yang kemudian meminjam di platform-platform pinjaman lain hanya untuk menutup pinjaman di salah satu platform fintech. Akibatnya, terjadilah fenomena gali lubang tutup lubang demi menambal utang. 

Ilustrasi Pixabay.com.

Dalam kesempatan terpisah, Peneliti Center of Digital Economy and SME INDEF Izzudin Al Farras Adha mengungkapkan, bagi industri fintech, pertumbuhan jumlah peminjam dari kalangan muda di satu sisi memang cukup menggembirakan. Bagaimana tidak, menurut data Annual Members Survey (AMS) yang dirilis Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), persentase pengguna fintech pada rentang usia 18-25 tahun di sepanjang 2021 tercatat sebanyak 2%. Namun, setahun berselang, jumlahnya melonjak jadi 6,10%. 

Seiring dengan naiknya pengguna fintech, jumlah rekening penerima pinjaman aktif generasi muda yang tidak lancar pun turut mengalami peningkatan, dari 826 ribu entitas pada periode Januari 2022 menjadi 1,16 juta entitas di Juli 2023. “Jumlah outstanding pinjaman generasi muda yang tidak lancar, juga naik dari Rp1,3 triliun di Januari 2022, menjadi Rp1,98 triliun pada Juli kemarin,” ungkap Izzudin, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (8/9). 

Pun demikian dengan jumlah rekening penerima pinjaman aktif yang macet di kalangan penduduk usia 19-34 tahun, dari sebanyak 283 ribu entitas pada Januari 2022, menjadi 332 ribu entitas pada Juli 2023. Dengan total outstanding mencapai Rp504 miliar di Januari 2022, menjadi Rp782 miliar di Juli 2023. 

“Karena banyaknya kredit macet di pinjol dan paylater ini, enggak heran kalau kemudian HRD-HRD (Human Resource Development), sekarang melihat NPL (Non-Performing Loan/kredit macet) sebagai syarat. Karena kalau udah terjerat pinjol, dia akan menurunkan produktivitas perusahaan,” imbuh Izzudin.

Ilustrasi Pixabay.com. 
Sementara itu, perencana keuangan Andy Nugroho mengungkapkan, ada beberapa alasan yang membuat generasi muda gemar berhutang di platform fintech maupun paylater. Pertama, karena akses kepada pinjaman digital sangat mudah dijangkau. “Cukup dengan mengunduh aplikasi, isi data diri, selfie dengan KTP, sudah. Dana langsung cair,” katanya, kepada Alinea.id, Kamis (7/9). 

Kemudian, banyak pula generasi muda yang lebih memilih pinjaman digital ketimbang meminta pinjaman kepada orang tua atau kerabat dekat lainnya. Alasannya, karena malu, gengsi, atau takut apabila nantinya tidak bisa mengembalikan pinjaman tepat waktu. 

Selain itu, ada pula generasi muda yang mengaku menjadi debitur pinjol, setelah meminjamkan akun fintech miliknya kepada teman atau bahkan keluarga. Namun, alih-alih berkomitmen membayar pinjaman dan bunga tepat waktu, orang lain yang meminjam dana justru kabur dan melimpahkan tanggungan utang itu kepada si pemilik akun. 

“Parahnya, ada yang mengakses pinjaman online cuma buat coba-coba. Gimana sih rasanya pinjam di platform digital? Apalagi kalau sampai telat dan ditagih. Ada dari mereka yang memakai alasan ini,” ungkap Andy. 

Alasan ini pula yang kemudian menimbulkan masalah kredit macet pada fintech. Selain juga karena kurangnya literasi keuangan pada generasi muda. Pakar keuangan dari Advisor Alliance Group ini bilang, banyak dari masyarakat Indonesia yang ketika berutang di aplikasi pinjaman online, kurang memperhatikan besaran utang yang harus dibayar beserta bunganya. Sebaliknya, mereka hanya berpikir bagaimana caranya mendapatkan dana dengan cepat. 

“Jadi mereka enggak mikirin, gimana cara balikin uangnya atau berapa besaran yang harus mereka sediakan per bulannya untuk mengembalikan pinjaman online itu,” lanjut dia. 

Penghasilan yang tidak seberapa, bahkan terkadang lebih kecil dari utang beserta bunga yang harus ditanggung setiap bulannya membuat banyak generasi muda nekat membuka pinjaman digital di platform fintech lainnya. Pun dengan menggunakan paylater untuk memenuhi kebutuhan yang lebih mendesak.   

Demi gaya hidup

Hal ini pun diamini Kepala Eksekutif Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi. Sayangnya, banyak penemuan yang menyebut jika masyarakat, utamanya generasi muda menggunakan pinjol untuk memenuhi gaya hidup, seperti membeli gawai baru, travelling, sampai membeli tiket konser. 

“Karena banyaknya utang di pinjol resmi, bahkan ada yang sampai macet, sekarang muncul tren baru lagi. Banyak orang yang pinjam uang di pinjol ilegal, pakai data palsu, kemudian kabur, sengaja enggak bayar,” jelas perempuan yang karib disapa Kiki itu, kepada Alinea.id, Kamis (7/9). 

Terlepas dari cerita Caca, pemenuhan kebutuhan konsumtif dengan dana dari fintech dan paylater, menjadi hal yang mengkhawatirkan. Mengingat Generasi Z dan Milenial yang masuk sebagai kelompok usia produktif bekerja dan memiliki pendapatan. Sebab, menurut Friderica, dengan menggunakan produk pinjaman secara tidak bijak menjadikan generasi muda sulit untuk menabung atau berinvestasi. Tidak hanya itu, dengan penggunaan yang tidak bijak juga membuat banyak anak muda terbiasa berutang. 

Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.

“Dan kalau sudah masuk ke daftar hitam Bank Indonesia, tidak lolos SLIK OJK, mereka tidak akan bisa mengajukan kredit di bank untuk membeli rumah, kendaraan, atau untuk modal usaha. Bahkan sekarang juga sulit buat dapat kerja di industri keuangan,” jelas Kiki. 

Karenanya, agar kredit macet pinjol tidak semakin membesar dan generasi muda tidak semakin terjerumus pada lingkaran setan pinjaman digital, kini OJK sedang merumuskan adanya pusat data Fintech Lending (Pusdafil). Dengan adanya pusat data tersebut, nantinya pengajuan pinjaman online beserta riwayat peminjaman akan terintegrasi dengan SLIK OJK. 

Tidak hanya itu, sistem integrasi antara Pusdafil dan SLIK OJK diharapkan juga dapat memperlancar proses penyediaan dana, penerapan manajemen risiko kredit atau pembiayaan pengelolaan sumber daya manusia pada pelapor SLIK. Kemudian, verifikasi untuk kerja sama pelapor SLIK dengan pihak ketiga dan meningkatkan disiplin industri keuangan. 

“Karena dengan ini data transaksi pendanaan lending bisa dimonitor harian, dan bisa connect dengan SLIK OJK," ungkap Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya Agusman, saat Konferensi Pers OJK, Agustus lalu. 

Menanggapi fenomena melonjaknya kredit macet di kalangan anak muda, Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko mengakui, jika salah satu penyebabnya adalah tidak adanya catatan yang menunjukkan riwayat buruk dari debitur di data fintech. Karena nilai merah yang tidak tercatat inilah yang kemudian membuat masyarakat jera untuk kembali mengambil pinjaman dan bahkan memiliki tunggakan utang. 

Berdasarkan penelusuran Alinea.id, dari banyaknya fintech yang ada di Indonesia, hanya sedikit riwayat kredit debitur masuk ke dalam SILK OJK. Beberapa di antaranya adalah OVO Paylater, Gojek Paylater, Shopee Paylater, Kredit Pintar, Tunaiku, Home Credit, Akulaku, Kredivo, dan Adakami. 

“Makanya, kalau ada rencana pengintegrasian Pusdafil dengan SLIK, kami sangat mendukung. Ini demi kebaikan manajemen keuangan masyarakat atau nasabah, serta keberlangsungan para pelaku di industri keuangan,” kata Sunu, kepada Alinea.id, Rabu (6/9). 

Dus, pengguna pinjol maupun paylater pun dapat lebih berhati-hati dalam menggunakan produk pinjaman. Sehingga, tidak ada lagi nilai merah yang tercatat dalam rapor pusat data pinjol, yang mengakibatkan masyarakat tidak lolos asesmen aplikasi pinjol lainnya, perbankan, atau bahkan HRD di perusahaan-perusahaan keuangan. 

“Dari industri (fintech) juga bisa lebih hati-hati. Jadi kalau ada calon debitur yang mengajukan pinjaman lagi, dengan riwayat kredit macet, kita bisa lebih hati-hati,” ujar Sunu.

 

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan